Kekaisaran Maya yang Hilang

By , Jumat, 2 September 2016 | 18:00 WIB

Situs ini merupakan permukiman yang makmur selama masa Maya Klasik (250-900 M), masa ketika tulisan dan kebudayaan berkembang pesat di segenap daerah yang kini menjadi Amerika Tengah dan Meksiko bagian selatan.

Peta daerah Maya dan lokasi Calakmul dan Tikal. (NGM MAPS)

Para arkeolog mulai mengisi masa kosong ini pada 1960-an, ketika mereka menyadari adanya sebuah glif aneh yang tersebar di area berbagai situs Klasik—sebuah kepala ular dengan seringai serupa badut dan dikelilingi tanda-tanda yang berhubungan dengan kerajaan.

Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara.

“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”

“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”

Begitulah kerja arkeologi yang perlahan, yang membuat gemas. Dari kilasan dan potongan-potongan yang didapat, para ahli mencoba menyatukan kembali sebuah gambaran utuh tentang masa lalu.

Tak jarang para ahli pun tak sepakat. Ramón Carrasco, arkeolog yang mengamati situs Calakmul, mengatakan bahwa para Ular tak pernah tinggal di Dzibanché dan tak pernah pudar kejayaannya. Ia melihat bukti yang sama, tetapi memiliki kesimpulan berbeda.

Karenanya, para arkeolog terus mencari petunjuk lagi. Pada 1996, Carrasco mengekskavasi struktur bangunan terbesar di Calakmul, sebuah piramida anggun yang dibuat sebelum 300 SM. Di dekat puncaknya, ia menemukan sisa-sisa sebuah jasad. Dan di bawah itu, ada sebuah ruang.

“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco.  “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”

Butuh sembilan bulan untuk menggali kubur itu dengan aman dan mengekskavasinya. Ketika akhirnya Carrasco masuk, ia tahu bahwa ia telah menemukan seorang raja besar. Jasad raja itu dibalut dengan syal yang bagus dan ditaburi dengan manik-manik. Sang raja tidak sendiri—seorang wanita muda dan seorang anak-anak telah dikurbankan dan diletakkan di sebuah ruang di dekat situ.

Tubuh sang raja, menurut Carrasco, “diselimuti lumpur dan debu. Kita bisa lihat beberapa manik-manik giok, tapi tidak terlihat ada topeng.” Jadi, ia mengambil sebuah kuas dan mulai membersihkannya dengan hati-hati. “Hal pertama yang saya lihat adalah sebuah mata—menatap saya dari masa lalu.”

Mata itu berada di sebuah topeng giok indah yang dibuat untuk menghormati sang raja di alam baka. Analisis yang dilakukan belakangan menunjukkan, bahwa ia adalah pria yang gempal. Bahkan orang ini mungkin gemuk, dengan ligamen yang mengeras di tulang punggungnya. Makamnya dihiasi dengan elegan.

Di dekat situ diletakkan hiasan kepala dari batu giok, yang di bagian tengahnya pernah terdapat tapak jaguar. Di sebelahnya ada piring keramik berkepala ular menyeringai dengan inskripsi “piring Cakar Api."