Saya Juga Amerika

By , Kamis, 17 November 2016 | 19:00 WIB

Harlem Hellfighters kembali ke New York City sebagai pahlawan dan disambut dengan meriah, dihujani rokok, cokelat, dan uang logam yang berdenting-denting menerpa helm baja mereka. Tetapi, begitu parade berakhir, para prajurit kembali ke negara yang tidak memandang mereka secara setara. Pada 1919, tahun kepulangan mereka, ratusan orang Afrika-Amerika terbunuh dalam kerusuhan yang dipicu orang kulit putih di seluruh negeri, dalam peristiwa Red Summer.

“Saya semakin banyak tahu tidak hanya tentang jasa kakek saya, tetapi juga dunia tempatnya kembali. Dan, itu membuat saya semakin mengerti mengapa seluruh sejarah ini hilang,” kata McVey. “Ini berat. Terlalu berat.”

Menurut Rex Ellis, kepala bagian kekuratoran museum, tugas yang diembannya adalah menyampaikan cerita yang utuh, “bukan sebagian dari cerita, bukan suatu penggalan yang bisa dicerna dengan nyaman.” Misi ini mengandung kontroversi.

Ellis dibesarkan di Williamsburg, bekas ibu kota Virginia. Colonial Williamsburg, museum sejarah hidup yang luas, tempat para aktor mengenakan kostum masa lalu, menjadi pusat kehidupan sipil modern warga kota. Namun, ketika Ellis masih kanak-kanak, dia dilarang mengunjungi tempat itu. Pada suatu hari, dia menanyakan alasannya kepada ayahnya. Sang ayah mendampratnya: “Karena tempat itu menyoroti perbudakan, dan kita tak perlu tahu.”

Lebih dari satu dekade kemudian, Ellis menjadi dosen sejarah teater. Seorang perwakilan dari Colonial Williamsburg mengunjungi untuk mencari aktor pemeran budak. “Orang itu mengatakan bahwa dia ingin membahas tentang setengah bagian populasi Williamsburg pada abad ke-18, dan ingin meminta bantuan kami.”

Itu mengagetkan Ellis, yang sebelumnya tak tahu, setengah populasi kota pada masa itu berkulit hitam. Dia mulai mengembangkan Other Half Tour—dua jam perjalanan melintasi situs, menyajikan kehidupan dari sudut budak.

Ellis memperkenalkan sebuah paradigma baru: Para penerjemah budak akan menjelaskan dalam detail ilmiah tentang cara mereka bekerja, hidup, sejenak menemukan harga diri dalam ritual-ritual pribadi, dan menjalani kehidupan penuh kekangan dan kebrutalan. Ellis adalah aktor terlatih bersuara empuk dengan keahlian menggunakan seluruh badannya untuk menekankan setiap kata, bagaikan konduktor yang memimpin orkes. Dengan caranya, dia memancing rasa haru ketika menggambarkan seorang budak yang menghadapi hukuman keras akibat belajar membaca—kemudian dia berhenti berakting dan berdiri tegak untuk menuturkan pelajaran sejarah yang menggugah. Para wisatawan sangat menyukainya, namun pekerjaan ini menjatuhkan posisi Ellis di kalangan kulit hitam Williamsburg.

“Ini amat, sangat, kontroversial,” kata Ellis. “Dua tiga tahun pertama amat, sangat, sulit.”

Ayahnya tidak pernah datang untuk melihatnya bekerja sebagai penerjemah budak. “Akhirnya, menurut saya beliau mengerti bahwa saya tidak sekadar mengembalikan sejarah kami kepada kami, tetapi juga mengembalikan harga diri yang menjadi hak orang-orang dalam sejarah mereka. Harga diri,” ujarnya, mengulang kata-kata itu untuk menekankan maksudnya. Ayahnya wafat sebelum museum dibuka, namun Ellis selalu mengingatnya ketika memikirkan tujuannya. “Anda harus meyakinkan sebagian orang tentang pentingnya pekerjaan ini. Ini membantu saya memahami bahwa kami harus bekerja keras dan berhati-hati agar orang-orang bisa menerima dan mendukung misi kami.”

Tim kurator museum yang memiliki latar belakang budaya yang beragam, menghabiskan satu dekade terakhir untuk meyakinkan banyak orang, bahwa mempelajari sejarah orang kulit hitam adalah kunci untuk memahami Amerika.

Pada 1995, National Museum of American History menggelar pameran yang menampilkan satu bagian dari meja makan kafe Woolworth’s dari Greensboro, North Carolina, yang pada 1960 digunakan empat orang pelajar kulit hitam untuk memprotes layanan khusus kulit putih dengan aksi duduk yang menginspirasi seluruh negeri. Beberapa tokoh vokal North Carolina khawatir, hal itu akan mempermalukan Greensboro di National Mall. Pejabat Woolworth khawatir hal ini akan mencoreng merek mereka. Sebagian orang Afrika-Amerika keberatan, karena pameran ini bagaikan cerita Disney, menonjolkan kemuliaan hati para pelajar itu, bukan rasisme yang tengah mereka perangi. Semua konflik itu terjadi hanya gara-gara satu pameran. Kini, bayangkanlah koleksi yang terdiri dari hampir 40.000 objek.

Benda-benda yang dipamerkan jelas menunjukkan sisi gelap penindasan, namun dipilih dengan sangat hati-hati. Walaupun mengedepankan suara kulit hitam, pendekatan yang diambil museum bermaksud untuk menarik pengunjung dari semua latar belakang. Pengalaman dimulai di bawah tanah—sedikit koreografi yang mencerminkan slogan National Association of Colored Women, “Kami Mengangkat sambil Mendaki.” Para pengunjung belajar tentang bangsa baru yang tengah berjuang untuk menegakkan peraturan hukum dan bergulat dengan “paradoks kebebasan.” Tidak ada yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa perbudakan itu keji atau pemisahan itu jahat. Namun, melalui pameran yang dirancang dengan hati-hati, para pengunjung didorong untuk memandang masalah politik, ekonomi, atau moral dari kacamata sangat pribadi. Gagasan yang mendasarinya adalah mengetahui tentang rantai kaki budak akan memancing pengunjung untuk merenung tentang rasanya mengenakan borgol atau penjepit besi di pergelangan kaki.