Kisah Penjarah Makam

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Lewis bukan pembela kolektor yang paling lantang. James Cuno, presiden dan CEO di J. Paul Getty Trust, berkata bahwa banyak pengembalian akhir-akhir ini sebenarnya keliru, karena misi museum adalah mengoleksi, melestarikan, dan berbagi warisan budaya dunia—dan benda yang dikembalikan ke area konflik biasanya terancam bahaya. Dengan misi ini, katanya, pembelian artefak jarahan sebaiknya tidak dilarang jika itu dapat mencegah kehilangan atau kerusakan benda itu.

“Apakah Anda setuju dengan, misalkan, pelarangan negosiasi dengan teroris, sekalipun negosiasi dapat menyelamatkan sandera?” tanyanya. “Sekadar tidak berpartisipasi dalam pasar tidak akan melenyapkan pasar itu. Ini bukan persoalan yang sederhana, hitam-putih, tanpa risiko.”

Lewis tidak ingin membicarakan kasus Shesepamuntayesher, tetapi menjelaskan bahwa dia membeli peti mati itu setelah Mousa Khouli, si pedagang, memberikan dokumen asal-usul yang tampaknya masuk akal. (Khouli mengklaim bahwa peti mati Shesepamuntayesher berasal dari koleksi ayahnya sendiri.)

Di sinilah masalahnya: Konvensi UNESCO 1970, hukum warisan, dan kasus pengadilan dan pengembalian pada awal 2000-an semestinya semakin mewajibkan dokumen asal-usul yang terperinci. Namun, banyak kolektor, pedagang, pelelang, dan kurator museum tampaknya masih merasa berhak dilindungi oleh kerahasiaan dan anonimitas yang secara tradisional menyelubungi perdagangan benda antik. Penjualan pribadi di rumah lelang besar sedang meningkat, dan asal-usul samar seperti “dari koleksi Swiss pribadi” atau “dari warisan” masih lazim.

Pertimbangkan, misalnya, patung pendeta yang saya kagumi di Sotheby’s. Seminggu sebelum patung itu sampai ke panggung lelang, Christos Tsirogiannis, arkeolog forensik di University of Glasgow, mengungkapkan bahwa patung itu terdapat dalam “arsip Schinoussa,” basis data berfoto yang disusun oleh jaringan penjarahan dan penyelundupan terkenal. Meski keberadaan dalam arsip ini tidak membuktikan suatu benda itu haram, kenyataan bahwa rumah lelang itu tidak menyebutkan babak ini dalam dokumen asal-usul patung menimbulkan pertanyaan yang meresahkan. (Sotheby’s menyebut klaim Tsirogiannis sebagai “tidak tepat dan tidak bertanggung jawab.”)

“Sejak 2007 saya telah mengidentifikasi banyak benda dari arsip [penjarah] ini di hampir setiap lelang besar,” kata Tsirogiannis. “Kenyataan bahwa rumah lelang terus menjualnya menunjukkan bahwa mereka tidak terlalu ingin membenahi sikap. Mereka hanya ingin terus menjual.”

Dokumen asal-usul generik atau ketiadaan dokumen sudah lama menjadi hal lazim di rumah-rumah lelang terkemuka, bahkan untuk karya seni dari zona perang atau wilayah yang dirundung penjarahan. Dari 1970-an hingga 2011, rumah lelang termasuk Christie’s dan Sotheby’s menjual adikarya patung Khmer, meski jelas ada risiko bahwa benda itu dicuri dari kuil rimba selama dan setelah perang saudara Kamboja yang sengit. Museum besar juga membeli atau menerima patung Khmer.

“Benda-benda seperti itu semestinya memicu kecurigaan—tak mungkin orang membeli atau menjualnya dengan itikad baik,” kata Tess Davis, pengacara dan direktur pelaksana Antiquities Coalition, kelompok advokasi Washington, D.C. “Baru beberapa tahun sebelumnya, kolektor mengeluh bahwa di AS tidak ada karya seni Kamboja. Tetapi, ketika perang saudara genosida pecah, pasar secara ajaib dibanjiri adikarya yang menampakkan bukti pencurian dengan kekerasan, kadang terpotong di pergelangan kaki!”

Setelah mengikuti peti mati Shesepamuntayesher melalui rantai pasok kriminal, saya sulit memandang pembelian artefak tanpa dokumen asal-usul kukuh sebagai tindakan selain kebutaan yang disengaja. Arkeolog Ricardo Elia sepakat. “Ini gamblang,” katanya, mengingatkan pada hukum ekonomi dasar. “Kalau kita membeli benda jarahan, kita mendorong penjarahan lebih banyak.”

Ada tanda-tanda harapan. Pada 2010 Museum Seni Murni Boston menciptakan pekerjaan baru, “kurator dokumen asal-usul,” jabatan pertama dan satu-satunya di AS. Pada 2013 para pejabat di Museum Metropolitan secara sukarela mengembalikan dua patung Khmer khas, tindakan yang dituruti oleh Museum Seni Cleveland dan museum AS lainnya. Museum Metropolitan kemudian mengadakan pameran besar karya seni Asia Tenggara, bekerja sama dengan pemerintah Kamboja.

“Kerja sama seperti ini, yang diadakan dengan peminjaman jangka panjang, bukan pembelian langsung, adalah langkah positif yang dahsyat bagi kurator museum,” komentar Patty Gerstenblith, profesor di DePaul University College of Law yang berspesialisasi dalam warisan budaya.

Pada 23 April 2015, peti mati Shesep-amuntayesher diterbangkan kembali ke Mesir, yang kini memajangnya di Museum Mesir di Kairo. Sementara itu, beberapa kurator museum, serta beberapa kolektor seperti Lewis, menyerukan dibuatnya basis data barang antik untuk membantu mencegah penjarahan. Mere-ka mengusulkan pertemuan dengan arkeolog untuk mencari titik tengah.

Menemukan titik tengah ini penting, baik di negara sumber maupun negara konsumen, kata Sarah Parcak. Penjarahan mungkin akan berlanjut sampai penggali di Mesir dan pembeli di luar negeri memandang barang antik tidak hanya sebagai benda cantik, tetapi juga sebagai jalur penting dalam kisah masa lalu kita.

“Sejarah manusia adalah kisah terhebat yang pernah dituturkan,” kata Parcak kepada saya. “Satu-satunya cara kita dapat memahami sepenuhnya adalah jika kita mengungkapnya bersama-sama.”