Kisah Penjarah Makam

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Perempuan dengan rambut palsu dan mata nyalang itu terbujur di atas meja yang terang-benderang sementara sang profesor mengamati pada jarak satu telapak dari muka perempuan itu. “Kondisinya masih luar biasa bagus…terawetkan dengan sangat baik,” gumam profesor itu. Saat pandangannya beralih ke tubuh korban, yang dilukis pada tutup peti matinya, profesor menunjuk sayatan baru yang melintang di paha atas, dan simbol dewa Amun, seekor burung ibis, dan mantra sihir dari Kitab Orang Mati. “Dan ini nama dan gelarnya: Shesep-amun-tayesher, Nyonya Rumah. Dengan membacakannya, saya memenuhi keinginannya untuk dikenang di alam baka.”

Perempuan bangsawan Mesir itu sudah mati selama sekitar 2.600 tahun. Sarah Parcak, ahli Egiptologi, sedang memeriksa bagian dalam sarkofagusnya, salah satu dari tiga peti kayu yang tersusun berlapis  dan dulu mewadahi jasad muminya. Penjarah menggergaji sarkofagus itu menjadi empat bagian dan mengirimnya ke Amerika Serikat, lalu disatukan kembali oleh pemugar barang antik di sana. Berbulan-bulan kemudian agen bea cukai menemukan peti mati itu disembunyikan di rumah pedagang barang antik Brooklyn. Peti itu kini berada di gudang di lokasi rahasia di Kota New York, tempat pihak berwenang federal menyimpan artefak sitaan: patung batu Buddha raksasa dari India, penunggang kuda terakota dari Tiongkok, relief dari Irak, Suriah, dan Yaman. Semuanya pengungsi dalam perdagangan barang antik ilegal, korban perang internasional yang memperebutkan warisan budaya.

Dari maling kuil berdarah dingin di India hingga penyamun gereja di Bolivia hingga kawanan perampok makam di Tiongok, penjarah sedang menambang masa lalu kita. Penjarahan sulit dihitung jumlahnya. Tetapi pencitraan satelit, penyitaan polisi, dan laporan saksi dari lapangan semuanya mengindikasikan bahwa perdagangan harta curian sedang berkembang pesat di seluruh dunia.

Di Mesir, Parcak memelopori penggunaan citra satelit untuk mengukur penjarahan dan kerusakan akibat pengembangan properti di sekeliling situs. Seperempat dari 1.100 area arkeologi yang diketahui di negara itu telah mengalami kerusakan besar. “Dengan kecepatan perusakan seperti saat ini, semua situs yang diketahui di Mesir akan rusak parah sebelum 2040,” katanya. “Memilukan.”

Selama dua dasawarsa terakhir serangkaian kasus pengadilan dan pengembalian yang menyedot perhatian masyarakat telah menguak sisi gelap perdagangan barang antik, menyingkapkan jaringan kriminal yang menjual artefak jarahan ke galeri-galeri dan museum-museum ternama. Pada 2002 Frederick Schultz, pedagang karya seni kuno dari Manhattan yang terkemuka, dijatuhi hukuman 33 bulan di penjara federal untuk konspirasi menerima benda Mesir curian. Pada 2006 Metropolitan Museum of Art, di bawah tekanan pemerintah Italia, menyanggupi mengembalikan krater Euphronios yang terkenal—mangkuk pencampur anggur yang dijarah dari makam Etruskan di dekat Roma. Deram genderang perang dan prahara di banyak negara yang kaya barang antik, yang berpuncak dengan perampokan Mesopotamia kuno oleh ISIS, memicu kecemasan bahwa perdagangan barang antik membantu mendanai terorisme.

Namun, perdebatan tentang cara menghentikan penjarahan sudah mencapai kebuntuan. Para arkeolog menyalahkan perdagangan barang antik atas terjadinya penjarahan, mengklaim bahwa banyak artefak yang beredar di pasar itu curian. Para kolektor, pedagang, dan banyak kurator museum membalas bahwa sebagian besar penjualan barang antik itu legal. Sebagian berargumen bahwa tujuan akhirnya adalah menjaga warisan seni umat manusia dan tujuan itu mewajibkan mereka “menyelamatkan” barang antik dari negara yang tidak stabil—sekalipun itu berarti membelinya dari penjarah.

Kisah Shesepamuntayesher menyajikan kejelasan yang pahit bagi pertanyaan abstrak ini. Dengan merangkai petunjuk dari ahli Egiptologi, kurator museum, dan agen federal, saya akan melacak perjalanannya dari suatu makam di suatu tempat di Mesir, melalui jaringan rumit penyelundup, perantara, pedagang barang antik, ke gudang dengan keamanan tingkat tinggi ini di Kota New York.

Langkah pertama adalah mencari ke-mungkinan kuburan Shesepamuntayesher. Berdasarkan gaya seni dan hieroglif pada peti matinya, para ahli Egiptologi di University of Pennsylvania menyimpulkan bahwa dia hidup sekitar tahun 600 SM. Penelusuran melalui buku peti mati Mesir dan situs web barang antik menghasilkan sarkofagus yang mirip, milik perempuan dengan nama langka yang sama, yang dilaporkan ditemukan di Abu Sir al Malaq, situs yang terletak 100 kilometer di selatan Kairo.

Pada zaman kuno Abu Sir al Malaq, yang kala itu bernama Busiris, merupakan kota makmur yang menghadap ke bantaran banjir. Kota itu terkenal karena memiliki kuil-kuil Osiris, dewa kesuburan dan alam baka, dan makam-makam megah selama sejarahnya yang merentang selama 4.000 tahun. Kini, Abu Sir mirip medan perang yang baru dibom. Kawah dan lubang lorong bertebaran di hamparan pasir bergelombang, tempat penjarah mengubrak-abrik di dalam tanah dengan sekop, mesin gali, dan dinamit. Sambil melakukan itu, mereka merusak entah berapa makam, meninggalkan tumpukan tengkorak dan tulang patah di sekitar banyak lubang penjarahan.

Amal Farag, pejabat kepala Kementerian Barang Antik di Abu Sir dan situs sekitar, mengajak saya berkeliling situs itu bersama lima pengawal yang membawa senapan Kalashnikov. Farag, perempuan 49 tahun, memungut serpih-serpih kayu cedar dengan paku kayu dan sisa pigmen merah—fragmen sarkofagus kuno. “Penjarah hanya mengambil barang bagus dan menghancurkan atau membuang sisanya,” katanya. “Untuk setiap benda bagus, mereka menghancurkan ratusan.”

Farag mengajak saya ke kuburan di lereng bukit dengan lubang masuk yang dalam, miring ke ruangan gelap di bawah. Di sini, pada bulan April 2012, dia menghadapi tiga penjarah.

“Saya berkata kepada rekan saya, ‘Kalau Anda merasa takut, pura-pura saja Anda sangat angkuh,’ ” kata Farag. Setelah melotot kepada mereka sejenak tanpa berkata-kata, ketiga lelaki itu naik taksi dan pergi. Sekarang Farag mengajak saya masuk ke makam itu dan menunjuk titik di lantai tempat dia menemukan dua sarkofagus megah yang disembunyikan penjarah di balik selimut. Saya melihat beberapa relung yang dipahat pada dinding batu ruangan itu dan beberapa terowongan yang menuju ruangan lain yang lebih dalam di lereng.

Mungkin Shesepamuntayesher dijarah dari makam seperti ini. Dia mungkin terbaring di relung seperti ini, dikelilingi benda yang disayanginya selama hidup: perhiasan, tongkat jalan, papirus berisi mantra sihir, peti yang dihiasi dengan dewa-dewa orang mati. Leluhur dan keturunannya menghuni relung-relung di sekitarnya, bersama harta mereka sendiri. Jika ditemukan utuh, makam keluarga seperti itu dapat membuka jendela yang benderang ke masa lalu. Meskipun sudah diculik oleh penjarahan, Shesepamuntayesher tetap berharga karena memiliki hieroglif dan lukisan, tetapi andai digali dengan benar, dia tentu tak ternilai—bedanya ibarat halaman yang dirobek dari buku dan keseluruhan buku itu, diletakkan di dalam perpustakaan besar.

Farag dan rekan-rekannya berhasil mengangkut kedua peti mati itu dari kuburan dan memuatnya ke dalam mobil. Dalam perjalanan kembali ke kantor pusat kementerian, mereka dikejar oleh mobil Peugeot yang mendekat hingga hanya beberapa sentimeter dari bumper mereka. Akhirnya, di persimpangan, ada truk yang menghalangi para pengejar dan mereka berhasil melepaskan diri.

 Saat kami memanjat keluar dari makam, Farag menjelaskan bahwa warga setempat tidak merasakan ikatan dengan budaya Mesir kuno dan menjarah masa lalunya demi bertahan hidup di masa sekarang.

Penjarahan meningkat setelah revolusi 2011, ketika pasukan keamanan pemerintah menghilang. Namun, analisis satelit Parcak menunjukkan bahwa lonjakan besar sudah terjadi dua tahun sebelumnya, ketika krisis keuangan global menggempur perekonomian Mesir. Sebagian penganggur pun menjarah untuk bertahan hidup.

Menggali masa lalu demi keuntungan sudah ribuan tahun menjadi profesi. Pengadilan penjarah terawal di Mesir yang diketahui terjadi di Thebes pada 1113 SM. Gerombolan penja-rah yang dipimpin tukang batu pemberani merampok makam yang dipahat pada batu. Si tukang batu dan kaki tangannya divonis bersalah dan mungkin dihukum mati dengan cara ditusuk.

Pasukan penyerbu juga pernah menggondol benda kuno Mesir. Para penguasa Romawi mengirim obelisk utuh ke tanah asalnya dengan kapal yang dibuat khusus. Dari abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, ketika Mesir dikuasai bangsa asing, tak terhitung benda masa lalunya yang dikirim ke pusat-pusat budaya di luar negeri melalui pemberian, perdagangan, atau pemaksaan. Para arkeolog asing menerima sebagian artefak yang ditemukan dalam penggalian mereka melalui pengaturan resmi dengan pihak berwenang Mesir yang disebut partage. Pelancong membeli barang antik dari pedagang berizin di Kairo, Luxor, dan tempat lain. Transaksi seperti itu biasanya tidak tercatat, karena barang antik dipandang luas sebagai benda milik pribadi. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi barang antik, konsep modern tentang hak kekayaan budaya— dan penjarahan—masih berkembang.

Perubahan di Mesir dan negara lain dimu-lai pada 1950-an, saat kekuasaan kolonial berakhir. Tergugah oleh jati diri kebangsaan baru, ba-nyak negara memperkuat hukum yang ada atau memberlakukan hukum baru untuk melin-dungi masa lalunya, yang mencakup artefak yang masih terkubur. Pada 1983, Mesir menyatakan bahwa semua benda yang penting secara budaya dan berusia lebih dari seratus tahun adalah milik negara. Pada 1970 UNESCO menerima Konvensi tentang Sarana Melarang dan Mencegah Impor, Ekspor, dan Pemindahan Kepemilikan Hak Kekayaan Budaya secara Ilegal, yang hingga kini telah ditandatangani 131 negara.

Tiga puluh kilometer di sebelah utara Abu Sir, saya bertemu dengan Mohammed Youssef, direktur dua situs Kerajaan Tengah yang kaya, Lisht dan Dahshur. Setelah revolusi Januari 2011, gerombolan penjarah merampok situs-situs itu, kadang menggunakan alat berat dan menggali pada malam hari.

Youssef menunjukkan makam batu tempat, tak lama setelah revolusi dimulai, dia dan salah seorang inspekturnya menyelamatkan dua relief batu gamping indah yang dipereteli dari makam lain. Dua kelompok bersenapan mesin bertengkar memperebutkan relief itu. “Saat kami mendekat, mereka menembakkan senapan ke udara. Mereka tidak takut pada kami sama sekali,” Youssef mengenang. Namun, tim Youssef kembali setelah kedua kawanan bersenjata itu pergi, dan mengambil relief itu.

Hukum rimba berlaku di wilayah tidak stabil, terutama semasa perang. Dalam perang saudara Kamboja, Khmer Merah dan kelompok militer lain biasanya mengendalikan penjarah di wilayah mereka. Demikian pula di Suriah sekarang, ISIS menerima jatah dari keuntungan penjarahan, tetapi demikian pula kelompok yang berafiliasi dengan pasukan Presiden Bashar al Assad, Kurdish YPG, dan pihak oposisi.

Menurut Youssef, tokoh-tokoh setempat memegang peran penting di Lisht dan Dahshur. “Ada orang-orang terkenal yang terlibat dalam penjarahan. Mereka kaya, terkemuka, tak tersentuh hukum.” Salah satu keluarga di desa sekitar, kata Youssef, memiliki milisi swasta.

Brigjen Ahmed Abdel Zaher, kepala operasi polisi barang antik Mesir, menjelaskan bahwa banyak jaringan penjarahan di Mesir itu berstruktur seperti piramida empat tingkat. Tingkat dasarnya, mungkin tiga per empat tenaga manusia, terdiri atas warga desa miskin yang pengetahuannya tentang medan dan monumen setempat itu penting untuk menemukan barang jarahan. Tingkat kedua adalah perantara yang menampung benda dari penggali lokal dan meng-atur pekerja menjadi berkelompok. Pemain tingkat ketiga, kata Abdel Zaher, melarikan barang antik ke luar negeri dan menjualnya ke pembeli asing di puncak piramida penjarahan.

Laba semakin tinggi ketika artefak menaiki tangga piramida. Menurut laporan, sebagian penjarah tingkat dua menjual dengan harga 10 kali lipat dari yang dibayarkan kepada penggali. “Mereka ini kriminal profesional, dan barang antik hanya salah satu hal yang mereka perdagangkan,” kata Abdel Zaher.

Di wilayah tidak stabil, barang antik mung-kin mengikuti jaringan distribusi yang juga digunakan pedagang senjata. “Saya sering menemukan simpanan barang antik bersama RPG [granat berpeluncur roket] dan senjata lain,” kata Matthew Bogdanos, jaksa New York dan kolonel Korps Marinir yang pernah bertugas di Irak pada awal 2000-an.

Di antara 50 sekian pelabuhan, bandara, dan rute darat yang digunakan untuk menyelundupkan barang antik dari Mesir, saya memilih mengunjungi Damietta. Peti mati Shesepamuntayesher dikirim ke Amerika Serikat dari Dubai, pernah disembunyikan di dalam peti kemas yang berisi perabot. Damietta adalah salah satu pelabuhan peti kemas Mesir yang paling ramai.

Jarak dari Kairo ke Damietta hanya 240 kilometer, tetapi perjalanan saya menghabiskan waktu hampir lima jam. Malam sebelumnya pemberontak membunuh dua polisi di luar hotel saya di dekat Kairo, dan di jalan ini terjadi serangan RPG sporadis. Keamanan ditingkatkan, dengan penghalang jalan pada jarak teratur. Saya memerhatikan arus truk yang tiada henti. Kendaraan seperti ini dapat saja menyembunyikan peti mati Shesepamuntayesher.

Setelah Shesepamuntayasher sampai ke Dubai, jejaknya akhirnya semakin jelas. Berdasarkan email, deklarasi cukai, dan manifes pengiriman, para jaksa dan penyelidik federal menduga bahwa ada tiga orang yang terlibat dalam pengiriman sarkofagus dari Dubai ke Amerika Serikat: Mousa Khouli, pedagang barang antik kelahiran Suriah yang berdiam di Kota New York; Salem Alshdaifat, warga Yordania yang berdiam di Michigan; dan Ayman Ramadan, orang Yordania yang berdiam di Dubai. (Khouli akhirnya mengaku bersalah untuk dakwaan penyelundupan dan memberi pernyataan palsu kepada agen federal dan dihukum kurungan rumah enam bulan. Alshdaifat mengaku bersalah untuk dakwaan pelanggaran hukum ringan dan didenda seribu dolar. Ramadan masih buron.)

Dokumen yang diungkap dalam proses pengadilan menunjukkan bahwa Alshdaifat mengirim foto set peti mati Shesepamuntayesher kepada Khouli, lalu Ramadan dan pihak-pihak lain akhirnya mengirim bagian-bagiannya—dengan deskripsi menyesatkan tentang isi dan nilainya—kepada Khouli dan pedagang uang logam kuno di Connecticut. Khouli lalu menggunakan foto tersebut untuk menjual sarkofagus itu kepada seorang kolektor di Virginia. Para penyelidik dari U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE) menduga bahwa Ayman Ramadan menangani barang antik yang dijarah dari Suriah, Yordania, dan Libia. Dan email antara Alshdaifat dan pelanggan potensial menyiratkan dia memiliki pengetahuan langsung tentang penjarahan di Mesir.

Brenton Easter, agen khusus ICE yang menyelidiki kasus Shesepamuntayesher, berkomentar bahwa kerja sama antara jaringan penjarahan internasional jauh lebih baik daripada antara pejabat penegak hukum. Dia mengingatkan bahwa peti kemas yang membawa sarkofagus-luar Shesepamuntayesher ke AS dikirim oleh Amal Star Antiques, perusahaan Dubai. Menurut Easter, Amal Star dimiliki oleh Noor Sham, dari keluarga Sham yang pedagang barang antik dan berbasis di Mumbai, India. Wartawan investigatif Peter Watson, dalam bukunya Sotheby’s: The Inside Story, menduga bahwa anggota keluarga Sham memimpin operasi penjarahan dan penyelundupan besar yang membawa ukiran kuil dari India ke Inggris pada 1990-an, kadang melalui Dubai, dan menitipkan penjualan beberapa benda penting di Sotheby’s di London.

Tidak seperti barang haram lain, barang antik jarahan dimulai kotor tetapi berakhir bersih (setidaknya tampak demikian), asal-usul ilegalnya dicuci saat melalui jaringan perdagangan. Tanpa dokumen asal-usul terperinci—catatan rantai kepemilikan—mustahil diketahui apakah suatu benda itu halal atau haram. Namun, banyak benda yang dikoleksi secara legal pun tidak memiliki dokumen asal-usul yang kukuh. Mousa Khouli menjual Shesepamuntayesher kepada pengusaha farmasi dan kolektor barang antik bernama Joseph Lewis, yang tinggal di Virginia. Lewis didakwa bersama Khouli dan yang lain pada bulan Mei 2011 dengan dakwaan yang mencakup konspirasi penyelundupan dan konspirasi pencucian uang. Setelah hampir tiga tahun proses pengadilan yang melelahkan, dia menerima perjanjian jaksa tertunda dan akhirnya dibebaskan dari semua dakwaan. Lewis menyangkal semua kesalahan, berkata bahwa dia membeli benda itu di AS dari pedagang yang menangani urusan impornya.

Kalau ada gen kolektor, Joe Lewis memi-likinya. Ibunya mengoleksi botol cuka, patung gajah, umpan bebek, sementara ayahnya menggemari senjata api. Sekarang rumahnya yang seluas 600 meter persegi menyimpan botol cuka, umpan bebek, patung gajah ibunya, bersama koleksi serangganya sebanyak 30.000 spesimen dan koleksi penting barang antik Mesir.

“Kalau saya diberi dua benda apa pun, saya akan mulai mengoleksinya,” kata Lewis, pria 60 tahun yang langsing dan ceria. Dia menunjukkan beberapa sarkofagus menakjubkan yang disimpan dalam lemari bermutu museum.

Saat kami mengagumi patung kayu Ptah-Sokar-Osiris berlukis yang indah, saya merasakan tarikan yang sama seperti ketika menatap beberapa barang antik Mesir lain, perasaan aneh bahwa ada kehidupan yang bergetar di bawah permukaan. Saya memahami keinginan untuk memiliki benda semacam itu. Hanya beberapa bulan sebelumnya, saya merasakan getar pesona itu juga di Sotheby’s saat berdiri di hadapan patung dada diorit hitam seorang pendeta dari Kuil Karnak dan mengetahui bahwa, dengan membayar senilai Rp6,7 miliar, benda itu bisa menjadi milik saya.

Masa depan koleksi benda antik sedang terancam oleh pengetatan hukum AS dan asing, kata Lewis, jadi dia baru-baru ini membantu membentuk organisasi untuk mendidik dan membela kolektor. Dia menyebutkan beberapa prinsip mereka: Kolektor, seperti museum, menjaga hak kekayaan budaya umat manusia, yang sering tidak dilindungi oleh negara sumber. Sekalipun tidak digali oleh arkeolog, barang antik tetap memiliki nilai ilmiah besar. Banyak kolektor memperluas pengetahuan masyarakat dengan cara meminjamkan barang antiknya kepada cendekiawan dan museum.

Melalui kerja sama lebih baik antara komunitas kolektor dan komunitas ilmiah, dapat disusun daftar global benda arkeologi sah, yang akan menjadi alat ampuh melawan penjarahan, demikian keyakinan Lewis. “Kalau tidak ada dalam daftar, benda itu tidak boleh dibeli atau dijual,” katanya tentang basis data hipotetis itu. “Kalau tidak terdaftar, benda itu jarahan. Beres!”

Lewis bukan pembela kolektor yang paling lantang. James Cuno, presiden dan CEO di J. Paul Getty Trust, berkata bahwa banyak pengembalian akhir-akhir ini sebenarnya keliru, karena misi museum adalah mengoleksi, melestarikan, dan berbagi warisan budaya dunia—dan benda yang dikembalikan ke area konflik biasanya terancam bahaya. Dengan misi ini, katanya, pembelian artefak jarahan sebaiknya tidak dilarang jika itu dapat mencegah kehilangan atau kerusakan benda itu.

“Apakah Anda setuju dengan, misalkan, pelarangan negosiasi dengan teroris, sekalipun negosiasi dapat menyelamatkan sandera?” tanyanya. “Sekadar tidak berpartisipasi dalam pasar tidak akan melenyapkan pasar itu. Ini bukan persoalan yang sederhana, hitam-putih, tanpa risiko.”

Lewis tidak ingin membicarakan kasus Shesepamuntayesher, tetapi menjelaskan bahwa dia membeli peti mati itu setelah Mousa Khouli, si pedagang, memberikan dokumen asal-usul yang tampaknya masuk akal. (Khouli mengklaim bahwa peti mati Shesepamuntayesher berasal dari koleksi ayahnya sendiri.)

Di sinilah masalahnya: Konvensi UNESCO 1970, hukum warisan, dan kasus pengadilan dan pengembalian pada awal 2000-an semestinya semakin mewajibkan dokumen asal-usul yang terperinci. Namun, banyak kolektor, pedagang, pelelang, dan kurator museum tampaknya masih merasa berhak dilindungi oleh kerahasiaan dan anonimitas yang secara tradisional menyelubungi perdagangan benda antik. Penjualan pribadi di rumah lelang besar sedang meningkat, dan asal-usul samar seperti “dari koleksi Swiss pribadi” atau “dari warisan” masih lazim.

Pertimbangkan, misalnya, patung pendeta yang saya kagumi di Sotheby’s. Seminggu sebelum patung itu sampai ke panggung lelang, Christos Tsirogiannis, arkeolog forensik di University of Glasgow, mengungkapkan bahwa patung itu terdapat dalam “arsip Schinoussa,” basis data berfoto yang disusun oleh jaringan penjarahan dan penyelundupan terkenal. Meski keberadaan dalam arsip ini tidak membuktikan suatu benda itu haram, kenyataan bahwa rumah lelang itu tidak menyebutkan babak ini dalam dokumen asal-usul patung menimbulkan pertanyaan yang meresahkan. (Sotheby’s menyebut klaim Tsirogiannis sebagai “tidak tepat dan tidak bertanggung jawab.”)

“Sejak 2007 saya telah mengidentifikasi banyak benda dari arsip [penjarah] ini di hampir setiap lelang besar,” kata Tsirogiannis. “Kenyataan bahwa rumah lelang terus menjualnya menunjukkan bahwa mereka tidak terlalu ingin membenahi sikap. Mereka hanya ingin terus menjual.”

Dokumen asal-usul generik atau ketiadaan dokumen sudah lama menjadi hal lazim di rumah-rumah lelang terkemuka, bahkan untuk karya seni dari zona perang atau wilayah yang dirundung penjarahan. Dari 1970-an hingga 2011, rumah lelang termasuk Christie’s dan Sotheby’s menjual adikarya patung Khmer, meski jelas ada risiko bahwa benda itu dicuri dari kuil rimba selama dan setelah perang saudara Kamboja yang sengit. Museum besar juga membeli atau menerima patung Khmer.

“Benda-benda seperti itu semestinya memicu kecurigaan—tak mungkin orang membeli atau menjualnya dengan itikad baik,” kata Tess Davis, pengacara dan direktur pelaksana Antiquities Coalition, kelompok advokasi Washington, D.C. “Baru beberapa tahun sebelumnya, kolektor mengeluh bahwa di AS tidak ada karya seni Kamboja. Tetapi, ketika perang saudara genosida pecah, pasar secara ajaib dibanjiri adikarya yang menampakkan bukti pencurian dengan kekerasan, kadang terpotong di pergelangan kaki!”

Setelah mengikuti peti mati Shesepamuntayesher melalui rantai pasok kriminal, saya sulit memandang pembelian artefak tanpa dokumen asal-usul kukuh sebagai tindakan selain kebutaan yang disengaja. Arkeolog Ricardo Elia sepakat. “Ini gamblang,” katanya, mengingatkan pada hukum ekonomi dasar. “Kalau kita membeli benda jarahan, kita mendorong penjarahan lebih banyak.”

Ada tanda-tanda harapan. Pada 2010 Museum Seni Murni Boston menciptakan pekerjaan baru, “kurator dokumen asal-usul,” jabatan pertama dan satu-satunya di AS. Pada 2013 para pejabat di Museum Metropolitan secara sukarela mengembalikan dua patung Khmer khas, tindakan yang dituruti oleh Museum Seni Cleveland dan museum AS lainnya. Museum Metropolitan kemudian mengadakan pameran besar karya seni Asia Tenggara, bekerja sama dengan pemerintah Kamboja.

“Kerja sama seperti ini, yang diadakan dengan peminjaman jangka panjang, bukan pembelian langsung, adalah langkah positif yang dahsyat bagi kurator museum,” komentar Patty Gerstenblith, profesor di DePaul University College of Law yang berspesialisasi dalam warisan budaya.

Pada 23 April 2015, peti mati Shesep-amuntayesher diterbangkan kembali ke Mesir, yang kini memajangnya di Museum Mesir di Kairo. Sementara itu, beberapa kurator museum, serta beberapa kolektor seperti Lewis, menyerukan dibuatnya basis data barang antik untuk membantu mencegah penjarahan. Mere-ka mengusulkan pertemuan dengan arkeolog untuk mencari titik tengah.

Menemukan titik tengah ini penting, baik di negara sumber maupun negara konsumen, kata Sarah Parcak. Penjarahan mungkin akan berlanjut sampai penggali di Mesir dan pembeli di luar negeri memandang barang antik tidak hanya sebagai benda cantik, tetapi juga sebagai jalur penting dalam kisah masa lalu kita.

“Sejarah manusia adalah kisah terhebat yang pernah dituturkan,” kata Parcak kepada saya. “Satu-satunya cara kita dapat memahami sepenuhnya adalah jika kita mengungkapnya bersama-sama.”