Saya Juga Amerika

By , Kamis, 17 November 2016 | 19:00 WIB

Tanpa pertemuan kebetulan dengan seorang prajurit berseragam di agen penjualan Mercedes-Benz di perbatasan Sacramento, California, Gina McVey tidak akan tahu bahwa kakeknya pernah memegang peran terhormat dalam sejarah Amerika.

Dalam basa-basi mereka di dalam ruang tunggu, McVey menyebutkan bahwa kakeknya bertugas saat Perang Dunia I. Pertanyaan berikutnya bisa ditebak: “Apa jabatannya? Di mana dia bertugas?” McVey pun memberikan beberapa jawaban.

Tidak banyak yang diketahuinya dari detail kehidupan Lawrence Leslie McVey, Sr. Dia tinggal di New York City, sisi lain Amerika, dan wafat ketika McVey baru berusia 10 tahun. Mereka hanya dua kali berjumpa. Namun, McVey mengetahui satu detail yang telah menjadi legenda keluarganya: Kakeknya pernah menerima medali berharga dari pemerintah Prancis, tetapi dia tidak ingat nama penghargaannya.

“Ekspresinya ketika saya menyebut tentang medali itu tidak ternilai harganya. Dia bertanya apakah kakek saya berkulit hitam,” kata McVey. Itu asumsi wajar, karena dia wanita Afrika-Amerika berkulit cokelat dan berbola mata gelap.

“Si prajurit menyebutkan nama penghargaan itu,” lanjutnya. Croix de Guerre. “Mungkin pengucapan saya salah, tetapi dia ingin tahu apakah kakek saya menerima medali yang itu.”

McVey masih mengingat ucapan berikutnya dari si prajurit. “Tahukah Anda apa yang Anda miliki? Anda punya sejarah.”

Satu jam kemudian, dia telah melakukan riset tentang prajurit kulit hitam pada Perang Dunia I di komputernya. Dalam empat jam, dia telah berada di rumah ibunya di Los Angeles, mencermati isi kotak logam yang telah terkubur di laci kamar sejak 1968—tahun kematian kakeknya. Dalam empat bulan, Gina McVey telah berada di Washington, D.C., menyerahkan isi kotak itu kepada para kurator National Museum of African American History and Culture yang baru saja dibuka.

“Mereka terkaget-kaget melihatnya,” kata McVey. Isi kotak itu adalah berbagai macam medali militer, penghargaan, foto, dan guntingan surat kabar yang menjabarkan secara mendetail tentang jasa kakeknya di pasukan Infanteri 369—resimen yang seluruhnya beranggota prajurit kulit hitam, yang saking tangguhnya dijuluki Harlem Hellfighters. Dilarang bertempur bersama prajurit berkulit putih, para prajurit kulit hitam diberi tugas sebagai tukang masak dan tukang angkut. Namun, akhirnya diturunkan ke medan perang untuk menggantikan posisi pasukan Prancis yang telah kehilangan banyak prajurit. Kepahlawanan mereka, yang kini terlupakan, pernah diketahui oleh dunia.

“Saya tidak pernah mempelajari soal ini di sekolah,” kata McVey. “Sejarah ini teronggok di sana, menunggu seseorang mengatakan, ‘Ini penting. Kita harus mengabarkannya.’”

Museum-museum milik Smithsonian Institution biasa didatangi oleh wisatawan dari seluruh penjuru dunia yang ingin mempelajari makna menjadi orang Amerika. Pada bulan September ini, museum terbaru ini memiliki misi berbeda: mengerangka ulang sejarah Amerika melalui lensa Afrika-Amerika. Ini, menurut Lonnie Bunch, direktur pendirinya, “adalah panggilan untuk mengingat.”

Baik itu buku kidung yang pernah digunakan oleh penggalak abolisi Harriet Tubman, Cadillac yang pernah dikemudikan oleh legenda rock-and-roll Chuck Berry, atau menara sipir dari penjara Angola di Louisiana, semua obyek di museum akan menyorot sebuah bab dalam narasi sejarah yang mencakup pengekangan, penindasan, kemerdekaan, dan kegigihan.

Para pengunjung—diperkirakan mencapai lima juta per tahun—juga akan bisa melihat medali Croix de Guerre milik Leslie McVey dan mengetahui kegagahan Pasukan 369, termasuk prasangka dalam kebijakan Angkatan Bersenjata AS. Kebenaran yang pahit itu jelas terungkap dalam memo militer dari 1918 yang menjelaskan bahwa “walaupun berkedudukan sah sebagai warga negara Amerika Serikat, orang kulit hitam dianggap terbelakang oleh orang kulit putih Amerika.” Memo itu mengimbau para perwira Prancis untuk tidak makan bersama, menjabat tangan, atau bahkan memuji prajurit berkulit hitam, dan tidak ‘memanjakan’ para Negro.”

Dalam beberapa hal, museum baru itu menjadi tolok ukur kebudayaan. Negara yang menolak penghormatan bahkan kemanusiaan mendasar bagi warga Afrika-Amerika tengah memberikan penghormatan pada sejarah kulit hitam dengan cara luar biasa. Segala hal dari museum baru ini mencengangkan—misi, koleksi, gedung senilai 540 juta dolar yang terinspirasi karya seni Afrika kuno dan sebagian besar dirancang oleh David Adjaye, arsitek Inggris yang lahir di Tanzania dengan orang tua berkebangsaan Ghana.