Bangunannya terletak di lokasi istimewa, hanya beberapa langkah dari Gedung Putih, di seberang hamparan hijau yang mengelilingi Monumen Washington. Bagian luar gedungnya dilapisi anyaman cokelat tua berdesain rumit, serupa dengan gerbang-gerbang dan balkon-balkon indah karya para pandai besi Afrika-Amerika di New Orleans. Bunch menjelaskan: “Saya menginginkan gedung yang menyerukan ketahanan, keagungan, spiritualitas, namun juga berkesan muram.”
Bangunan itu juga bergaris tegas dan agresif secara estetika, sebagai penghormatan pada gaya flamboyan menawan yang kerap digunakan warga Afrika-Amerika untuk melambangkan kepercayaan diri dan kebanggaan budaya. Topi gereja. Setelan rapi. Kepang rambut baris jagung. Perhiasan mentereng. Terletak di bagian terdepan deretan gedung megah milik Smithsonian yang mengapit National Mall, bagaikan Beyoncé, dalam balutan kostum bertatahkan permatanya, yang melenggang menuju pertemuan di Wall Street bersama orang-orang bersetelan abu-abu.
Walaupun telah kerap terjadi, hati saya tetap bergetar setiap kali saya melewati gedung itu. Dalam tur pertama saya di sana, saya melihat sesuatu yang mengungkapkan emosi saya ke dalam kata-kata. Segala sesuatu mengenai gedung itu meneriakkan, “I, too, am America.” (Saya juga Amerika.)
Kata-kata itu, yang terpampang di dinding dengan abjad-abjad perunggu besar di salah satu ruang pameran di museum, adalah baris terakhir dari puisi karya Langston Hughes yang berjudul pendek, “I, Too.” Puisi itu ditulis ketika Hughes berada di Eropa dan ditolak untuk menumpang kapal menuju kampung halamannya gara-gara rasnya. Puisi itu bercerita tentang “saudara berkulit lebih gelap” yang dipaksa makan di dapur, namun tetap berselera makan dan tumbuh sehat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti dia akan berada “di meja ketika para tamu hadir.”
“Lagi pula,” tulis Hughes, “Mereka akan melihat betapa tampannya aku. Dan menjadi malu karenanya.”
Museum yang dikelola dengan baik, bisa membantu kita memahami dan menginterpretasikan dunia yang rumit dengan mencerahkan sejarah dan memengaruhi sikap. Itu menjadi tantangan, ketika kita harus mencermati episode sejarah terkelam. Masyarakat mana pun yang pernah terluka akibat perang, genosida, kelaparan, penggusuran, atau perbudakan harus menentukan sendiri apa yang mereka ingat dan bagaimana mereka mengingatnya.
Museum memegang peran penting dalam membentuk memori bersama—dalam kasus ini mengarahkan pandangan negara ke sejarah yang sebelumnya dipilih untuk dilupakan. Perbudakan, yang telah dilarang oleh hukum Amerika selama lebih dari dua abad, telah membentuk hampir semua aspek kehidupan Amerika, namun tak pernah mendapatkan tempat utama dalam tonggak sejarah Amerika. Dari perbudakan, pemisahan berdasarkan warna kulit, hingga kemenangan besar, museum baru ini menyoroti suka duka orang Afrika-Amerika.
Penemuan-penemuan seperti pada Gina McVey, menjadi sensasi tersendiri bagi para kurator museum. Mereka mulai bertugas satu dekade silam dengan keyakinan bahwa ada banyak artefak, dokumen, dan harta yang akan mengungkapkan sejarah Afrika-Amerika terkubur di ruang bawah tanah, loteng, garasi, dan peti penyimpanan. Barang-barang mahal mungkin berada di tangan kolektor, namun para kurator yakin bahwa ada banyak benda sangat penting yang belum terungkap keberadaannya, karena banyak museum telah mengabaikan sejarah orang kulit hitam.
Tetapi, ada kenyataan lain yang mendorong para kurator untuk percaya bahwa ada sangat banyak sejarah kulit hitam yang masih terkubur. Dalam banyak kasus, keluarga-keluarga kulit hitam enggan menggali masa lalu mereka yang sangat menyakitkan. Banyak orang yang pernah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dan dilecehkan oleh sistem segregasi memutuskan bahwa cara terbaik untuk maju adalah melupakan masa lalu. Mereka berfokus ke masa depan. Ke depan. Ke atas.
Pada masa kecil saya sendiri, ayah saya dan kelima saudaranya kerap berbicara tentang “pergi tanpa beban.” Ketika ada yang bertanya, “Apa kabar?” jawaban mereka adalah, “traveling light—pergi tanpa beban.” Baru setelah dewasa saya menyadari bahwa mereka tidak sedang membicarakan jenis koper yang dilengkapi pegangan. Mereka berasal dari Birmingham, Alabama, dan semuanya telah pindah ke utara, mencari kehidupan yang lebih baik dan tempat yang memungkinkan anak-anak hidup sukses.
Hal-hal tertentu harus disimpan rapat-rapat. Selain Croix de Guerre, kotak logam berisi barang-barang militer sang kakek yang ditemukan McVey juga menyimpan medali Purple Heart, medali penembak jitu, surat ucapan terima kasih dari pemerintah Prancis, dan foto-foto kakeknya dalam balutan seragam Angkatan Bersenjata AS. “Di salah satu foto, nenek saya menuliskan kata ‘pahlawan.’ Itu membuat hati saya tersentuh,” ujarnya. “Selama ini saya cuma tahu bahwa kakek saya pernah mendapatkan medali. Saya hanya bisa duduk dan menangis.”
Bagaimana mungkin seluruh keluarga melupakan itu?