Saya pagi itu masuk gereja Malate dari pintu samping. Jendela setengah lingkaran mendominasi bentuk jendela yang terpasang di dinding samping. Saya duduk di deretan kursi paling belakang, sembari memperhatikan bagian dalam bangunan yang pernah rusak pada 1863.
Mata saya masih mengantuk. Pagi itu saya bergegas merapikan barang bawaan saya kedalam tas ransel. Hari minggu itu adalah hari terakhir saya berada di Manila. Andrew, sopir taksi yang membawa saya pulang tadi malam, bersedia menjemput saya kembali. Pagi itu, saya ingin mengikuti misa mingguan, sekaligus menuntaskan perjalanan Visita Iglesia saya di Manila. Tinggal dua gereja lagi yang harus saya kunjungi: Gereja Santa Anna dan Kapel Greenbelt.
Selepas satu setengah jam mengikuti misa di Gereja Santa Anna, saya berjalan menuju altar untuk berlutut mengucapkan syukur dan memohon doa harapan. Sejenak saya mundur karena pagi itu gereja akan mengadakan upacara pembaptisan bayi.
Saya menuju ruangan samping, yang ternyata sebuah museum. Dahulu, ruangan museum ini digunakan tempat tinggal biarawan misionaris yang membangun gereja. Gereja Santa Anna adalah gereja pertama yang dibangun oleh misionaris di luar Intramuros, dan salah satu dari dua bangunan gereja yang lolos dari pengeboman ketika Perang Dunia Kedua.
Saya berjalan mencari kedai untuk mencari kudapan pengganjal perut dan pelega tenggorokan. Waktu berjalan tak kenal ampun, sembari mengunyah bakpao saya tergopoh-gopoh menaiki jeepney yang lewat di depan kedai tadi.
Berawal dari LRT Pedro Gil, saya beringsut ke Stasiun MRT Ayala yang berada di distrik bisnis Makati. Distrik ini merupakan pusat keramaian yang dipenuhi oleh apartemen, perkatoran, dan pusat perbelanjaan. Saya melewatkan momen berbelanja, dan terus melangkahkan kaki ke Kapel St. Nino de Paz yang memiliki sebutan populer Kapel Greenbelt. Kapel itu baru diresmikan pada 1983 oleh Jaime Kardinal Sin, Uskup Agung Manila.
Dua puluh menit kemudian, saya baru sampai di pelataran kapel. Puluhan orang sudah berjejal di pinggiran bangunan kapel yang berarsitektur melengkung ini. Sayang semua bangku di dalam sudah penuh. Mereka adalah umat yang sedang mengikuti misa mingguan,
Bangunan ini berbeda jauh dengan bangunan gereja yang sebelumnya saya kunjungi. Selain tergolong baru, bentuk bangunannya lebih modern. Denah bangunannya dan bentuk atapnya semua melengkung, tidak simetris. Semua ini hasil karya rancangan arsitek Willie Fernandez dan Jess Dizon.
Penggagas kapel ini, pasangan suami istri Fanny Del Rosaria dan Atty Nordy, sangat terinspirasi katedral St. Patrick di New York. Saya menebak, tampaknya hal yang menginspirasi mereka adalah kedua gereja itu sama-sama berada di pusat bisnis. St. Patrick berada di antara bangunan pencakar langit di tengah pusat bisnis Manhattan, New York. Seolah-olah ingin mengingatkan, jangan lupa untuk menyapa-Nya kendati kita sibuk bekerja. Mungkin Fanny berharap untuk memberikan ruang ibadah bagi karyawan yang sibuk berkantor dan bekerja di daerah Distrik Bisnis Makati.
Saya menyimpulkan perjalanan Visita Iglesia versi saya sendiri. Kemauan dan daya juang menjadi motor penggerak masyarakat Filipina saat membangun kembali gereja mereka yang runtuh karena bencana alam atau bencana perang.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ALFONSUS ANINDITO PRATOMO Berkarya di bidang pengembangan sumber daya manusia. Melancongi penjuru buana bersama pasangan hidupnya. Tulisannya Ketika Salju Tiba di Shirakawa terbit di edisi Februari.