Manusia Edisi Baru

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:20 WIB

Penampilan manusia bionik bernama Neil Harbisson seperti hipster pada umumnya. Bedanya, ada antena hitam melengkung yang fantastis dari belakang tengkorak ke atas rambutnya yang pirang lebat. 

Harbisson, 34, mengenakan kemeja kelabu beritsleting di balik jaket hitam, dengan celana kelabu sempit. Lahir di Belfast dan dibesarkan di Spanyol, dia mengidap kondisi langka yang disebut akromatopsia; dia tidak bisa melihat warna. Antena itu, yang di ujungnya terpasang sensor serat optik yang menggantung di atas matanya, mengubah keadaan itu.

Harbisson tidak pernah menganggap hidup di dunia hitam-putih sebagai cacat. “Saya bisa melihat lebih jauh. Saya juga lebih mudah menghafal bentuk karena perhatian saya tidak terpecah oleh warna,” katanya kepada saya dengan bahasa Inggris yang teratur dan hati-hati.

Tetapi, dia juga penasaran, seperti apa benda-benda kalau berwarna. Karena pernah belajar menjadi musikus, di akhir masa remajanya dia mendapat ide untuk mencoba melihat warna melalui bunyi. Pada usia awal 20-an dia menemukan dokter bedah (yang masih anonim) yang bersedia menanamkan sebuah perangkat, perbaikan sibernetis bagi tubuhnya.

Sensor serat optik itu mendeteksi warna di depan dirinya, dan mikrocip yang ditanamkan di tengkorak mengubah frekuensi warna itu menjadi getaran di belakang kepalanya. Getaran itu menjadi frekuensi suara, meng-ubah tengkoraknya menjadi semacam telinga ketiga. Dia dengan benar me-nyebutkan bahwa blazer saya berwarna biru dan, sambil mengarahkan antenanya ke temannya, Moon Ribas, seniman bionik dan penari, me-nyebutkan jaket temannya itu, kuning.

Sewaktu saya menanyakan bagaimana dokter memasang perangkat itu, dengan riang ia menyibakkan rambut di belakang kepala untuk menunjukkan titik masuk antena itu. Daging merah muda di situ ditekan oleh pelat segi empat dengan dua jangkar. Implan yang terhubung di situ berisi mikrocip getar, dan implan lain merupakan pusat komunikasi Bluetooth, supaya teman-temannya bisa mengirim warna kepadanya melalui ponsel cerdas.

Antena ini menjadi pencerahan bagi Harbisson. Sekarang, dunia lebih mengasyikkan baginya. Menurutnya, lama-kelamaan input dari antena mulai tak terasa seperti penglihatan atau pendengaran, tetapi seperti indra keenam.

Namun, yang paling menarik, antena ini memberinya kemampuan yang tidak dimiliki manusia lain. Dia memandang lampu di dek atap dan merasakan bahwa cahaya inframerah yang mengaktifkannya sedang mati. Dia melirik pot tanaman dan dapat “melihat” warna ultraviolet yang menunjukkan letak nektar di tengah bunga. Dia tidak hanya menyamai kemampuan manusia biasa, tetapi melampauinya.

Maka, dia menjadi langkah pertama menuju target yang dibayangkan para pakar masa depan yang visioner. Dia menjadi contoh awal “perluasan besar potensi manusia”, istilah yang digunakan Ray Kurzweil dalam buku The Singularity Is Near. Harbisson sebenarnya tak pernah terpikir mengawali perwujudan impian Kurzweil—visinya tentang masa depan lebih soal berinteraksi dengan alam, bukan soal teknologi. Tetapi, sejak menjadi bionik resmi pertama di dunia (dia berhasil membujuk pemerintah Inggris agar mengizinkannya mengenakan antena dalam foto paspor, beralasan bahwa antena itu bukan perangkat elektronik, tetapi perpanjangan otaknya), dia juga menjadi semacam pejuang cyborg. Ribas kemudian mengikutinya masuk ke ranah yang kadang disebut transhumanisme, dengan menghubungkan monitor gempa di ponselnya ke magnet getar yang ditanamkan di lengan atasnya. Wanita ini mendapat laporan gempa secara real time, sehingga merasa terhubung dengan gerakan bumi dan menafsirkannya melalui tarian.

“Kita akan melampaui semua batas tubuh manusia,” Kurzweil berjanji. “Itulah intisari manusia—memperluas diri kita.”

“Kita akan melampaui semua batas tubuh manusia,” Kurzweil berjanji. “Itulah intisari manusia—memperluas diri kita.”

Jelas antena Harbisson hanyalah titik awal. Tetapi, apakah kita sedang merombak definisi evolusi manusia? Apakah evolusi kini bukan hanya terbatas pada proses lambat seleksi alam yang menyebarkan gen menguntungkan, tetapi juga mencakup segala tindakan kita yang mem-perkuat kemampuan kita dan kemampuan benda-benda buatan kita—perpaduan antara gen, budaya, dan teknologi? Dan jika ya, ke manakah evolusi ini akan membawa kita?

Evolusi konvensional masih terjadi pada spesies kita. Belum lama ini, kita hanya tahu susunan segelintir gen dari sekitar 20.000 gen pengode protein di sel kita. Sekarang, kita tahu fungsi sekitar 12.000 gen. Tetapi, gen hanya merupakan bagian kecil dari DNA di genom kita. Masih banyak pengetahuan lain yang akan ditemukan—dengan cepat. Dari gudang informasi genetika ini, peneliti sudah mengidentifikasi puluhan contoh evolusi yang relatif baru terjadi. Secara anatomi, manusia modern bermigrasi dari Afrika antara 80.000 dan 50.000 tahun yang lalu. Warisan genetika asli manusia cocok untuk iklim panas, tempat kita mulai berevolusi dari hominin awal menjadi manusia, dari makhluk yang berjalan dengan buku jari menjadi pemburu dan peramu. Tetapi, sudah banyak yang terjadi sejak itu, ketika manusia menyebar ke seluruh dunia dan susunan genetikanya berubah sesuai dengan tantangan baru yang dihadapi.

Ada banyak contoh proses ini yang terjadi baru-baru ini di kehidupan nyata. Suku asli Australia yang tinggal di iklim gurun memiliki varian genetika yang berkembang dalam 10.000 tahun terakhir, yang memudahkan mereka beradaptasi dengan suhu sangat tinggi. Pada masa prasejarah, sebagian besar manusia, seperti mamalia lain, hanya dapat mencerna susu semasa bayi—kita memiliki gen yang menghentikan produksi enzim pencerna susu ketika kita disapih. Tetapi, sekitar 9.000 tahun yang lalu, sebagian manusia mulai menggembalakan hewan, tidak hanya memburunya. Pada para gembala ini terjadi perubahan genetika, sehingga mereka seumur hidup terus memproduksi enzim yang relevan—adaptasi yang bermanfaat ketika ternak mereka memproduksi protein yang kaya-vitamin.

Dalam artikel baru-baru ini dalam majalah Scientist, John Hawks, ahli paleoantropologi di University of Wisconsin–Madison, menulis begitu kagumnya dia soal betapa cepatnya gen ini tersebar: “hingga 10 persen per generasi. Keunggulan yang diperoleh sangat besar, mungkin keunggulan terkuat yang diketahui untuk ciri manusia yang relatif baru muncul.”

Serupa dengan itu, leluhur semua orang non-Afrika keluar dari Afrika dengan kulit gelap. Bahkan, sampai 10.000 tahun silam, menurut peneliti, kulit orang Eropa dan Afrika, mirip. Namun, seiring waktu, pada manusia di iklim utara yang lebih gelap, evolusi menghasilkan kulit dengan pigmen lebih sedikit, membantu menyerap sinar ultraviolet matahari dan menyintesis vitamin D secara lebih efisien. Suku Inuit di Greenland telah beradaptasi sehingga mampu mencerna asam lemak omega-3 dalam ikan jauh lebih baik daripada manusia lain. Pada populasi pribumi di dekat kota San Antonio de los Cobres, Argentina, evolusi menghasilkan kemampuan meminum arsenik dalam jumlah tinggi yang terkandung secara alami di air tanah mereka.

Evolusi tidak kenal lelah. Ketika peluang bertahan hidup dapat dinaikkan, evolusi mencari cara untuk mengubah sesuatu—kadang melalui beberapa cara. Dalam hal variasi genetis yang melindungi manusia dari intoleransi laktosa, jenis yang dimiliki beberapa populasi Timur Tengah berbeda dengan yang dimiliki orang Eropa utara. Dan ada beberapa jenis adaptasi genetika yang melindungi orang Afrika terhadap malaria (salah satunya memiliki sisi negatif yang signifikan karena menyebabkan juga anemia sel sabit, jika gen yang berubah bentuk ini diwarisi dari kedua orang tua). Dalam 50 tahun terakhir, peneliti menemukan beragam adaptasi pada orang Pegunungan Andes, Etiopia, dan Tibet, yang memungkinkan mereka bernapas lebih efisien di ketinggian. Populasi Pegunungan Andes menyimpan oksigen lebih banyak dalam darah. Pada orang Tibet, ada bukti bahwa ada gen yang muncul melalui pembiakan silang dengan manusia Denisovan, cabang silsilah manusia yang misterius dan punah puluhan ribu tahun silam. Akibatnya, pribumi yang tinggal di tempat tinggi memiliki keunggulan dibanding tamu yang pusing dan megap-megap menghirup oksigen di udara gunung.

Di bagian awal origin of species, Charles Darwin sudah mengeluarkan pernyataan berani: “Seleksi Alam, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, adalah kekuatan yang senantiasa siap beraksi, dan jauh lebih unggul daripada upaya lemah manusia, sebagaimana karya Alam unggul daripada karya Seni.” Buku ini diterbitkan pada 1859. Apakah kebenaran pada masa itu masih berlaku saat ini? Apakah memang berlaku pada masa hidup Darwin? Evolusi biologis mungkin tak tergantikan, dan memang lebih terampil daripada evolusi genetika yang dapat diakibatkan oleh manusia dengan melakukan kawin silang tumbuhan dan satwa. Namun, seberapa penting hal itu, jika dibandingkan dengan adaptasi yang kita ciptakan dengan otak?

Di dunia kita sekarang, penggerak utama keberhasilan reproduksi—dan karenanya perubahan evolusioner—adalah budaya, dan sepupunya yang ampuh, teknologi. Itu karena evolusi tidak dapat mengimbangi kecepatan dan keberagaman kehidupan modern. Meskipun evolusi sudah mencapai banyak hal belakangan ini, coba renungkan betapa kita belum beradaptasi dengan layar komputer dan jadwal 24 jam, keripik kentang yang asin dan lingkungan tanpa patogen. Mengapa usus buntu yang tampaknya tak berguna, yang mungkin dulu membantu mencerna rumput, tidak berubah saja agar menguraikan gula? Andai genetika manusia merupakan perusahaan teknologi, tentu sudah bangkrut ketika tenaga uap muncul. Rencana bisnisnya hanyalah menunggu ciri baru muncul sendiri secara kebetulan, lalu menyebarkannya melalui reproduksi seksual.

Metode ini cocok untuk tikus, yang masa kehamilannya hanya tiga minggu, tetapi manusia bereproduksi lebih lambat, hanya menghasilkan generasi baru setiap 25-35 tahun. Dengan kecepatan ini, perlu waktu ribuan tahun sampai suatu ciri menguntungkan tersebar ke seluruh populasi. Mengingat protokol evolusi genetis yang tidak praktis ini, tidak heran kalau teknologi menggantikannya. Teknologi kini melakukan sebagian besar prosesnya dengan lebih cepat, meningkatkan keterampilan fisik kita, memperdalam rentang kecerdasan kita, dan memungkinkan kita menyebar ke lingkungan baru yang lebih menantang.

“Orang berkutat dengan Darwin dan DNA,” kata George Church, insinyur molekuler dengan penugasan rangkap di Harvard dan MIT. “Sebagian besar seleksi alam zaman sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian. Zaman dulu, pada masa DNA, kalau muncul mutasi yang keren, mutasi itu mungkin tersebar ke seluruh ras manusia dalam waktu seratus ribu tahun. Sekarang, kalau ada ponsel baru atau proses manufaktur yang transformatif, itu dapat menyebar dalam seminggu.”

“Sebagian besar seleksi alam zaman sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian," kata George Church, insinyur molekuler dengan penugasan rangkap di Harvard dan MIT.

Memang, kenyataannya lebih rumit. Sebagian orang tinggal di dunia Church dengan kedokteran molekuler dan terapi gen, serta sepertinya akan memasuki era ketika susunan genetis asli manusia menjadi bahan dasar untuk diutak-atik. Tetapi, di luar negara-negara maju, biasanya DNA masih merupakan takdir yang tak bisa diubah.

Namun, tidak semua tren terus bergerak maju. Dalam beberapa skenario, seleksi alam akan kembali ke pentas utama bagi manusia. Jika terjadi wabah penyakit global, misalnya, yang mirip dengan pandemi influenza besar pada 1918, orang yang resistan terhadap patogen tersebut memiliki keuntungan evolusi besar, dan gen mereka akan diturunkan ke generasi selanjutnya, sementara yang lain mati.

Kini kita memiliki obat untuk melawan banyak penyakit menular, tetapi baru-baru ini evolusi menghasilkan bakteri mematikan yang kebal terhadap antibiotik. Perjalanan dengan pesawat jet dapat mengirim kuman menular keliling dunia dalam satu-dua hari. Perubahan iklim dapat mencegah suhu dingin membunuh hewan yang membawa kuman, seperti musim dingin dulu yang mematikan kutu pembawa wabah.

Elodie Ghedin, ahli mikrobiologi di New York University, berkata, “Saya heran mengapa orang sepertinya tidak takut.” Kami berdua membahas contoh AIDS, yang telah menewaskan 35 juta orang di seluruh dunia, jumlah kematian yang kira-kira sama dengan pandemi pada 1918. Ternyata segelintir orang—tak lebih dari satu persen—memiliki mutasi gen yang mengubah perilaku protein sel yang ditempeli HIV, virus penyebab AIDS, sehingga hampir mustahil mereka tertular penyakit ini. Bagi orang yang tinggal di Greenwich Village di Kota New York, yang dapat membeli obat antivirus terbaik, gen ini belum tentu menentukan hidup-mati. Tetapi, bagi orang HIV positif di pedesaan Afrika, gen ini sangat mungkin menjadi faktor penentu.

Ada banyak skenario lain yang dapat mengembalikan gen ke pentas utama drama manusia. Chris Impey, profesor astronomi di University of Arizona dan pakar perjalanan luar angkasa, membayangkan sudah ada permukiman permanen di Mars pada masa hidup cucu kita, dihuni oleh 100-150 orang yang diperlukan untuk membentuk masyarakat yang mampu hidup sehat dari segi genetis. Bahkan, menurutnya, gelombang pertama pemukiman yang lebih kecil akan terjadi lebih cepat lagi: Setelah permukiman terbentuk, tambahnya, “proses evolusi alam akan semakin cepat. Akan ada lingkungan yang sangat artifisial dan berat secara fisik, yang akan secara agresif membentuk tubuh pelancong atau pemukim.” Menurut Impey, pemukim Mars ideal adalah manusia yang tinggi dan ramping, karena gravitasi di planet merah ini hanya sepertiga gravitasi bumi. Setelah sekian generasi, bulu mata dan bulu tubuh mungkin menghilang di lingkungan yang orangnya tak pernah bersentuhan langsung dengan debu. Impey meramalkan—dengan asumsi bahwa manusia Mars tidak kawin silang dengan manusia bumi—akan terjadi perubahan biokimiawi signifikan dalam “puluhan generasi, perubahan fisik dalam ratusan generasi.”

Ada satu ciri manusia dengan komponen genetis kuat yang semakin berharga, terlebih lagi ketika teknologi semakin dominan. Seluruh umat manusia masih berambisi untuk memiliki kecerdasan lebih tinggi. Ciri ini sangat penting bagi leluhur kita di Afrika dan akan bermanfaat bagi keturunan kita di planet yang mengorbit bintang Proxima Centauri, sekiranya kita ke sana kelak. Selama ratusan ribu tahun, gen kita sudah berevolusi agar mencurahkan semakin banyak sumber daya bagi otak, tetapi sesungguhnya tak ada titik maksimal bagi kecerdasan.

Tidak seperti leluhur kita, tak lama lagi kita mungkin tak perlu menunggu evolusi meningkatkan kecerdasan. Pada 2013, Nick Bostrom dan Carl Shulman, dua peneliti di Future of Humanity Institute, di Oxford University, mulai menyelidiki dampak sosial yang ditimbulkan oleh peningkatan kecerdasan, dalam makalah untuk Global Policy. Mereka berfokus pada pemilihan embrio dalam program bayi tabung. Dengan bayi tabung, orang tua dapat memilih embrio yang ditanamkan. Menurut perhitungan mereka, memilih “embrio paling cerdas” di antara 10 embrio, akan meningkatkan IQ bayi sekitar 11,5 poin melebihi pemilihan embrio secara acak. Jika sang ibu mau menjalani pengobatan hormon lebih intensif untuk memproduksi telur lebih cepat, nilai IQ bisa lebih besar lagi.

Namun, manfaat sesungguhnya adalah peningkatan berlapis pada ke-turunan si embrio terpilih: Setelah 10 generasi, menurut Shulman, si ke-turunan bisa memiliki IQ hingga 115 poin lebih tinggi daripada sang ibu bayi tabung. Seperti yang dikatakan Shulman, manfaat itu didasarkan pada asumsi yang sangat optimistis, tetapi si penerima utak-atik genetis ini akan memiliki kecerdasan yang setidaknya setara dengan genius zaman sekarang. Menurut makalah itu, penggunaan sel punca embrio, yang dapat diubah menjadi sperma atau sel telur hanya dalam enam bulan, dapat menghasilkan hasil yang jauh lebih cepat. Siapa yang mau menunggu dua abad untuk menjadi keturunan ras genius? Shulman juga menyinggung bahwa makalah itu tidak menyebutkan satu fakta gamblang: “Dalam 10 generasi lagi, kemungkinan akan ada program komputer yang lebih jago daripada manusia paling cerdas, dalam segala segi.”

Namun, ada hambatan yang lebih nyata untuk skenario ini: Pengetahuan kita tentang basis genetis kecerdasan belum cukup untuk menentukan kecerdasan embrio. Meski mengakui masalah itu, para penulis makalah mengklaim bahwa kemampuan memilih “peningkatan kognitif biasa” mungkin dapat diperoleh dalam 5-10 tahun lagi saja.

“Dalam 10 generasi lagi, kemungkinan akan ada program komputer yang lebih jago daripada manusia paling cerdas, dalam segala segi.”

Sekilas, ini mungkin terasa mustahil. Basis genetis kecerdasan sangat kompleks. Kecerdasan memiliki banyak komponen, dan bahkan setiap aspeknya—kemampuan berhitung, kesadaran spasial, penalaran analitis, belum lagi empati—jelas melibatkan banyak gen, dan semuanya dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Stephen Hsu, wakil presiden penelitian di Michigan State University, salah seorang pendiri Cognitive Genomics Lab di BGI (dahulu Beijing Genomics Institute), memperkirakan dalam artikel 2014 bahwa ada kira-kira 10.000 varian genetis yang mungkin memengaruhi kecerdasan. Itu mungkin terasa menciutkan hati, tetapi menurutnya, kemampuan menangani varian sebanyak itu sudah hampir tiba—“dalam 10 tahun ke depan,” tulisnya—dan menurut peneliti lain, kita tak perlu tahu semua gen yang terlibat untuk mulai memilih embrio pintar. “Hal yang penting bukanlah berapa yang kita tahu atau tidak tahu,” kata Church. “Yang penting, berapa banyak yang perlu diketahui untuk memberi dampak. Berapa banyak yang perlu kita ketahui tentang cacar untuk membuat vaksin?”

Jika Church dan Hsu benar, tak lama lagi, satu-satunya yang menghambat kita adalah diri kita sendiri. Mungkin kita tidak mau menerapkan eugenika pada genom alami kita. Namun, benarkah kita akan ragu? Kalau ya, berapa lama? Ada teknologi baru bernama CRISPR-Cas9 yang muncul belum lama ini, sebagian dikembangkan di lab Church, yang akan menguji batas keingintahuan manusia. Pertama kali diuji coba pada 2013, CRISPR adalah prosedur untuk menggunting satu bagian urutan DNA dari sebuah gen dan menyisipkan bagian lain, secara cepat dan akurat. Kegiatan yang dulu memakan waktu bertahun-tahun kini hanya memerlukan waktu sepersekiannya. (Lihat “Revolusi DNA”, National Geographic Agustus 2016.)

Belum pernah ada teknologi yang mendekati kemampuannya dalam manipulasi genom manusia. Bandingkan CRISPR dengan bayi tabung. Dengan bayi tabung, kita memilih di antara beberapa embrio yang disediakan alam, tetapi bagaimana kalau di antara pilihan itu tidak ada embrio yang, misalnya, sangat cerdas? Reproduksi itu untung-untungan. CRISPR dapat mengeliminasi risiko itu. Jika bayi tabung ibarat memesan dari menu, CRISPR ibarat memasak sendiri. Bahkan, dengan CRISPR, peneliti dapat menyisipkan ciri genetis baru langsung ke dalam sel telur atau sperma, sehingga menghasilkan misalnya, tak hanya satu anak, tetapi satu ras yang tak terbatas jumlahnya.

Sejauh ini, banyak eksperimen yang menggunakan CRISPR dilakukan pada hewan. Lab Church berhasil menggunakan prosedur ini untuk merekayasa embrio babi agar organnya lebih aman untuk dicangkokkan ke manusia. Seorang kolega Church, Kevin Esvelt di MIT Media Lab, sedang berusaha mengubah genom tikus agar hewan itu tidak lagi membawa bakteri yang menyebabkan penyakit Lyme. Peneliti lain lagi, Anthony James dari University of California, Irvine, menyisipkan gen pada nyamuk Anopheles yang mencegahnya membawa parasit malaria.

Namun, bersamaan dengan itu, para peneliti di Tiongkok mengejutkan semua orang saat mengumumkan bahwa mereka menggunakan CRISPR pada embrio nonviabel manusia, untuk mencoba memperbaiki cacat genetis yang menyebabkan beta-talasemia, yaitu gangguan darah yang dapat mematikan. Upaya mereka gagal, tetapi mereka selangkah lebih maju upaya memperbaiki cacat itu. Sementara itu, ada moratorium internasional untuk semua terapi yang melakukan perubahan gen manusia yang dapat diwariskan, sampai terapi itu terbukti aman dan efektif. CRISPR tidak terkecuali.

Apakah moratorium itu akan bertahan? Menurut semua orang yang saya wawancarai, tidak. Sebagian mengingatkan pada sejarah bayi tabung sebagai preseden. Bayi tabung mula-mula dipromosikan sebagai prosedur medis bagi pasangan yang tidak subur. Tak lama kemudian, potensinya untuk membasmi penyakit genetis yang merusak pun menjadi jelas. Keluarga yang memiliki mutasi gen yang menyebabkan penyakit Huntington atau Tay-Sachs menggunakan teknik ini untuk memilih embrio yang tidak mengidap penyakit ini untuk dikandung oleh sang ibu. Tak hanya calon-anak ini diselamatkan dari penderitaan, tetapi juga keturunannya kelak. Sekalipun ini seperti mendahului Tuhan di buaian, tindakan ini tetap terasa pantas dilakukan bagi banyak orang. “Jika teknologi seperti ini dilarang atau tidak digunakan,” komentar Linda MacDonald Glenn, ahli bioetika di California State University, Monterey Bay, “itu seolah mengatakan bahwa evolusi selama ini tidak berbahaya. Bahwa evolusi selalu positif. Padahal, tidak sama sekali! ”

Ketika bayi tabung semakin dikenal, tujuan yang diterima masyarakat pun meluas dari pencegahan penyakit menjadi pemilihan jenis kelamin—terutama di Asia, yang penduduknya sangat mendambakan anak lelaki, tetapi juga di Eropa dan Amerika, yang penduduknya menginginkan “keluarga seimbang.” Secara resmi, sejauh itulah tren ke arah penggunaan nonmedis. Tetapi, kita ini spesies yang tidak pernah tahu kapan harus berhenti. “Lebih dari satu spesialis bayi tabung bercerita kepada saya, bahwa mereka bisa memeriksa ciri lain yang diinginkan, misalnya warna mata dan rambut dambaan,” kata Glenn kepada saya. Dengan kata lain, anak bermata hijau dan berambut pirang, kalau itu selera Anda, tersedia jika diminta.

CRISPR adalah teknologi yang jauh lebih canggih daripada bayi tabung, dengan risiko penyalahgunaan yang jauh lebih besar, termasuk godaan untuk mencoba merekayasa semacam ras yang sempurna secara genetis. Salah satu penemunya, Jennifer Doudna, profesor kimia dan biologi molekuler di University of California, Berkeley, menceritakan mimpinya kepada pewawancara, bahwa Adolf Hitler datang untuk mempelajari teknik itu darinya, dengan mengenakan muka babi. Baru-baru ini dia berkata dalam email kepada saya bahwa dia tetap berharap moratorium itu akan bertahan. Itu akan, tulisnya, “memberi masyarakat kita waktu untuk meneliti, memahami, dan membahas konsekuensi, baik yang diniatkan maupun tidak, akibat mengubah genom kita sendiri.”

Di sisi lain, potensi manfaat menerapkan CRISPR pada manusia tak terbantahkan. Glenn berharap setidaknya ada “diskusi matang” dulu tentang bagaimana teknik ini akan digunakan. “Apa yang menjadi norma baru saat kita mencoba memperbaiki diri?” tanyanya. “Siapa yang menentukan standarnya, dan apa arti peningkatan? Kita bisa meningkatkan orang agar lebih pintar, tetapi apakah lebih pintar berarti lebih baik atau lebih bahagia?

Menurut banyak ilmuwan lain, tidak semua orang mau menunggu jawabannya. Begitu CRISPR terbukti aman, pertanyaan etika akan surut, sama seperti dengan bayi tabung. Church merasa pembahasan seperti ini gagal melihat kenyataan: Gerbang sudah terbuka bagi rekayasa genetika—CRISPR hanyalah satu tetes di dalam sungai. Dia mencatat sudah ada 2.300 percobaan terapi gen yang berlangsung. Tahun lalu, CEO perusahaan BioViva mengklaim berhasil membalikkan sebagian efek penuaan pada tubuhnya sendiri dengan suntikan dari terapi gen yang diciptakan perusahaannya. “Tentunya,” kata Church mengingatkan, “peremajaan sel tubuh juga merupakan peningkatan kondisi manusia, sama seperti terapi lain yang kita bicarakan.” Beberapa percobaan terapi gen untuk penyakit Alzheimer juga sedang berjalan. Ini kecil kemungkinan ditentang, karena tujuannya mengobati kondisi medis yang merusak. Akan tetapi seperti yang diingatkan Church, “obat apa pun yang berhasil mencegah penyakit Alzheimer kemungkinan juga bisa berfungsi untuk peningkatan kognitif, dan pasti dapat diterapkan pada orang dewasa.” Pada Februari 2016, batas itu terkikis lagi sedikit, ketika badan pengatur kesuburan independen Inggris mengizinkan sebuah tim riset menggunakan CRISPR untuk menyelidiki mekanisme keguguran dengan embrio manusia (semua embrio yang digunakan dalam percobaan akan dihancurkan kemudian—tidak akan mengakibatkan kehamilan).

Church tidak sabar menunggu bab berikutnya. “DNA dulu tertinggal oleh evolusi budaya,” katanya, “tetapi, sekarang mulai menyusul.”

Tubuh kita, otak kita, dan mesin di sekeliling kita mungkin kelak menyatu, seperti yang diramalkan Kurzweil, menjadi satu kecerdasan komunal besar. Tetapi, evolusi alami menunjukkan dengan jelas bahwa ada berbagai jalan menuju Roma. Kita makhluk yang tak pernah berhenti mengutak-atik batas diri kita. Evolusi pada proses evolusi itu sendiri menempuh beberapa jalan paralel. Keterampilan hebat apa pun yang mungkin dapat diberikan CRISPR sepuluh tahun lagi sudah diinginkan atau diperlukan orang sekarang. Mereka mencontoh Neil Harbisson. Mereka tak berusaha menaklukkan teknologi, tetapi memasukkannya ke tubuh sendiri.

Bidang kedokteran selalu menjadi pemimpin dalam penerapan seperti ini, karena menggunakan teknologi untuk menyembuhkan orang menyederhanakan persoalan moral yang rumit. Ratusan ribu penderita penyakit Parkinson di seluruh dunia mengenakan implan—disebut alat pacu otak—untuk mengendalikan gejala penyakit itu. Retina buatan untuk beberapa jenis kebutaan dan implan koklea untuk ketulian sudah umum. Uang Kementerian Pertahanan, melalui cabang riset militer, Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), mendanai sebagian besar pengembangan ini. Dengan menggunakan dana seperti ini, sebuah lab di Center for Neural Engineering di University of Southern California kini menguji implan cip di otak untuk memulihkan ingatan yang hilang. Protokol ini mungkin kelak diterapkan pada pasien penyakit Alzheimer dan orang-orang yang menderita stroke atau cedera otak parah. Tahun lalu, di University of Pittsburgh, seorang subjek berhasil mengirim denyut listrik dari otaknya, melalui komputer, untuk mengontrol lengan robot dan bahkan merasakan yang disentuh jari robot itu. Bahwa menghubungkan otak manusia ke mesin itu dapat menghasilkan tentara tiada tanding tidaklah luput dari perhatian DARPA. “Semua hal di sini bertujuan rangkap,” kata Annie Jacobsen, yang bukunya The Pentagon’s Brain mencatat upaya seperti ini. “Kita harus ingat bahwa tugas DARPA bukanlah menolong orang, melainkan menciptakan ‘sistem senjata masa depan yang dahsyat.’ ”

Peningkatan manusia tidak harus berkaitan dengan kemampuan super. Ratusan orang menanamkan perangkat identifikasi frekuensi radio (RFID) dalam tubuhnya agar dapat membuka kunci pintu atau masuk ke komputer tanpa menyentuh apa-apa. Perusahaan bernama Dangerous Things mengklaim telah menjual 10.500 cip RFID, serta paket swakriya untuk memasangnya di bawah kulit. Orang yang membelinya menjuluki diri body hacker atau grinder.

Kevin Warwick, profesor emeritus teknik di Reading University dan Coventry University di Inggris, adalah orang pertama yang tubuhnya dipasangi perangkat RFID, pada 1998. Dia bercerita bahwa keputusan itu merupakan kelanjutan alami dari bekerja di gedung yang memiliki kunci terkomputerisasi dan sensor otomatis untuk suhu dan cahaya: Dia ingin dirinya sepintar gedung yang dihuninya. “Hidup sebagai manusia itu lumayan,” kata Warwick kepada sebuah koran Inggris pada 2002. “Tetapi, hidup sebagai cyborg jauh lebih menarik.” Seorang grinder lain menanamkan earbud di telinganya. Dia ingin menanamkan vibrator di bawah tulang kelaminnya dan menghubungkannya melalui web kepada orang lain yang memiliki implan serupa.

Mudah sekali mengolok-olok hal seperti ini. Tetapi, saat saya meminta Harbisson menunjukkan tempat antenanya masuk ke tengkoraknya, saya menyadari suatu hal lain. Saya tak yakin apakah pertanyaan ini pantas.  Dalam novel Do Androids Dream of Electric Sheep karya Philip K. Dick, tidaklah sopan menanyakan mekanisme  yang mendayai android. Tetapi, Harbisson bersemangat menunjukkan cara kerja antenanya. Saya jadi teringat orang senang memamerkan ponsel cerdasnya. Saya pun bertanya-tanya apa sebenarnya perbedaan antara Harbisson dan saya—atau manusia lain.

Nielsen melaporkan pada 2015 bahwa rata-rata orang dewasa di atas 18 tahun menatap layar kira-kira 10 jam per hari. Sebagai perbandingan, kita hanya berolahraga 17 menit per hari. Tujuh dari 10 orang Amerika minum obat resep. Dalam kelompok ini, satu dari empat perempuan berumur 40-an atau 50-an minum obat antidepresi, meski kajian menunjukkan bahwa bagi sebagian dari mereka, kegiatan apa pun dari terapi hingga jalan-jalan sebentar di hutan, bisa memberi manfaat yang sama. Headset realitas virtual adalah salah satu mainan yang paling laris. Mobil adalah kaki kita, kalkulator pikiran kita, dan Google ingatan kita. Kehidupan kita sekarang hanya sebagiannya biologis. Mungkin kita belum tahu tujuan kita, tetapi kita sudah meninggalkan masa lalu kita.