Kekaisaran Maya yang Hilang

By , Jumat, 2 September 2016 | 18:00 WIB
Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara.

Para Ular dan sekutunya dengan cepat menggilas Tikal, merampasnya, dan kemungkinan besar mengurbankan raja kota itu dengan sebilah belati batu di atas altarnya sendiri. Kemungkinan besar, ini adalah waktu ketika orang-orang Holmul hampir menghancurkan mural yang nantinya akan ditemukan oleh Estrada-Belli 1.400 tahun kemudian. Isi mural ini memperlihatkan rasa hormat kepada Tikal dan Teotihuacan—sebagai tanda kesetiaan mereka kepada penguasa baru sang Ular. Masa kekuasaan para Ular pun dimulai.

Sejarah Maya selama 30 tahun berikutnya agak kabur. Namun, berkat arkeolog Meksiko Enrique Nalda dan Sandra Balanzario, kita jadi mengetahui bahwa Saksi Angkasa wafat 10 tahun setelah kemenangannya, saat ia berusia 30-an awal. Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara. Salah satu sisi jarum itu bertuliskan, “Inilah persembahan darah Saksi Angkasa.” Dari delapan raja Ular yang berkuasa selama masa hiatus Tikal, ia adalah satu dari hanya dua raja yang sisa jasadnya diketemukan.

Kali berikutnya para Ular muncul jauh di barat, di kota Palenque yang mewah. Tak seperti metropolis Tikal dan Calakmul yang ada di dataran rendah yang lebih kering, Palenque begitu anggun dan canggih. Piramida-piramidanya yang elegan berlapiskan plester. Menara pengawasnya bertengger di kaki pegunungan yang memanjang ke Teluk Meksiko dan dataran tinggi bagian tengah. Berkat sungai dan air terjun yang melimpah, kota ini punya banyak air dan bahkan mungkin memiliki toilet dengan air yang mengalir.

Palenque bukanlah kota yang amat besar—mungkin dengan 10.000 jiwa—tetapi merupakan merucusuar peradaban dan gerbang bagi perdagangan ke wilayah barat, menjadikannya target utama bagi kekuasaan baru yang ambisius. Pada saat itu para Ular dipimpin oleh seorang raja bernama Uneh Chan atau Ular Gulung yang, seperti para pendahulunya, menyerang dengan menggunakan duta dan sekutu. Ratu Palenque yang bernama Jantung dari Tempat Berangin mempertahankan kotanya dari serbuan para Ular tetapi lalu menyerah pada 21 April 599.

Desakan perluasan wilayah sedemikan rupa sangatlah jarang terjadi di kalangan orang Maya Klasik yang sering digambarkan sebagai orang-orang yang suka bertengkar dan terpecah-belah. Mereka juga terfokus kepada wilayahnya sendiri tanpa ambisi yang lebih besar. Para Ular berbeda.

“Serangan terhadap Palenque adalah bagian dari rencana yang lebih besar,” ujar Guillermo Bernal, seorang epigrafis atau ahli inskripsi di Universidad Nacional Autónoma de México. “Saya pikir alasannya bukanlah bersifat materi —lebih ideologis. Kaanul mempunyai visi menciptakan sebuah kekaisaran.”

Gagasan membangun kekaisaran ini kontroversial di kalangan para arkeolog Maya. Banyak dari mereka berpendapat, konsep ini secara budaya dan geografis tidaklah dapat diterapkan. Namun tetap saja, jika melihat para Ular, sulit untuk tidak melihat sebuah pola ekspansi. Mereka bersekutu dengan kota-kota terbesar di timur, menaklukkan yang ada di selatan, dan berdagang dengan orang-orang di utara. Palenque mewakili tepi dunia Maya di sebelah barat. Akan tetapi, tanpa kuda dan tentara yang siap sedia, bagaimana mereka bisa melakukannya?

Untuk memiliki pengaruh terhadap wilayah yang amat jauh, mungkin sebesar separuh wilayah Bekasi, diperlukan suatu pengaturan yang belum pernah ada bagi orang Maya. Juga diperlukan sebuah tampuk kekuasaan baru, yang lebih dekat dengan kota-kota di selatan yang kaya akan giok. Dzibanché 125 kilometer jauhnya dari Calakmul, sebuah jarak yang luar biasa bagi orang-orang yang berjalan kaki dalam rimbunan belantara. Tak ada catatan tentang kepindahan ke ibu kota baru Calakmul, tetapi pada 635 para Ular mendirikan sebuah monumen yang mengumumkan bahwa diri mereka adalah penguasa kota itu, setelah menyingkirkan wangsa sebelumnya di sana yang dikenal sebagai para Kelelawar.

Dalam jangka waktu satu tahun, penguasa Ular terbesar—barangkali raja Maya yang terbesar—naik takhta. Namanya adalah Yuknoom Cheen II, atau Pengguncang Kota, begitu kadang kala ia disebut. Saksi Angkasa dan Ular Gulung memang penakluk ulung, tetapi Yuknoom Cheen merupakan raja sejati. Tak ubahnya Cyrus di Persia atau Augustus di Roma, ia dengan lihai mengadu domba kota-kota—ada yang disuap, ada yang diancam—selagi memperkuat cengkeraman kekuasaannya di dataran rendah Maya. Cara ini tak seperti yang dilakukan raja-raja Maya sebelum dan sesudahnya. Dan ia mempertahankan tindakan perimbangan politik ini selama 50 tahun.

PERMAINAN TAKHTA

Tikal merupakan negeri adidaya sampai kemunculan para raja Ular pada abad ke-6. Calon penguasa baru ini, barangkali bermarkas di Dzibanché, bersekutu dengan kota-kota (warna merah) di sekeliling Tikal (sekutunya berwarna hitam) sehingga dapat menghancurkan pesaingnya pada 562. Pada 635, wangsa Ular memindahkan ibu kotanya ke Calakmul. Seorang raja bernama Dewa yang Menyapu Bersih Angkasa melakukan tendangan pembuka bagi kembalinya Tikal kepada kekuasaan tertinggi dengan kemenang­an mutlak atas Calakmul (kini dengan dua sekutu tambahan lagi, warna abu-abu) pada 5 Agustus 695.

(Jerome N. Cookson, Staf NG Sumber: David Freidel, Washington University in St.Louis)