Manusia Edisi Baru

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:20 WIB

Ada satu ciri manusia dengan komponen genetis kuat yang semakin berharga, terlebih lagi ketika teknologi semakin dominan. Seluruh umat manusia masih berambisi untuk memiliki kecerdasan lebih tinggi. Ciri ini sangat penting bagi leluhur kita di Afrika dan akan bermanfaat bagi keturunan kita di planet yang mengorbit bintang Proxima Centauri, sekiranya kita ke sana kelak. Selama ratusan ribu tahun, gen kita sudah berevolusi agar mencurahkan semakin banyak sumber daya bagi otak, tetapi sesungguhnya tak ada titik maksimal bagi kecerdasan.

Tidak seperti leluhur kita, tak lama lagi kita mungkin tak perlu menunggu evolusi meningkatkan kecerdasan. Pada 2013, Nick Bostrom dan Carl Shulman, dua peneliti di Future of Humanity Institute, di Oxford University, mulai menyelidiki dampak sosial yang ditimbulkan oleh peningkatan kecerdasan, dalam makalah untuk Global Policy. Mereka berfokus pada pemilihan embrio dalam program bayi tabung. Dengan bayi tabung, orang tua dapat memilih embrio yang ditanamkan. Menurut perhitungan mereka, memilih “embrio paling cerdas” di antara 10 embrio, akan meningkatkan IQ bayi sekitar 11,5 poin melebihi pemilihan embrio secara acak. Jika sang ibu mau menjalani pengobatan hormon lebih intensif untuk memproduksi telur lebih cepat, nilai IQ bisa lebih besar lagi.

Namun, manfaat sesungguhnya adalah peningkatan berlapis pada ke-turunan si embrio terpilih: Setelah 10 generasi, menurut Shulman, si ke-turunan bisa memiliki IQ hingga 115 poin lebih tinggi daripada sang ibu bayi tabung. Seperti yang dikatakan Shulman, manfaat itu didasarkan pada asumsi yang sangat optimistis, tetapi si penerima utak-atik genetis ini akan memiliki kecerdasan yang setidaknya setara dengan genius zaman sekarang. Menurut makalah itu, penggunaan sel punca embrio, yang dapat diubah menjadi sperma atau sel telur hanya dalam enam bulan, dapat menghasilkan hasil yang jauh lebih cepat. Siapa yang mau menunggu dua abad untuk menjadi keturunan ras genius? Shulman juga menyinggung bahwa makalah itu tidak menyebutkan satu fakta gamblang: “Dalam 10 generasi lagi, kemungkinan akan ada program komputer yang lebih jago daripada manusia paling cerdas, dalam segala segi.”

Namun, ada hambatan yang lebih nyata untuk skenario ini: Pengetahuan kita tentang basis genetis kecerdasan belum cukup untuk menentukan kecerdasan embrio. Meski mengakui masalah itu, para penulis makalah mengklaim bahwa kemampuan memilih “peningkatan kognitif biasa” mungkin dapat diperoleh dalam 5-10 tahun lagi saja.

“Dalam 10 generasi lagi, kemungkinan akan ada program komputer yang lebih jago daripada manusia paling cerdas, dalam segala segi.”

Sekilas, ini mungkin terasa mustahil. Basis genetis kecerdasan sangat kompleks. Kecerdasan memiliki banyak komponen, dan bahkan setiap aspeknya—kemampuan berhitung, kesadaran spasial, penalaran analitis, belum lagi empati—jelas melibatkan banyak gen, dan semuanya dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Stephen Hsu, wakil presiden penelitian di Michigan State University, salah seorang pendiri Cognitive Genomics Lab di BGI (dahulu Beijing Genomics Institute), memperkirakan dalam artikel 2014 bahwa ada kira-kira 10.000 varian genetis yang mungkin memengaruhi kecerdasan. Itu mungkin terasa menciutkan hati, tetapi menurutnya, kemampuan menangani varian sebanyak itu sudah hampir tiba—“dalam 10 tahun ke depan,” tulisnya—dan menurut peneliti lain, kita tak perlu tahu semua gen yang terlibat untuk mulai memilih embrio pintar. “Hal yang penting bukanlah berapa yang kita tahu atau tidak tahu,” kata Church. “Yang penting, berapa banyak yang perlu diketahui untuk memberi dampak. Berapa banyak yang perlu kita ketahui tentang cacar untuk membuat vaksin?”

Jika Church dan Hsu benar, tak lama lagi, satu-satunya yang menghambat kita adalah diri kita sendiri. Mungkin kita tidak mau menerapkan eugenika pada genom alami kita. Namun, benarkah kita akan ragu? Kalau ya, berapa lama? Ada teknologi baru bernama CRISPR-Cas9 yang muncul belum lama ini, sebagian dikembangkan di lab Church, yang akan menguji batas keingintahuan manusia. Pertama kali diuji coba pada 2013, CRISPR adalah prosedur untuk menggunting satu bagian urutan DNA dari sebuah gen dan menyisipkan bagian lain, secara cepat dan akurat. Kegiatan yang dulu memakan waktu bertahun-tahun kini hanya memerlukan waktu sepersekiannya. (Lihat “Revolusi DNA”, National Geographic Agustus 2016.)

Belum pernah ada teknologi yang mendekati kemampuannya dalam manipulasi genom manusia. Bandingkan CRISPR dengan bayi tabung. Dengan bayi tabung, kita memilih di antara beberapa embrio yang disediakan alam, tetapi bagaimana kalau di antara pilihan itu tidak ada embrio yang, misalnya, sangat cerdas? Reproduksi itu untung-untungan. CRISPR dapat mengeliminasi risiko itu. Jika bayi tabung ibarat memesan dari menu, CRISPR ibarat memasak sendiri. Bahkan, dengan CRISPR, peneliti dapat menyisipkan ciri genetis baru langsung ke dalam sel telur atau sperma, sehingga menghasilkan misalnya, tak hanya satu anak, tetapi satu ras yang tak terbatas jumlahnya.

Sejauh ini, banyak eksperimen yang menggunakan CRISPR dilakukan pada hewan. Lab Church berhasil menggunakan prosedur ini untuk merekayasa embrio babi agar organnya lebih aman untuk dicangkokkan ke manusia. Seorang kolega Church, Kevin Esvelt di MIT Media Lab, sedang berusaha mengubah genom tikus agar hewan itu tidak lagi membawa bakteri yang menyebabkan penyakit Lyme. Peneliti lain lagi, Anthony James dari University of California, Irvine, menyisipkan gen pada nyamuk Anopheles yang mencegahnya membawa parasit malaria.

Namun, bersamaan dengan itu, para peneliti di Tiongkok mengejutkan semua orang saat mengumumkan bahwa mereka menggunakan CRISPR pada embrio nonviabel manusia, untuk mencoba memperbaiki cacat genetis yang menyebabkan beta-talasemia, yaitu gangguan darah yang dapat mematikan. Upaya mereka gagal, tetapi mereka selangkah lebih maju upaya memperbaiki cacat itu. Sementara itu, ada moratorium internasional untuk semua terapi yang melakukan perubahan gen manusia yang dapat diwariskan, sampai terapi itu terbukti aman dan efektif. CRISPR tidak terkecuali.

Apakah moratorium itu akan bertahan? Menurut semua orang yang saya wawancarai, tidak. Sebagian mengingatkan pada sejarah bayi tabung sebagai preseden. Bayi tabung mula-mula dipromosikan sebagai prosedur medis bagi pasangan yang tidak subur. Tak lama kemudian, potensinya untuk membasmi penyakit genetis yang merusak pun menjadi jelas. Keluarga yang memiliki mutasi gen yang menyebabkan penyakit Huntington atau Tay-Sachs menggunakan teknik ini untuk memilih embrio yang tidak mengidap penyakit ini untuk dikandung oleh sang ibu. Tak hanya calon-anak ini diselamatkan dari penderitaan, tetapi juga keturunannya kelak. Sekalipun ini seperti mendahului Tuhan di buaian, tindakan ini tetap terasa pantas dilakukan bagi banyak orang. “Jika teknologi seperti ini dilarang atau tidak digunakan,” komentar Linda MacDonald Glenn, ahli bioetika di California State University, Monterey Bay, “itu seolah mengatakan bahwa evolusi selama ini tidak berbahaya. Bahwa evolusi selalu positif. Padahal, tidak sama sekali! ”

Ketika bayi tabung semakin dikenal, tujuan yang diterima masyarakat pun meluas dari pencegahan penyakit menjadi pemilihan jenis kelamin—terutama di Asia, yang penduduknya sangat mendambakan anak lelaki, tetapi juga di Eropa dan Amerika, yang penduduknya menginginkan “keluarga seimbang.” Secara resmi, sejauh itulah tren ke arah penggunaan nonmedis. Tetapi, kita ini spesies yang tidak pernah tahu kapan harus berhenti. “Lebih dari satu spesialis bayi tabung bercerita kepada saya, bahwa mereka bisa memeriksa ciri lain yang diinginkan, misalnya warna mata dan rambut dambaan,” kata Glenn kepada saya. Dengan kata lain, anak bermata hijau dan berambut pirang, kalau itu selera Anda, tersedia jika diminta.

CRISPR adalah teknologi yang jauh lebih canggih daripada bayi tabung, dengan risiko penyalahgunaan yang jauh lebih besar, termasuk godaan untuk mencoba merekayasa semacam ras yang sempurna secara genetis. Salah satu penemunya, Jennifer Doudna, profesor kimia dan biologi molekuler di University of California, Berkeley, menceritakan mimpinya kepada pewawancara, bahwa Adolf Hitler datang untuk mempelajari teknik itu darinya, dengan mengenakan muka babi. Baru-baru ini dia berkata dalam email kepada saya bahwa dia tetap berharap moratorium itu akan bertahan. Itu akan, tulisnya, “memberi masyarakat kita waktu untuk meneliti, memahami, dan membahas konsekuensi, baik yang diniatkan maupun tidak, akibat mengubah genom kita sendiri.”