Pusat perdangangan ini tak hanya terlihat di dalam gedung saja. Banyak pedagang yang menggelar dagangannya di bagian luar bangunan hingga mendekati pagar Gereja Quiapo. Segala barang tersedia mulai dari kepingan DVD bajakan, makanan, hingga busana. Hingar-bingar perdagangan sangat gamblang. Suara pedagang berlogat Tagalok riuh bak meriam menawarkan barang dagangan, berkecamuk dengan suara musik mendengking yang diputar sederetan lapak penjual DVD. Ah, seperti pasar malam di Tanah Air!
Satu lagi, saya menjumpai banyak jasa peramal. Di sini dikenal sebagai pusat peramal. Mereka akan memberikan penerawangan dan peruntungan masa depan. Juga, menyediakan semacam jimat agar terhindar dari kebuntungan. Beberapa orang peramal menyebut diri mereka sebagai bentuk pengabdian kepada Black Nazarene.
“Tidak! Peramal tidak ada kaitannya dengan yang ada di sini,” ujar Antonio, warga Manila yang berjaga di dekat pintu Gereja Quiapo. Beberapa orang, termasuk saya, mungkin berpikir keberadaan para peramal ini sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum gereja. Akan tetapi, bagi sebagian orang, fenomena ini sangatlah menarik karena mereka mendapatkan ramalan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Bahkan, setelah mendapatkan ramalannya, mereka berdoa ke gereja agar ramalan baik semoga menjadi kenyataan sedangkan ramalan buruk semoga ditanggalkan. Sungguh pemandangan kontras.
Konon, Quiapo terkenal juga sebagai tempat penyedia jasa aborsi illegal. Bayi-bayi yang lahir dari pasangan yang tidak bertanggung jawab itu diletakkan begitu saja di sekitar gereja. Saya dengan waktu yang terbatas mencoba mengungkap fakta ini tetapi tidak satu pun orang yang saya temui mau memberikan informasi.
Jangan menilai gedung hanya dari penampilan luarnya. Mungkin itu yang saya rasakan ketika berdiri di tepi jalan Quintin Paredes Manila. Persis di samping Plaza Lorenzo Ruiz. Saya menghadap gereja Binodo atau dikenal juga dengan nama gereja Minor Basilica of St. Lorenzo Ruiz.
Berdiri memandang bangunan gereja yang dibangun sekitar 1596, serasa memandang bangunan tua di Spanyol. Material ekspos berupa batu alam dan batu bata terlihat lapuk. Rumput dan ilalang tumbuh dengan bebas di sela-sela dinding tembok luar gereja. Saya sempat ragu apakah bangunan itu adalah bangunan gereja yang masih difungsikan atau tidak.
Saya bertanya kepada seorang lelaki tua yang sedang sibuk mengatur lalu lintas di depan gereja. Hanya ingin memastikan apakah bangunan ini adalah gereja yang dimaksud dalam rencana saya. Sambil mengangguk dan berbicara dalam bahasa Tagalok ia menjawab pertanyaan saya.
Saya masuk melalui pintu besi yang dihiasi kaca patri berwarna merah, hijau, dan kuning. Jujur saya terkesiap melihat bagian dalam bangunan gereja ini. Kendati tampak luarnya lawas, ruangan dalamnya sungguh berbeda. Tampaknya ruangan dalam gereja sudah mengalami perubahan. Gereja ini pernah dibom pada Perang Dunia Kedua, 1944. Terbakar dan hampir semua strukturnya rubuh. Hanya bagian depannya saja yang masih berdiri tegak.
Dindingnya dihiasai berbagai lukisan. Saya menyaksikan lukisan mencolok pada langit-langit. Salah satu lukisannya adalah Nuestra Senora de Santisimo. Sebagian dindingnya adalah batu granit, sementara lantainya berlapis marmer. Beberapa sudut di dekat pintu utama, penutup lantainya berupa potongan batu nisan beraksara Tiongkok dan Latin.
Seperti yang dilakukan setiap kali saya memasuki bangunan gereja, kaki berlutut sambil pandangan tertuju ke meja altar sebagai lambang menghormati pemilik alam semesta ini. Saya bisa duduk di bangku karena saat itu tidak ada misa yang berlangsung.
Tanpa mau berlama-lama, saya pun melangkahkan kaki keluar melalui pintu yang berada di samping. Berniat mencari pengalaman baru, menyaksikan keunikan sekeliling pekarangan Gereja Binodo.