Tanpa pertemuan kebetulan dengan seorang prajurit berseragam di agen penjualan Mercedes-Benz di perbatasan Sacramento, California, Gina McVey tidak akan tahu bahwa kakeknya pernah memegang peran terhormat dalam sejarah Amerika.
Dalam basa-basi mereka di dalam ruang tunggu, McVey menyebutkan bahwa kakeknya bertugas saat Perang Dunia I. Pertanyaan berikutnya bisa ditebak: “Apa jabatannya? Di mana dia bertugas?” McVey pun memberikan beberapa jawaban.
Tidak banyak yang diketahuinya dari detail kehidupan Lawrence Leslie McVey, Sr. Dia tinggal di New York City, sisi lain Amerika, dan wafat ketika McVey baru berusia 10 tahun. Mereka hanya dua kali berjumpa. Namun, McVey mengetahui satu detail yang telah menjadi legenda keluarganya: Kakeknya pernah menerima medali berharga dari pemerintah Prancis, tetapi dia tidak ingat nama penghargaannya.
“Ekspresinya ketika saya menyebut tentang medali itu tidak ternilai harganya. Dia bertanya apakah kakek saya berkulit hitam,” kata McVey. Itu asumsi wajar, karena dia wanita Afrika-Amerika berkulit cokelat dan berbola mata gelap.
“Si prajurit menyebutkan nama penghargaan itu,” lanjutnya. Croix de Guerre. “Mungkin pengucapan saya salah, tetapi dia ingin tahu apakah kakek saya menerima medali yang itu.”
McVey masih mengingat ucapan berikutnya dari si prajurit. “Tahukah Anda apa yang Anda miliki? Anda punya sejarah.”
Satu jam kemudian, dia telah melakukan riset tentang prajurit kulit hitam pada Perang Dunia I di komputernya. Dalam empat jam, dia telah berada di rumah ibunya di Los Angeles, mencermati isi kotak logam yang telah terkubur di laci kamar sejak 1968—tahun kematian kakeknya. Dalam empat bulan, Gina McVey telah berada di Washington, D.C., menyerahkan isi kotak itu kepada para kurator National Museum of African American History and Culture yang baru saja dibuka.
“Mereka terkaget-kaget melihatnya,” kata McVey. Isi kotak itu adalah berbagai macam medali militer, penghargaan, foto, dan guntingan surat kabar yang menjabarkan secara mendetail tentang jasa kakeknya di pasukan Infanteri 369—resimen yang seluruhnya beranggota prajurit kulit hitam, yang saking tangguhnya dijuluki Harlem Hellfighters. Dilarang bertempur bersama prajurit berkulit putih, para prajurit kulit hitam diberi tugas sebagai tukang masak dan tukang angkut. Namun, akhirnya diturunkan ke medan perang untuk menggantikan posisi pasukan Prancis yang telah kehilangan banyak prajurit. Kepahlawanan mereka, yang kini terlupakan, pernah diketahui oleh dunia.
“Saya tidak pernah mempelajari soal ini di sekolah,” kata McVey. “Sejarah ini teronggok di sana, menunggu seseorang mengatakan, ‘Ini penting. Kita harus mengabarkannya.’”
Museum-museum milik Smithsonian Institution biasa didatangi oleh wisatawan dari seluruh penjuru dunia yang ingin mempelajari makna menjadi orang Amerika. Pada bulan September ini, museum terbaru ini memiliki misi berbeda: mengerangka ulang sejarah Amerika melalui lensa Afrika-Amerika. Ini, menurut Lonnie Bunch, direktur pendirinya, “adalah panggilan untuk mengingat.”
Baik itu buku kidung yang pernah digunakan oleh penggalak abolisi Harriet Tubman, Cadillac yang pernah dikemudikan oleh legenda rock-and-roll Chuck Berry, atau menara sipir dari penjara Angola di Louisiana, semua obyek di museum akan menyorot sebuah bab dalam narasi sejarah yang mencakup pengekangan, penindasan, kemerdekaan, dan kegigihan.
Para pengunjung—diperkirakan mencapai lima juta per tahun—juga akan bisa melihat medali Croix de Guerre milik Leslie McVey dan mengetahui kegagahan Pasukan 369, termasuk prasangka dalam kebijakan Angkatan Bersenjata AS. Kebenaran yang pahit itu jelas terungkap dalam memo militer dari 1918 yang menjelaskan bahwa “walaupun berkedudukan sah sebagai warga negara Amerika Serikat, orang kulit hitam dianggap terbelakang oleh orang kulit putih Amerika.” Memo itu mengimbau para perwira Prancis untuk tidak makan bersama, menjabat tangan, atau bahkan memuji prajurit berkulit hitam, dan tidak ‘memanjakan’ para Negro.”
Dalam beberapa hal, museum baru itu menjadi tolok ukur kebudayaan. Negara yang menolak penghormatan bahkan kemanusiaan mendasar bagi warga Afrika-Amerika tengah memberikan penghormatan pada sejarah kulit hitam dengan cara luar biasa. Segala hal dari museum baru ini mencengangkan—misi, koleksi, gedung senilai 540 juta dolar yang terinspirasi karya seni Afrika kuno dan sebagian besar dirancang oleh David Adjaye, arsitek Inggris yang lahir di Tanzania dengan orang tua berkebangsaan Ghana.
Bangunannya terletak di lokasi istimewa, hanya beberapa langkah dari Gedung Putih, di seberang hamparan hijau yang mengelilingi Monumen Washington. Bagian luar gedungnya dilapisi anyaman cokelat tua berdesain rumit, serupa dengan gerbang-gerbang dan balkon-balkon indah karya para pandai besi Afrika-Amerika di New Orleans. Bunch menjelaskan: “Saya menginginkan gedung yang menyerukan ketahanan, keagungan, spiritualitas, namun juga berkesan muram.”
Bangunan itu juga bergaris tegas dan agresif secara estetika, sebagai penghormatan pada gaya flamboyan menawan yang kerap digunakan warga Afrika-Amerika untuk melambangkan kepercayaan diri dan kebanggaan budaya. Topi gereja. Setelan rapi. Kepang rambut baris jagung. Perhiasan mentereng. Terletak di bagian terdepan deretan gedung megah milik Smithsonian yang mengapit National Mall, bagaikan Beyoncé, dalam balutan kostum bertatahkan permatanya, yang melenggang menuju pertemuan di Wall Street bersama orang-orang bersetelan abu-abu.
Walaupun telah kerap terjadi, hati saya tetap bergetar setiap kali saya melewati gedung itu. Dalam tur pertama saya di sana, saya melihat sesuatu yang mengungkapkan emosi saya ke dalam kata-kata. Segala sesuatu mengenai gedung itu meneriakkan, “I, too, am America.” (Saya juga Amerika.)
Kata-kata itu, yang terpampang di dinding dengan abjad-abjad perunggu besar di salah satu ruang pameran di museum, adalah baris terakhir dari puisi karya Langston Hughes yang berjudul pendek, “I, Too.” Puisi itu ditulis ketika Hughes berada di Eropa dan ditolak untuk menumpang kapal menuju kampung halamannya gara-gara rasnya. Puisi itu bercerita tentang “saudara berkulit lebih gelap” yang dipaksa makan di dapur, namun tetap berselera makan dan tumbuh sehat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti dia akan berada “di meja ketika para tamu hadir.”
“Lagi pula,” tulis Hughes, “Mereka akan melihat betapa tampannya aku. Dan menjadi malu karenanya.”
Museum yang dikelola dengan baik, bisa membantu kita memahami dan menginterpretasikan dunia yang rumit dengan mencerahkan sejarah dan memengaruhi sikap. Itu menjadi tantangan, ketika kita harus mencermati episode sejarah terkelam. Masyarakat mana pun yang pernah terluka akibat perang, genosida, kelaparan, penggusuran, atau perbudakan harus menentukan sendiri apa yang mereka ingat dan bagaimana mereka mengingatnya.
Museum memegang peran penting dalam membentuk memori bersama—dalam kasus ini mengarahkan pandangan negara ke sejarah yang sebelumnya dipilih untuk dilupakan. Perbudakan, yang telah dilarang oleh hukum Amerika selama lebih dari dua abad, telah membentuk hampir semua aspek kehidupan Amerika, namun tak pernah mendapatkan tempat utama dalam tonggak sejarah Amerika. Dari perbudakan, pemisahan berdasarkan warna kulit, hingga kemenangan besar, museum baru ini menyoroti suka duka orang Afrika-Amerika.
Penemuan-penemuan seperti pada Gina McVey, menjadi sensasi tersendiri bagi para kurator museum. Mereka mulai bertugas satu dekade silam dengan keyakinan bahwa ada banyak artefak, dokumen, dan harta yang akan mengungkapkan sejarah Afrika-Amerika terkubur di ruang bawah tanah, loteng, garasi, dan peti penyimpanan. Barang-barang mahal mungkin berada di tangan kolektor, namun para kurator yakin bahwa ada banyak benda sangat penting yang belum terungkap keberadaannya, karena banyak museum telah mengabaikan sejarah orang kulit hitam.
Tetapi, ada kenyataan lain yang mendorong para kurator untuk percaya bahwa ada sangat banyak sejarah kulit hitam yang masih terkubur. Dalam banyak kasus, keluarga-keluarga kulit hitam enggan menggali masa lalu mereka yang sangat menyakitkan. Banyak orang yang pernah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dan dilecehkan oleh sistem segregasi memutuskan bahwa cara terbaik untuk maju adalah melupakan masa lalu. Mereka berfokus ke masa depan. Ke depan. Ke atas.
Pada masa kecil saya sendiri, ayah saya dan kelima saudaranya kerap berbicara tentang “pergi tanpa beban.” Ketika ada yang bertanya, “Apa kabar?” jawaban mereka adalah, “traveling light—pergi tanpa beban.” Baru setelah dewasa saya menyadari bahwa mereka tidak sedang membicarakan jenis koper yang dilengkapi pegangan. Mereka berasal dari Birmingham, Alabama, dan semuanya telah pindah ke utara, mencari kehidupan yang lebih baik dan tempat yang memungkinkan anak-anak hidup sukses.
Hal-hal tertentu harus disimpan rapat-rapat. Selain Croix de Guerre, kotak logam berisi barang-barang militer sang kakek yang ditemukan McVey juga menyimpan medali Purple Heart, medali penembak jitu, surat ucapan terima kasih dari pemerintah Prancis, dan foto-foto kakeknya dalam balutan seragam Angkatan Bersenjata AS. “Di salah satu foto, nenek saya menuliskan kata ‘pahlawan.’ Itu membuat hati saya tersentuh,” ujarnya. “Selama ini saya cuma tahu bahwa kakek saya pernah mendapatkan medali. Saya hanya bisa duduk dan menangis.”
Bagaimana mungkin seluruh keluarga melupakan itu?
Harlem Hellfighters kembali ke New York City sebagai pahlawan dan disambut dengan meriah, dihujani rokok, cokelat, dan uang logam yang berdenting-denting menerpa helm baja mereka. Tetapi, begitu parade berakhir, para prajurit kembali ke negara yang tidak memandang mereka secara setara. Pada 1919, tahun kepulangan mereka, ratusan orang Afrika-Amerika terbunuh dalam kerusuhan yang dipicu orang kulit putih di seluruh negeri, dalam peristiwa Red Summer.
“Saya semakin banyak tahu tidak hanya tentang jasa kakek saya, tetapi juga dunia tempatnya kembali. Dan, itu membuat saya semakin mengerti mengapa seluruh sejarah ini hilang,” kata McVey. “Ini berat. Terlalu berat.”
Menurut Rex Ellis, kepala bagian kekuratoran museum, tugas yang diembannya adalah menyampaikan cerita yang utuh, “bukan sebagian dari cerita, bukan suatu penggalan yang bisa dicerna dengan nyaman.” Misi ini mengandung kontroversi.
Ellis dibesarkan di Williamsburg, bekas ibu kota Virginia. Colonial Williamsburg, museum sejarah hidup yang luas, tempat para aktor mengenakan kostum masa lalu, menjadi pusat kehidupan sipil modern warga kota. Namun, ketika Ellis masih kanak-kanak, dia dilarang mengunjungi tempat itu. Pada suatu hari, dia menanyakan alasannya kepada ayahnya. Sang ayah mendampratnya: “Karena tempat itu menyoroti perbudakan, dan kita tak perlu tahu.”
Lebih dari satu dekade kemudian, Ellis menjadi dosen sejarah teater. Seorang perwakilan dari Colonial Williamsburg mengunjungi untuk mencari aktor pemeran budak. “Orang itu mengatakan bahwa dia ingin membahas tentang setengah bagian populasi Williamsburg pada abad ke-18, dan ingin meminta bantuan kami.”
Itu mengagetkan Ellis, yang sebelumnya tak tahu, setengah populasi kota pada masa itu berkulit hitam. Dia mulai mengembangkan Other Half Tour—dua jam perjalanan melintasi situs, menyajikan kehidupan dari sudut budak.
Ellis memperkenalkan sebuah paradigma baru: Para penerjemah budak akan menjelaskan dalam detail ilmiah tentang cara mereka bekerja, hidup, sejenak menemukan harga diri dalam ritual-ritual pribadi, dan menjalani kehidupan penuh kekangan dan kebrutalan. Ellis adalah aktor terlatih bersuara empuk dengan keahlian menggunakan seluruh badannya untuk menekankan setiap kata, bagaikan konduktor yang memimpin orkes. Dengan caranya, dia memancing rasa haru ketika menggambarkan seorang budak yang menghadapi hukuman keras akibat belajar membaca—kemudian dia berhenti berakting dan berdiri tegak untuk menuturkan pelajaran sejarah yang menggugah. Para wisatawan sangat menyukainya, namun pekerjaan ini menjatuhkan posisi Ellis di kalangan kulit hitam Williamsburg.
“Ini amat, sangat, kontroversial,” kata Ellis. “Dua tiga tahun pertama amat, sangat, sulit.”
Ayahnya tidak pernah datang untuk melihatnya bekerja sebagai penerjemah budak. “Akhirnya, menurut saya beliau mengerti bahwa saya tidak sekadar mengembalikan sejarah kami kepada kami, tetapi juga mengembalikan harga diri yang menjadi hak orang-orang dalam sejarah mereka. Harga diri,” ujarnya, mengulang kata-kata itu untuk menekankan maksudnya. Ayahnya wafat sebelum museum dibuka, namun Ellis selalu mengingatnya ketika memikirkan tujuannya. “Anda harus meyakinkan sebagian orang tentang pentingnya pekerjaan ini. Ini membantu saya memahami bahwa kami harus bekerja keras dan berhati-hati agar orang-orang bisa menerima dan mendukung misi kami.”
Tim kurator museum yang memiliki latar belakang budaya yang beragam, menghabiskan satu dekade terakhir untuk meyakinkan banyak orang, bahwa mempelajari sejarah orang kulit hitam adalah kunci untuk memahami Amerika.
Pada 1995, National Museum of American History menggelar pameran yang menampilkan satu bagian dari meja makan kafe Woolworth’s dari Greensboro, North Carolina, yang pada 1960 digunakan empat orang pelajar kulit hitam untuk memprotes layanan khusus kulit putih dengan aksi duduk yang menginspirasi seluruh negeri. Beberapa tokoh vokal North Carolina khawatir, hal itu akan mempermalukan Greensboro di National Mall. Pejabat Woolworth khawatir hal ini akan mencoreng merek mereka. Sebagian orang Afrika-Amerika keberatan, karena pameran ini bagaikan cerita Disney, menonjolkan kemuliaan hati para pelajar itu, bukan rasisme yang tengah mereka perangi. Semua konflik itu terjadi hanya gara-gara satu pameran. Kini, bayangkanlah koleksi yang terdiri dari hampir 40.000 objek.
Benda-benda yang dipamerkan jelas menunjukkan sisi gelap penindasan, namun dipilih dengan sangat hati-hati. Walaupun mengedepankan suara kulit hitam, pendekatan yang diambil museum bermaksud untuk menarik pengunjung dari semua latar belakang. Pengalaman dimulai di bawah tanah—sedikit koreografi yang mencerminkan slogan National Association of Colored Women, “Kami Mengangkat sambil Mendaki.” Para pengunjung belajar tentang bangsa baru yang tengah berjuang untuk menegakkan peraturan hukum dan bergulat dengan “paradoks kebebasan.” Tidak ada yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa perbudakan itu keji atau pemisahan itu jahat. Namun, melalui pameran yang dirancang dengan hati-hati, para pengunjung didorong untuk memandang masalah politik, ekonomi, atau moral dari kacamata sangat pribadi. Gagasan yang mendasarinya adalah mengetahui tentang rantai kaki budak akan memancing pengunjung untuk merenung tentang rasanya mengenakan borgol atau penjepit besi di pergelangan kaki.
“Anda akan melihat diri Anda sendiri di pameran ini, apa pun ras Anda,” ujar Mary Elliott, yang membantu menata pameran Perbudakan dan Kemerdekaan. Pameran ini menampilkan kontradiksi yang dipersonifikasikan oleh presiden Amerika ketiga: penyusun kerangka Deklarasi Kemerdekaan dan pemilik budak. “Kami memanusiawikan kisah ini, sehingga jika Anda laki-laki, jika Anda perempuan, jika Anda anak-anak, pandanglah Thomas Jefferson dan katakan: ‘Apakah yang akan saya lakukan? Bagaimana saya harus membenarkannya?’”
Bagi musisi Chuck D, pemimpin grup rap Public Enemy yang lantang menyuarakan masalah politik, museum ini sejalan dengan single nomor satu grupnya yang dikeluarkan pada 1989, Fight the Power. Dalam lagu itu dia meratapi “sebagian besar pahlawanku yang tidak terpampang di prangko.”
“Pertama, fakta bahwa mereka ingin memasukkan hip-hop dan rap ke dalam sejarah orang Afrika-Amerika di Amerika saja sudah luar biasa,” kata Chuck D, yang bernama asli Carlton Douglas Ridenhour. “Ditambah lagi, mereka ingin menghadapi Amerika, meminta Amerika menghadapi dirinya sendiri, dan memandang semua penduduk dan sejarahnya. Itulah yang namanya kekuatan.”
Bagi pemegang medali Olimpiade Carl Lewis, daya tarik museum terletak pada kemampuannya memberikan semacam keabadian bagi prestasi dan kisahnya. Lewis mengungkapkan bahwa sebagian motivasinya adalah memastikan, bahwa orang-orang tidak hanya akan mengenang medali-medali yang direbutnya, tetapi juga cerita di baliknya. Sembilan dari sepuluh medalinya berada di Smithsonian—semua, kecuali satu, yang disimpannya di dalam peti mati ayahnya. “Jujur saja,” kata Lewis. “Anda tahu, sangat menakjubkan jika mungkin seratus tahun lagi medali itu masih ada di sana. Saya akan menjadi bagian dari sejarah Amerika. Maksud saya, itu bagian egois saya. Yang benar saja, anak kecil canggung dari Willingboro, New Jersey, yang dahulu menjadi bahan tertawaan orang-orang, sekarang ada di Smithsonian.”
Objek-objek yang mencerminkan kejayaan sekalipun memiliki sejarah menaklukkan rintangan. Misalnya, Cadillac Eldorado 1973 milik Chuck Berry. Mobil ini memang menawan. Merah cabai dengan roda putih dan ornamen kap yang berkilauan bagaikan cahaya lampu gantung. Selama pengambilan gambar untuk film, Berry, mengemudikan mobil itu melintasi panggung Fox Theatre di St. Louis—gedung teater yang pernah melarangnya masuk ketika dia masih muda. Di museum, Berry akan dikenang sebagai gitaris pelopor dengan karya yang disukai oleh remaja kulit hitam dan putih, menjadi inpirasi utama para legenda penerusnya, termasuk Keith Richards, Pete Townsend, dan Dave Grohl.
Sejak awal, tujuan museum adalah menciptakan koleksi baru, bukan mengambil koleksi museum lain. Kantor sementara museum dipenuhi papan tulis dan kertas kuning berisi daftar orang, tonggak sejarah, peristiwa, dan tema: abolisi, Perang Sipil, tarian, olahraga, surat kabar kulit hitam, transportasi, penahanan, gerakan unjuk rasa, distrik bisnis, pertanian, kelautan, rambut, komedi, keluarga.
Para kurator menginginkan artefak yang mewakili tonggak sejarah, namun mengungkapkan cerita dengan cara personal. Benda-benda biasa untuk menyampaikan kisah-kisah luar biasa. Mereka mendapatkan banyak hal. Busana Marian Anderson, dengan jaket jingga menyala yang dipilihnya untuk tampil di Lincoln Memorial pada 1939, setelah dia dilarang menyanyi di Constitution Hall oleh Daughters of the American Revolution hanya karena dia berkulit hitam. Raket juara tenis Althea Gibson, yang pada awal 1950-an menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang berlomba di U.S. Nationals dan Wimbledon. Belenggu mungil yang dibuat untuk budak kanak-kanak.
Para kurator terus mengumpulkan benda yang berkaitan dengan sejarah yang masih berjalan, dari unjuk rasa di Ferguson, Missouri pada 2014, setelah seorang polisi kulit putih menewaskan seorang pria kulit hitam yang tidak bersenjata, hingga akhir masa bakti Presiden Barrack Obama.
Benda-benda paling luar biasa berhubungan langsung dengan masa kelam ketika orang-orang kulit hitam dijualbelikan bagaikan barang. Hal ini juga menjadi pengingat tentang betapa orang-orang kulit hitam yang diperbudak sangat bergantung pada harapan akan kebebasan.
Rex Ellis masih mengingat hari ketika dia berjalan di lorong dan tanpa sengaja mendengar seorang rekan kerjanya menceletuk soal wanita yang terus-menerus menelepon untuk memberi tahu bahwa dia memegang Alkitab milik Nat Turner. Ellis seketika berhenti hingga minuman di tangannya tumpah. “Berikan nomornya padaku,” katanya. Dia langsung menelepon, namun meragukan informasi yang diterimanya. Para kurator terbiasa menemui jalan buntu dan orang-orang yang berharap mendapatkan uang atau perhatian instan.
Ellis tumbuh di dekat daerah berawa di Sothampton County, Virginia, tempat Turner memimpin revolusi budak berdarah pada 1831. Dia pernah mendengar rumor tentang memorabilia Turner, yang diwariskan secara turun-temurun di antara keluarga kulit putih.
Alkitab itu, jika benar-benar ada, akan menjadi benda penting untuk menuturkan sejarah Nat Turner. Turner dikenal luas sebagai pendeta dan pria yang sangat religius. Dia belajar membaca sendiri dan membawa Alkitab ketika menyampaikan khotbah atau membaptis budak laki-laki maupun perempuan. Dia mungkin membawa Alkitabnya selagi kelompok budaknya mendatangi perkebunan demi perkebunan, membebaskan para budak dan membunuh setidaknya 55 orang kulit putih, termasuk wanita dan anak-anak.
Penelepon gigih itu bernama Wendy Creekmore Potter, profesor kajian wanita di Old Dominion University di Norfolk, Virginia. Alkitab itu dimiliki oleh ayah tirinya, Maurice Person, cicit Lavinia Francis, yang selamat dari pembantaian setelah budak keluarganya menyembunyikannya dari komplotan Turner.
Ketika Ellis tiba di rumah Porter di Virginia Beach, Alkitab itu tergeletak di meja ruang makan, terbungkus serbet tua. Buku itu sebesar novel saku, dengan sampul depan dan belakang yang telah hilang, dan halaman-halaman yang rapuh dan kumal. “Kecil sekali,” kata Ellis, “dan saat itulah saya tahu bahwa benda ini bisa jadi asli karena Nat Turner selalu membawa Alkitabnya di dekatnya, di dalam sakunya.”
Alkitab itu telah melalui perjalanan luar biasa. Ia tersimpan di laci barang bukti pengadilan selama lebih dari 80 tahun hingga 1912, ketika diserahkan kepada cucu Lavinia Francis, ayah Person. Ia lalu menghabiskan puluhan tahun dipajang di atas piano keluarga. Akhirnya ia dibungkus serbet dan dimasukkan ke lemari, lalu kemudian dipindahkan ke kotak penyimpanan. Porter memamerkannya saat kelas lima.
“Sayang jika benda ini disimpan di rumah. Ia berhak berada di tempat yang jauh lebih hebat untuk menyampaikan cerita,” kata Porter. “Tempat yang memungkinkannya dilihat oleh banyak orang. Tempat untuk menyembuhkan.”
Cicit Nat Turner, Bruce Turner, percaya bahwa perjalanan Alkitab itu telah berakhir di tempat yang tepat. “Semakin banyak orang bisa melihat Alkitab itu,” ujarnya, “semakin jauh kisah Nat Turner akan tersebar.”
Menempatkan suatu benda di balik dinding Smithsonian, berarti menekankan signifikansinya. Tempat itu adalah segel budaya, cara untuk mengatakan: Ini penting. Esensi misi museum adalah membantu semua pengunjung yang masuk ke dalamnya untuk memahami bahwa kehidupan dan sejarah kulit hitam memang penting.
Ini pesan yang ditujukan untuk semua orang, terutama mereka yang tidak memahami sejarah mereka sendiri. Lima puluh tahun telah berlalu, sebelum Gina McVey mengetahui tentang jasa militer kakeknya. Ketika sang kakek wafat pada 1968, dia ditemukan duduk sendirian di bangku taman di New York City. Seseorang telah menghajarnya. Kini, jutaan orang akan mengetahui tentang peran heroiknya dalam sejarah Amerika.
Sejarah Afrika-Amerika selama ini dipikirkan belakangan, dikesampingkan dengan tanda bintang. Tetapi, selagi seluruh bangsa memperdebatkan nilai-nilai intinya, sejarah ini menyimpan pelajaran besar bagi kita.
Bunch, direktur museum, telah menekankan hal ini sejak pertama kali bergabung dengan Smithsonian pada 1978. “Jika seseorang ingin memahami akar keteguhan, optimisme, atau spiritualitas Amerika, adakah yang lebih baik daripada pengalaman kulit hitam? Jika seseorang ingin memahami tentang dampak dan ketegangan yang menyertai perubahan demografis kota-kota kita, adakah yang lebih baik daripada karya sastra dan musik masyarakat Afrika-Amerika?” ujarnya. “Kebudayaan Afrika-Amerika memiliki kekuatan dan kompleksitas yang diperlukan untuk menerangi semua sudut gelap dalam kehidupan Amerika, dan kekuatan untuk menerangi semua kemungkinan dan ambiguitas kehidupan Amerika.”
Tidak ada sesuatu pun dari museum baru ini yang mengesankan keterlambatan pemikiran. Tanda bintang telah menjadi tanda seru.