Kekaisaran Maya yang Hilang

By , Jumat, 2 September 2016 | 18:00 WIB

“Situs-situs yang lebih kecil ini menyebutkan kota yang berada di tengahnya. Sehingga, ini jadi seperti semacam lubang hitam,” ujar Marcus. “Calakmul menjadi pusat jaringan dari tempat-tempat di sekitarnya yang berjarak sama dari kota ini.”

Saat ia akhirnya tiba di Calakmul, dengan kedua piramida pusatnya amat mudah dikenali dari udara, Marcus amat kagum dengan ukuran kota ini—sekitar 50.000 orang pernah tinggal di sana. Stela tersebar di mana-mana, tetapi kebanyakan polos. Batu kapurnya begitu lunak sehingga erosi berabad-abad telah membuatnya menjadi mulus. Ia hanya menemukan dua glif ular di kota itu.

Misteri sang ular telah menarik perhatian seorang peneliti muda dari Inggris, Simon Martin, untuk mengumpulkan semua informasi yang bisa ia dapatkan tentang glif ular dari Calakmul dan situs-situs yang lebih kecil. Ia menggunakan petunjuk dari pertempuran dan intrik politik seputar dunia Maya untuk membentuk gambaran tentang para Ular dan wangsa mereka.

“Kita hanya benar-benar tahu tentang Tikal dari Tikal sendiri. Sementara untuk Calakmul, kita mengetahuinya dari tempat-tempat lain,” ungkap Martin. “Ini seperti hal yang menyatu di tengah-tengah kabut. Sedikit demi sedikit, hal-hal penting dari semua kemunculan acak ini mulai menunjuk ke arah yang sama.”

Pada akhirnya, Martin dan arkeolog Nikolai Grube menerbitkan buku berjudul Chronicle of the Maya Kings and Queens yang memaparkan sejarah yang saling bertautan antara kerajaan-kerajaan di dunia Maya kuno. Para Ular menjadi pusat dunia itu selama sekitar satu abad yang cemerlang. Seperti halnya Marcus, Martin mengatakan bahwa kerajaan Ular tak ubahnya sebuah lubang hitam—yang mengisap semua kota yang ada di sekitarnya dan menciptakan sesuatu yang mungkin saja merupakan sebuah kekaisaran Maya.

Tentu saja masih ada banyak pertanyaan sehubungan dengan para Ular ini: seperti apa mereka hidup, memerintah, dan berperang —dan bahkan apakah beberapa di antaranya benar-benar nyata.

pada akhir abad ke-5, Tikal merupakan salah satu negara-kota yang paling kuat di wilayah itu. Para ahli arkeologi memperkirakan bahwa Tikal mempertahankan kekuasaannya dengan bantuan dari sebuah kota yang jauh lebih besar lagi yang terletak tinggi di pegunungan sejauh 1.000 kilometer ke arah barat bernama Teotihuacan, di dekat Mexico City sekarang. Selama berabad-abad, kedua kota ini membentuk lukisan, arsitektur, gerabah, persenjataan, dan tata kota bangsa Maya. Akan tetapi, semua itu berubah pada abad ke enam, ketika Teotihuacan terpisah dari wilayah Maya dan Tikal pun harus mempertahankan dirinya sendiri.

Lalu, masuklah para Ular. Tak ada yang yakin dari mana mereka datang; tak ada bukti tentang kekuasaan mereka di Calakmul sebelum tahun 635. Beberapa ahli membayangkan ratusan tahun sebelum masa Klasik, para Ular berpindah dari tempat satu ke tempat lain, menciptakan satu demi satu kota-kota besar. Namun, ini hanyalah tebakan. Glif ular pertama yang jelas terlihat, agaknya muncul di Dzibanché, sebuah kota di bagian selatan Meksiko, 125 kilometer jauhnya di sebelah timur laut Calakmul.

Di mana pun markas para Ular itu, kita tahu bahwa mulai dari awal abad ke enam, dua raja Ular berturut-turut menyadari bahwa Tikal tak terlindungi sehingga mereka mengambil tindakan demi memperoleh kendali politik. Raja yang pertama, Jaguar Tangan Batu, menghabiskan masa berdasawarsa-dasawarsa untuk mengambil hati seluruh wilayah dataran rendah Maya.

Berbagai kunjungan ini sekarang tampaknya punya maksud tulus—menyelenggarakan pernikahan, mengadakan permainan bola Maya kuno (olahraga yang menggunakan sebuah bola, beberapa tongkat, dan sejumlah lingkaran batu), mungkin hanya sekadar mampir untuk menyapa. Akan tetapi, beginilah penaklukan sering dilakukan di dunia Maya—dengan menawarkan hadiah, memberikan penghormatan, membentuk sekutu yang amat penting. Kelihatannya tak ada yang lebih lihai dalam hal ini ketimbang para Ular.

Tak lama, sekutu sebelah tenggara Tikal, Caracol, juga memihak para Ular. Begitu pula Waka, sebuah kota yang gemar berperang di sebelah barat. Para Ular dengan sabar mengumpulkan kesetiaan dari kota-kota lain di sisi utara, timur, dan barat Tikal, sehingga membentuk sebuah penjepit besar untuk meremukkan musuh. Jaguar Tangan Batu dan sekutunya akhirnya siap untuk bergerak ke arah Tikal, tetapi sang penguasa Ular mengembuskan napas terakhir sebelum manuver politiknya membuahkan hasil. Penerusnyalah (dan mungkin putranya), Saksi Angkasa, yang bertugas melontarkan jebakannya. Sang raja muda pastilah berperawakan mengesankan. Para ilmuwan yang mempelajari sisa jasadnya mengatakan bahwa tubuhnya besar dan kuat dan tengkoraknya berkali-kali terkena serangan dalam pertempuran, dengan bekas luka yang tergores di atas bekas luka yang lama.

Menurut tulisan pada suatu altar di Caracol, Saksi Angkasa mengakhiri kekuasaan Tikal pada 29 April 562. Sang raja menempatkan segala hal sesuai strateginya, lalu menyerbu. Ia memimpin tentara Ular bergerak ke timur dari Waka, sementara pasukan dari Caracol, negara-kota Naranjo di dekat situ, serta barangkali Holmul, bergerak ke arah barat.