“Anda akan melihat diri Anda sendiri di pameran ini, apa pun ras Anda,” ujar Mary Elliott, yang membantu menata pameran Perbudakan dan Kemerdekaan. Pameran ini menampilkan kontradiksi yang dipersonifikasikan oleh presiden Amerika ketiga: penyusun kerangka Deklarasi Kemerdekaan dan pemilik budak. “Kami memanusiawikan kisah ini, sehingga jika Anda laki-laki, jika Anda perempuan, jika Anda anak-anak, pandanglah Thomas Jefferson dan katakan: ‘Apakah yang akan saya lakukan? Bagaimana saya harus membenarkannya?’”
Bagi musisi Chuck D, pemimpin grup rap Public Enemy yang lantang menyuarakan masalah politik, museum ini sejalan dengan single nomor satu grupnya yang dikeluarkan pada 1989, Fight the Power. Dalam lagu itu dia meratapi “sebagian besar pahlawanku yang tidak terpampang di prangko.”
“Pertama, fakta bahwa mereka ingin memasukkan hip-hop dan rap ke dalam sejarah orang Afrika-Amerika di Amerika saja sudah luar biasa,” kata Chuck D, yang bernama asli Carlton Douglas Ridenhour. “Ditambah lagi, mereka ingin menghadapi Amerika, meminta Amerika menghadapi dirinya sendiri, dan memandang semua penduduk dan sejarahnya. Itulah yang namanya kekuatan.”
Bagi pemegang medali Olimpiade Carl Lewis, daya tarik museum terletak pada kemampuannya memberikan semacam keabadian bagi prestasi dan kisahnya. Lewis mengungkapkan bahwa sebagian motivasinya adalah memastikan, bahwa orang-orang tidak hanya akan mengenang medali-medali yang direbutnya, tetapi juga cerita di baliknya. Sembilan dari sepuluh medalinya berada di Smithsonian—semua, kecuali satu, yang disimpannya di dalam peti mati ayahnya. “Jujur saja,” kata Lewis. “Anda tahu, sangat menakjubkan jika mungkin seratus tahun lagi medali itu masih ada di sana. Saya akan menjadi bagian dari sejarah Amerika. Maksud saya, itu bagian egois saya. Yang benar saja, anak kecil canggung dari Willingboro, New Jersey, yang dahulu menjadi bahan tertawaan orang-orang, sekarang ada di Smithsonian.”
Objek-objek yang mencerminkan kejayaan sekalipun memiliki sejarah menaklukkan rintangan. Misalnya, Cadillac Eldorado 1973 milik Chuck Berry. Mobil ini memang menawan. Merah cabai dengan roda putih dan ornamen kap yang berkilauan bagaikan cahaya lampu gantung. Selama pengambilan gambar untuk film, Berry, mengemudikan mobil itu melintasi panggung Fox Theatre di St. Louis—gedung teater yang pernah melarangnya masuk ketika dia masih muda. Di museum, Berry akan dikenang sebagai gitaris pelopor dengan karya yang disukai oleh remaja kulit hitam dan putih, menjadi inpirasi utama para legenda penerusnya, termasuk Keith Richards, Pete Townsend, dan Dave Grohl.
Sejak awal, tujuan museum adalah menciptakan koleksi baru, bukan mengambil koleksi museum lain. Kantor sementara museum dipenuhi papan tulis dan kertas kuning berisi daftar orang, tonggak sejarah, peristiwa, dan tema: abolisi, Perang Sipil, tarian, olahraga, surat kabar kulit hitam, transportasi, penahanan, gerakan unjuk rasa, distrik bisnis, pertanian, kelautan, rambut, komedi, keluarga.
Para kurator menginginkan artefak yang mewakili tonggak sejarah, namun mengungkapkan cerita dengan cara personal. Benda-benda biasa untuk menyampaikan kisah-kisah luar biasa. Mereka mendapatkan banyak hal. Busana Marian Anderson, dengan jaket jingga menyala yang dipilihnya untuk tampil di Lincoln Memorial pada 1939, setelah dia dilarang menyanyi di Constitution Hall oleh Daughters of the American Revolution hanya karena dia berkulit hitam. Raket juara tenis Althea Gibson, yang pada awal 1950-an menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang berlomba di U.S. Nationals dan Wimbledon. Belenggu mungil yang dibuat untuk budak kanak-kanak.
Para kurator terus mengumpulkan benda yang berkaitan dengan sejarah yang masih berjalan, dari unjuk rasa di Ferguson, Missouri pada 2014, setelah seorang polisi kulit putih menewaskan seorang pria kulit hitam yang tidak bersenjata, hingga akhir masa bakti Presiden Barrack Obama.
Benda-benda paling luar biasa berhubungan langsung dengan masa kelam ketika orang-orang kulit hitam dijualbelikan bagaikan barang. Hal ini juga menjadi pengingat tentang betapa orang-orang kulit hitam yang diperbudak sangat bergantung pada harapan akan kebebasan.
Rex Ellis masih mengingat hari ketika dia berjalan di lorong dan tanpa sengaja mendengar seorang rekan kerjanya menceletuk soal wanita yang terus-menerus menelepon untuk memberi tahu bahwa dia memegang Alkitab milik Nat Turner. Ellis seketika berhenti hingga minuman di tangannya tumpah. “Berikan nomornya padaku,” katanya. Dia langsung menelepon, namun meragukan informasi yang diterimanya. Para kurator terbiasa menemui jalan buntu dan orang-orang yang berharap mendapatkan uang atau perhatian instan.
Ellis tumbuh di dekat daerah berawa di Sothampton County, Virginia, tempat Turner memimpin revolusi budak berdarah pada 1831. Dia pernah mendengar rumor tentang memorabilia Turner, yang diwariskan secara turun-temurun di antara keluarga kulit putih.
Alkitab itu, jika benar-benar ada, akan menjadi benda penting untuk menuturkan sejarah Nat Turner. Turner dikenal luas sebagai pendeta dan pria yang sangat religius. Dia belajar membaca sendiri dan membawa Alkitab ketika menyampaikan khotbah atau membaptis budak laki-laki maupun perempuan. Dia mungkin membawa Alkitabnya selagi kelompok budaknya mendatangi perkebunan demi perkebunan, membebaskan para budak dan membunuh setidaknya 55 orang kulit putih, termasuk wanita dan anak-anak.
Penelepon gigih itu bernama Wendy Creekmore Potter, profesor kajian wanita di Old Dominion University di Norfolk, Virginia. Alkitab itu dimiliki oleh ayah tirinya, Maurice Person, cicit Lavinia Francis, yang selamat dari pembantaian setelah budak keluarganya menyembunyikannya dari komplotan Turner.
Ketika Ellis tiba di rumah Porter di Virginia Beach, Alkitab itu tergeletak di meja ruang makan, terbungkus serbet tua. Buku itu sebesar novel saku, dengan sampul depan dan belakang yang telah hilang, dan halaman-halaman yang rapuh dan kumal. “Kecil sekali,” kata Ellis, “dan saat itulah saya tahu bahwa benda ini bisa jadi asli karena Nat Turner selalu membawa Alkitabnya di dekatnya, di dalam sakunya.”
Alkitab itu telah melalui perjalanan luar biasa. Ia tersimpan di laci barang bukti pengadilan selama lebih dari 80 tahun hingga 1912, ketika diserahkan kepada cucu Lavinia Francis, ayah Person. Ia lalu menghabiskan puluhan tahun dipajang di atas piano keluarga. Akhirnya ia dibungkus serbet dan dimasukkan ke lemari, lalu kemudian dipindahkan ke kotak penyimpanan. Porter memamerkannya saat kelas lima.
“Sayang jika benda ini disimpan di rumah. Ia berhak berada di tempat yang jauh lebih hebat untuk menyampaikan cerita,” kata Porter. “Tempat yang memungkinkannya dilihat oleh banyak orang. Tempat untuk menyembuhkan.”
Cicit Nat Turner, Bruce Turner, percaya bahwa perjalanan Alkitab itu telah berakhir di tempat yang tepat. “Semakin banyak orang bisa melihat Alkitab itu,” ujarnya, “semakin jauh kisah Nat Turner akan tersebar.”
Menempatkan suatu benda di balik dinding Smithsonian, berarti menekankan signifikansinya. Tempat itu adalah segel budaya, cara untuk mengatakan: Ini penting. Esensi misi museum adalah membantu semua pengunjung yang masuk ke dalamnya untuk memahami bahwa kehidupan dan sejarah kulit hitam memang penting.
Ini pesan yang ditujukan untuk semua orang, terutama mereka yang tidak memahami sejarah mereka sendiri. Lima puluh tahun telah berlalu, sebelum Gina McVey mengetahui tentang jasa militer kakeknya. Ketika sang kakek wafat pada 1968, dia ditemukan duduk sendirian di bangku taman di New York City. Seseorang telah menghajarnya. Kini, jutaan orang akan mengetahui tentang peran heroiknya dalam sejarah Amerika.
Sejarah Afrika-Amerika selama ini dipikirkan belakangan, dikesampingkan dengan tanda bintang. Tetapi, selagi seluruh bangsa memperdebatkan nilai-nilai intinya, sejarah ini menyimpan pelajaran besar bagi kita.
Bunch, direktur museum, telah menekankan hal ini sejak pertama kali bergabung dengan Smithsonian pada 1978. “Jika seseorang ingin memahami akar keteguhan, optimisme, atau spiritualitas Amerika, adakah yang lebih baik daripada pengalaman kulit hitam? Jika seseorang ingin memahami tentang dampak dan ketegangan yang menyertai perubahan demografis kota-kota kita, adakah yang lebih baik daripada karya sastra dan musik masyarakat Afrika-Amerika?” ujarnya. “Kebudayaan Afrika-Amerika memiliki kekuatan dan kompleksitas yang diperlukan untuk menerangi semua sudut gelap dalam kehidupan Amerika, dan kekuatan untuk menerangi semua kemungkinan dan ambiguitas kehidupan Amerika.”
Tidak ada sesuatu pun dari museum baru ini yang mengesankan keterlambatan pemikiran. Tanda bintang telah menjadi tanda seru.