Di samping bangunan gereja Binondo ini ternyata langsung berupa jalan raya Ongpin dan terhubung dengan trotoar pejalan kaki. Wajar saja pintu samping itu terkunci. Demi keamanan pintu tertutup jika ada tidak ada jadwal misa. Melihat kondisi fisik dindingnya pun sama seperti kondisi dinding fasadnya. Di beberapa titik tumbuh tanaman ilalang.
Berjalan ke arah samping ini saya melihat sebuah jalanan lurus yang ternyata adalah kawasan Chinatown-nya Manila. Saya menyusuri jalan Quintin Paredes, jalan utama di dekat gereja. Jalan ini dalam bahasa Hokkien disebut Chiu Wah Hua yang berarti seperti sebuah kanal tempat bongkar muat barang. Jalanan ini dekat dengan Sungai Pasig yang dahulu tempat bongkar muat barang dagangan yang dibawa melalui sungai.
Binondo sengaja dirancang sebagai kawasan perdagangan pada saat pendudukan Spanyol pada 1594 di bawah penguasa Gubernur Luis Perez Dasmarinas. Kaum pedagang dari Tiongkok yang mendarat di Binondo menikah dengan wanita asli Filipina. Gereja Binondo merupakan salah satu saksi akulturasi kaum Tiongkok dengan warga asli Manila.
Satu lembar 500 peso saya keluarkan dari dompet. Petugas loket menerimanya. Sambil menunggu uang kembalian, saya memperhatikan lembaran tiket berwarna orange. Satu lembar tiket bernilai seratus peso—setara 30 ribu rupiah. Inilah tiket masuk museum Gereja San Agustin.
Saya memutar langkah mengurungkan niat masuk Gereja San Agustin karena dari pintu gerbang utama saya bisa melihat gereja sedang digelar misa pernikahan. Saya bergegas menuju bangunan di sebelahnya: pintu masuk museum.
Sebuah lonceng raksasa! Tingginya, yang sekitar dua meter, tampak menghadang pandangan saya. Lonceng raksasa seberat 3.400 kilogram ini dahulu berada di salah satu menara yang menjadi bagian gereja. Peristiwa gempa pada 1863 mengakibatkan menara itu hancur. Salah satu bencana dengan daya rusak terbesar yang menghantam Manila. Selain gempa, menurut catatan sejarah, Gereja San Agustin pernah kebakaran. Lengkaplah dera nestapanya.
Menara yang rusak karena gempa itu tidak dibangun ulang. Sisa reruntuhannya diperbaiki, namun tidak dirancang kembali sebagai rumah lonceng. Sejak 1927, lonceng itu menjadi salah satu penghuni museum.
Denah arsitektur museum berbentuk persegi, dengan lorong-lorong panjang di setiap sisinya. Salah satu bagiannya menyatu dengan gereja. Dengan bentuk persegi ini, saya bisa memilih rute yang akan saya tempuh untuk menikmati museum.
Saya memutuskan untuk mengambil rute searah jarum jam. Artinya, setelah ruangan penyimpanan lonceng, saya berbelok ke kiri lalu menelusuri lorong panjang. Artefak gereja, patung, dan lukisan berbagai misionaris yang datang ke Manila terpampang di dinding lorong museum.
Di salah satu ujung lorong terdapat pintu yang kala itu terbuka. Pintu ini menghubungkan antara museum dengan bagian depan gereja atau bagian mimbar imam yang digunakan saat perayaan misa. Saya tidak melepaskan kesempatan melihat langsung depan gereja yang rancangan bangunannya dibuat oleh arsitek Juan Macias. Sejenak saya pun berdoa dengan bersujud di dekat salah satu bangku di lajur paling kiri.
Tangga museum ini bukan dari beton, melainkan batu granit abu-abu. Menaiki anak tangga ini ibarat meniti naik tangga di Hogwarts bersama Profesor Dumbledore yang diiringi mantra-mantra ajaib.
Ruang pertama selepas menapaki anak tangga adalah “San Pablo Room” dan “San Agustin Room”. Lukisan, maket bangunan, foto mengenai gereja dan museum terpampang dengan sangat jelas.