Kisah Penjarah Makam

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Farag dan rekan-rekannya berhasil mengangkut kedua peti mati itu dari kuburan dan memuatnya ke dalam mobil. Dalam perjalanan kembali ke kantor pusat kementerian, mereka dikejar oleh mobil Peugeot yang mendekat hingga hanya beberapa sentimeter dari bumper mereka. Akhirnya, di persimpangan, ada truk yang menghalangi para pengejar dan mereka berhasil melepaskan diri.

 Saat kami memanjat keluar dari makam, Farag menjelaskan bahwa warga setempat tidak merasakan ikatan dengan budaya Mesir kuno dan menjarah masa lalunya demi bertahan hidup di masa sekarang.

Penjarahan meningkat setelah revolusi 2011, ketika pasukan keamanan pemerintah menghilang. Namun, analisis satelit Parcak menunjukkan bahwa lonjakan besar sudah terjadi dua tahun sebelumnya, ketika krisis keuangan global menggempur perekonomian Mesir. Sebagian penganggur pun menjarah untuk bertahan hidup.

Menggali masa lalu demi keuntungan sudah ribuan tahun menjadi profesi. Pengadilan penjarah terawal di Mesir yang diketahui terjadi di Thebes pada 1113 SM. Gerombolan penja-rah yang dipimpin tukang batu pemberani merampok makam yang dipahat pada batu. Si tukang batu dan kaki tangannya divonis bersalah dan mungkin dihukum mati dengan cara ditusuk.

Pasukan penyerbu juga pernah menggondol benda kuno Mesir. Para penguasa Romawi mengirim obelisk utuh ke tanah asalnya dengan kapal yang dibuat khusus. Dari abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, ketika Mesir dikuasai bangsa asing, tak terhitung benda masa lalunya yang dikirim ke pusat-pusat budaya di luar negeri melalui pemberian, perdagangan, atau pemaksaan. Para arkeolog asing menerima sebagian artefak yang ditemukan dalam penggalian mereka melalui pengaturan resmi dengan pihak berwenang Mesir yang disebut partage. Pelancong membeli barang antik dari pedagang berizin di Kairo, Luxor, dan tempat lain. Transaksi seperti itu biasanya tidak tercatat, karena barang antik dipandang luas sebagai benda milik pribadi. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi barang antik, konsep modern tentang hak kekayaan budaya— dan penjarahan—masih berkembang.

Perubahan di Mesir dan negara lain dimu-lai pada 1950-an, saat kekuasaan kolonial berakhir. Tergugah oleh jati diri kebangsaan baru, ba-nyak negara memperkuat hukum yang ada atau memberlakukan hukum baru untuk melin-dungi masa lalunya, yang mencakup artefak yang masih terkubur. Pada 1983, Mesir menyatakan bahwa semua benda yang penting secara budaya dan berusia lebih dari seratus tahun adalah milik negara. Pada 1970 UNESCO menerima Konvensi tentang Sarana Melarang dan Mencegah Impor, Ekspor, dan Pemindahan Kepemilikan Hak Kekayaan Budaya secara Ilegal, yang hingga kini telah ditandatangani 131 negara.

Tiga puluh kilometer di sebelah utara Abu Sir, saya bertemu dengan Mohammed Youssef, direktur dua situs Kerajaan Tengah yang kaya, Lisht dan Dahshur. Setelah revolusi Januari 2011, gerombolan penjarah merampok situs-situs itu, kadang menggunakan alat berat dan menggali pada malam hari.

Youssef menunjukkan makam batu tempat, tak lama setelah revolusi dimulai, dia dan salah seorang inspekturnya menyelamatkan dua relief batu gamping indah yang dipereteli dari makam lain. Dua kelompok bersenapan mesin bertengkar memperebutkan relief itu. “Saat kami mendekat, mereka menembakkan senapan ke udara. Mereka tidak takut pada kami sama sekali,” Youssef mengenang. Namun, tim Youssef kembali setelah kedua kawanan bersenjata itu pergi, dan mengambil relief itu.

Hukum rimba berlaku di wilayah tidak stabil, terutama semasa perang. Dalam perang saudara Kamboja, Khmer Merah dan kelompok militer lain biasanya mengendalikan penjarah di wilayah mereka. Demikian pula di Suriah sekarang, ISIS menerima jatah dari keuntungan penjarahan, tetapi demikian pula kelompok yang berafiliasi dengan pasukan Presiden Bashar al Assad, Kurdish YPG, dan pihak oposisi.

Menurut Youssef, tokoh-tokoh setempat memegang peran penting di Lisht dan Dahshur. “Ada orang-orang terkenal yang terlibat dalam penjarahan. Mereka kaya, terkemuka, tak tersentuh hukum.” Salah satu keluarga di desa sekitar, kata Youssef, memiliki milisi swasta.

Brigjen Ahmed Abdel Zaher, kepala operasi polisi barang antik Mesir, menjelaskan bahwa banyak jaringan penjarahan di Mesir itu berstruktur seperti piramida empat tingkat. Tingkat dasarnya, mungkin tiga per empat tenaga manusia, terdiri atas warga desa miskin yang pengetahuannya tentang medan dan monumen setempat itu penting untuk menemukan barang jarahan. Tingkat kedua adalah perantara yang menampung benda dari penggali lokal dan meng-atur pekerja menjadi berkelompok. Pemain tingkat ketiga, kata Abdel Zaher, melarikan barang antik ke luar negeri dan menjualnya ke pembeli asing di puncak piramida penjarahan.

Laba semakin tinggi ketika artefak menaiki tangga piramida. Menurut laporan, sebagian penjarah tingkat dua menjual dengan harga 10 kali lipat dari yang dibayarkan kepada penggali. “Mereka ini kriminal profesional, dan barang antik hanya salah satu hal yang mereka perdagangkan,” kata Abdel Zaher.