Manusia Edisi Baru

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:20 WIB

Penampilan manusia bionik bernama Neil Harbisson seperti hipster pada umumnya. Bedanya, ada antena hitam melengkung yang fantastis dari belakang tengkorak ke atas rambutnya yang pirang lebat. 

Harbisson, 34, mengenakan kemeja kelabu beritsleting di balik jaket hitam, dengan celana kelabu sempit. Lahir di Belfast dan dibesarkan di Spanyol, dia mengidap kondisi langka yang disebut akromatopsia; dia tidak bisa melihat warna. Antena itu, yang di ujungnya terpasang sensor serat optik yang menggantung di atas matanya, mengubah keadaan itu.

Harbisson tidak pernah menganggap hidup di dunia hitam-putih sebagai cacat. “Saya bisa melihat lebih jauh. Saya juga lebih mudah menghafal bentuk karena perhatian saya tidak terpecah oleh warna,” katanya kepada saya dengan bahasa Inggris yang teratur dan hati-hati.

Tetapi, dia juga penasaran, seperti apa benda-benda kalau berwarna. Karena pernah belajar menjadi musikus, di akhir masa remajanya dia mendapat ide untuk mencoba melihat warna melalui bunyi. Pada usia awal 20-an dia menemukan dokter bedah (yang masih anonim) yang bersedia menanamkan sebuah perangkat, perbaikan sibernetis bagi tubuhnya.

Sensor serat optik itu mendeteksi warna di depan dirinya, dan mikrocip yang ditanamkan di tengkorak mengubah frekuensi warna itu menjadi getaran di belakang kepalanya. Getaran itu menjadi frekuensi suara, meng-ubah tengkoraknya menjadi semacam telinga ketiga. Dia dengan benar me-nyebutkan bahwa blazer saya berwarna biru dan, sambil mengarahkan antenanya ke temannya, Moon Ribas, seniman bionik dan penari, me-nyebutkan jaket temannya itu, kuning.

Sewaktu saya menanyakan bagaimana dokter memasang perangkat itu, dengan riang ia menyibakkan rambut di belakang kepala untuk menunjukkan titik masuk antena itu. Daging merah muda di situ ditekan oleh pelat segi empat dengan dua jangkar. Implan yang terhubung di situ berisi mikrocip getar, dan implan lain merupakan pusat komunikasi Bluetooth, supaya teman-temannya bisa mengirim warna kepadanya melalui ponsel cerdas.

Antena ini menjadi pencerahan bagi Harbisson. Sekarang, dunia lebih mengasyikkan baginya. Menurutnya, lama-kelamaan input dari antena mulai tak terasa seperti penglihatan atau pendengaran, tetapi seperti indra keenam.

Namun, yang paling menarik, antena ini memberinya kemampuan yang tidak dimiliki manusia lain. Dia memandang lampu di dek atap dan merasakan bahwa cahaya inframerah yang mengaktifkannya sedang mati. Dia melirik pot tanaman dan dapat “melihat” warna ultraviolet yang menunjukkan letak nektar di tengah bunga. Dia tidak hanya menyamai kemampuan manusia biasa, tetapi melampauinya.

Maka, dia menjadi langkah pertama menuju target yang dibayangkan para pakar masa depan yang visioner. Dia menjadi contoh awal “perluasan besar potensi manusia”, istilah yang digunakan Ray Kurzweil dalam buku The Singularity Is Near. Harbisson sebenarnya tak pernah terpikir mengawali perwujudan impian Kurzweil—visinya tentang masa depan lebih soal berinteraksi dengan alam, bukan soal teknologi. Tetapi, sejak menjadi bionik resmi pertama di dunia (dia berhasil membujuk pemerintah Inggris agar mengizinkannya mengenakan antena dalam foto paspor, beralasan bahwa antena itu bukan perangkat elektronik, tetapi perpanjangan otaknya), dia juga menjadi semacam pejuang cyborg. Ribas kemudian mengikutinya masuk ke ranah yang kadang disebut transhumanisme, dengan menghubungkan monitor gempa di ponselnya ke magnet getar yang ditanamkan di lengan atasnya. Wanita ini mendapat laporan gempa secara real time, sehingga merasa terhubung dengan gerakan bumi dan menafsirkannya melalui tarian.

“Kita akan melampaui semua batas tubuh manusia,” Kurzweil berjanji. “Itulah intisari manusia—memperluas diri kita.”

“Kita akan melampaui semua batas tubuh manusia,” Kurzweil berjanji. “Itulah intisari manusia—memperluas diri kita.”

Jelas antena Harbisson hanyalah titik awal. Tetapi, apakah kita sedang merombak definisi evolusi manusia? Apakah evolusi kini bukan hanya terbatas pada proses lambat seleksi alam yang menyebarkan gen menguntungkan, tetapi juga mencakup segala tindakan kita yang mem-perkuat kemampuan kita dan kemampuan benda-benda buatan kita—perpaduan antara gen, budaya, dan teknologi? Dan jika ya, ke manakah evolusi ini akan membawa kita?

Evolusi konvensional masih terjadi pada spesies kita. Belum lama ini, kita hanya tahu susunan segelintir gen dari sekitar 20.000 gen pengode protein di sel kita. Sekarang, kita tahu fungsi sekitar 12.000 gen. Tetapi, gen hanya merupakan bagian kecil dari DNA di genom kita. Masih banyak pengetahuan lain yang akan ditemukan—dengan cepat. Dari gudang informasi genetika ini, peneliti sudah mengidentifikasi puluhan contoh evolusi yang relatif baru terjadi. Secara anatomi, manusia modern bermigrasi dari Afrika antara 80.000 dan 50.000 tahun yang lalu. Warisan genetika asli manusia cocok untuk iklim panas, tempat kita mulai berevolusi dari hominin awal menjadi manusia, dari makhluk yang berjalan dengan buku jari menjadi pemburu dan peramu. Tetapi, sudah banyak yang terjadi sejak itu, ketika manusia menyebar ke seluruh dunia dan susunan genetikanya berubah sesuai dengan tantangan baru yang dihadapi.

Ada banyak contoh proses ini yang terjadi baru-baru ini di kehidupan nyata. Suku asli Australia yang tinggal di iklim gurun memiliki varian genetika yang berkembang dalam 10.000 tahun terakhir, yang memudahkan mereka beradaptasi dengan suhu sangat tinggi. Pada masa prasejarah, sebagian besar manusia, seperti mamalia lain, hanya dapat mencerna susu semasa bayi—kita memiliki gen yang menghentikan produksi enzim pencerna susu ketika kita disapih. Tetapi, sekitar 9.000 tahun yang lalu, sebagian manusia mulai menggembalakan hewan, tidak hanya memburunya. Pada para gembala ini terjadi perubahan genetika, sehingga mereka seumur hidup terus memproduksi enzim yang relevan—adaptasi yang bermanfaat ketika ternak mereka memproduksi protein yang kaya-vitamin.