Manusia Edisi Baru

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:20 WIB

Dalam artikel baru-baru ini dalam majalah Scientist, John Hawks, ahli paleoantropologi di University of Wisconsin–Madison, menulis begitu kagumnya dia soal betapa cepatnya gen ini tersebar: “hingga 10 persen per generasi. Keunggulan yang diperoleh sangat besar, mungkin keunggulan terkuat yang diketahui untuk ciri manusia yang relatif baru muncul.”

Serupa dengan itu, leluhur semua orang non-Afrika keluar dari Afrika dengan kulit gelap. Bahkan, sampai 10.000 tahun silam, menurut peneliti, kulit orang Eropa dan Afrika, mirip. Namun, seiring waktu, pada manusia di iklim utara yang lebih gelap, evolusi menghasilkan kulit dengan pigmen lebih sedikit, membantu menyerap sinar ultraviolet matahari dan menyintesis vitamin D secara lebih efisien. Suku Inuit di Greenland telah beradaptasi sehingga mampu mencerna asam lemak omega-3 dalam ikan jauh lebih baik daripada manusia lain. Pada populasi pribumi di dekat kota San Antonio de los Cobres, Argentina, evolusi menghasilkan kemampuan meminum arsenik dalam jumlah tinggi yang terkandung secara alami di air tanah mereka.

Evolusi tidak kenal lelah. Ketika peluang bertahan hidup dapat dinaikkan, evolusi mencari cara untuk mengubah sesuatu—kadang melalui beberapa cara. Dalam hal variasi genetis yang melindungi manusia dari intoleransi laktosa, jenis yang dimiliki beberapa populasi Timur Tengah berbeda dengan yang dimiliki orang Eropa utara. Dan ada beberapa jenis adaptasi genetika yang melindungi orang Afrika terhadap malaria (salah satunya memiliki sisi negatif yang signifikan karena menyebabkan juga anemia sel sabit, jika gen yang berubah bentuk ini diwarisi dari kedua orang tua). Dalam 50 tahun terakhir, peneliti menemukan beragam adaptasi pada orang Pegunungan Andes, Etiopia, dan Tibet, yang memungkinkan mereka bernapas lebih efisien di ketinggian. Populasi Pegunungan Andes menyimpan oksigen lebih banyak dalam darah. Pada orang Tibet, ada bukti bahwa ada gen yang muncul melalui pembiakan silang dengan manusia Denisovan, cabang silsilah manusia yang misterius dan punah puluhan ribu tahun silam. Akibatnya, pribumi yang tinggal di tempat tinggi memiliki keunggulan dibanding tamu yang pusing dan megap-megap menghirup oksigen di udara gunung.

Di bagian awal origin of species, Charles Darwin sudah mengeluarkan pernyataan berani: “Seleksi Alam, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, adalah kekuatan yang senantiasa siap beraksi, dan jauh lebih unggul daripada upaya lemah manusia, sebagaimana karya Alam unggul daripada karya Seni.” Buku ini diterbitkan pada 1859. Apakah kebenaran pada masa itu masih berlaku saat ini? Apakah memang berlaku pada masa hidup Darwin? Evolusi biologis mungkin tak tergantikan, dan memang lebih terampil daripada evolusi genetika yang dapat diakibatkan oleh manusia dengan melakukan kawin silang tumbuhan dan satwa. Namun, seberapa penting hal itu, jika dibandingkan dengan adaptasi yang kita ciptakan dengan otak?

Di dunia kita sekarang, penggerak utama keberhasilan reproduksi—dan karenanya perubahan evolusioner—adalah budaya, dan sepupunya yang ampuh, teknologi. Itu karena evolusi tidak dapat mengimbangi kecepatan dan keberagaman kehidupan modern. Meskipun evolusi sudah mencapai banyak hal belakangan ini, coba renungkan betapa kita belum beradaptasi dengan layar komputer dan jadwal 24 jam, keripik kentang yang asin dan lingkungan tanpa patogen. Mengapa usus buntu yang tampaknya tak berguna, yang mungkin dulu membantu mencerna rumput, tidak berubah saja agar menguraikan gula? Andai genetika manusia merupakan perusahaan teknologi, tentu sudah bangkrut ketika tenaga uap muncul. Rencana bisnisnya hanyalah menunggu ciri baru muncul sendiri secara kebetulan, lalu menyebarkannya melalui reproduksi seksual.

Metode ini cocok untuk tikus, yang masa kehamilannya hanya tiga minggu, tetapi manusia bereproduksi lebih lambat, hanya menghasilkan generasi baru setiap 25-35 tahun. Dengan kecepatan ini, perlu waktu ribuan tahun sampai suatu ciri menguntungkan tersebar ke seluruh populasi. Mengingat protokol evolusi genetis yang tidak praktis ini, tidak heran kalau teknologi menggantikannya. Teknologi kini melakukan sebagian besar prosesnya dengan lebih cepat, meningkatkan keterampilan fisik kita, memperdalam rentang kecerdasan kita, dan memungkinkan kita menyebar ke lingkungan baru yang lebih menantang.

“Orang berkutat dengan Darwin dan DNA,” kata George Church, insinyur molekuler dengan penugasan rangkap di Harvard dan MIT. “Sebagian besar seleksi alam zaman sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian. Zaman dulu, pada masa DNA, kalau muncul mutasi yang keren, mutasi itu mungkin tersebar ke seluruh ras manusia dalam waktu seratus ribu tahun. Sekarang, kalau ada ponsel baru atau proses manufaktur yang transformatif, itu dapat menyebar dalam seminggu.”

“Sebagian besar seleksi alam zaman sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian," kata George Church, insinyur molekuler dengan penugasan rangkap di Harvard dan MIT.

Memang, kenyataannya lebih rumit. Sebagian orang tinggal di dunia Church dengan kedokteran molekuler dan terapi gen, serta sepertinya akan memasuki era ketika susunan genetis asli manusia menjadi bahan dasar untuk diutak-atik. Tetapi, di luar negara-negara maju, biasanya DNA masih merupakan takdir yang tak bisa diubah.

Namun, tidak semua tren terus bergerak maju. Dalam beberapa skenario, seleksi alam akan kembali ke pentas utama bagi manusia. Jika terjadi wabah penyakit global, misalnya, yang mirip dengan pandemi influenza besar pada 1918, orang yang resistan terhadap patogen tersebut memiliki keuntungan evolusi besar, dan gen mereka akan diturunkan ke generasi selanjutnya, sementara yang lain mati.

Kini kita memiliki obat untuk melawan banyak penyakit menular, tetapi baru-baru ini evolusi menghasilkan bakteri mematikan yang kebal terhadap antibiotik. Perjalanan dengan pesawat jet dapat mengirim kuman menular keliling dunia dalam satu-dua hari. Perubahan iklim dapat mencegah suhu dingin membunuh hewan yang membawa kuman, seperti musim dingin dulu yang mematikan kutu pembawa wabah.

Elodie Ghedin, ahli mikrobiologi di New York University, berkata, “Saya heran mengapa orang sepertinya tidak takut.” Kami berdua membahas contoh AIDS, yang telah menewaskan 35 juta orang di seluruh dunia, jumlah kematian yang kira-kira sama dengan pandemi pada 1918. Ternyata segelintir orang—tak lebih dari satu persen—memiliki mutasi gen yang mengubah perilaku protein sel yang ditempeli HIV, virus penyebab AIDS, sehingga hampir mustahil mereka tertular penyakit ini. Bagi orang yang tinggal di Greenwich Village di Kota New York, yang dapat membeli obat antivirus terbaik, gen ini belum tentu menentukan hidup-mati. Tetapi, bagi orang HIV positif di pedesaan Afrika, gen ini sangat mungkin menjadi faktor penentu.

Ada banyak skenario lain yang dapat mengembalikan gen ke pentas utama drama manusia. Chris Impey, profesor astronomi di University of Arizona dan pakar perjalanan luar angkasa, membayangkan sudah ada permukiman permanen di Mars pada masa hidup cucu kita, dihuni oleh 100-150 orang yang diperlukan untuk membentuk masyarakat yang mampu hidup sehat dari segi genetis. Bahkan, menurutnya, gelombang pertama pemukiman yang lebih kecil akan terjadi lebih cepat lagi: Setelah permukiman terbentuk, tambahnya, “proses evolusi alam akan semakin cepat. Akan ada lingkungan yang sangat artifisial dan berat secara fisik, yang akan secara agresif membentuk tubuh pelancong atau pemukim.” Menurut Impey, pemukim Mars ideal adalah manusia yang tinggi dan ramping, karena gravitasi di planet merah ini hanya sepertiga gravitasi bumi. Setelah sekian generasi, bulu mata dan bulu tubuh mungkin menghilang di lingkungan yang orangnya tak pernah bersentuhan langsung dengan debu. Impey meramalkan—dengan asumsi bahwa manusia Mars tidak kawin silang dengan manusia bumi—akan terjadi perubahan biokimiawi signifikan dalam “puluhan generasi, perubahan fisik dalam ratusan generasi.”