Bandung, menjadi saksi dari kisah ini. Era pergerakan dihidupkan oleh semangat para jong atau pemuda Indonesia saat itu. Wage membawa secarik kertas, bukan surat cinta, itu adalah lirik dari lagu Indonesia Raya yang coba ia gubah dan belum pernah diperdengarkan sebelumnya. Bagi Wage, Sundari adalah orang yang "istimewa". Ia menginginkan Sundari untuk membaca dan menuangkan pikiran dalam gubahannya.
Muhidin M. Dahlan dalam artikelnya berjudul Asmara Sumpah Pemuda: Yamin Menang Banyak, Wage Tidak, yang ditulis pada tahun 2017, menjelaskan adanya kesamaan ide gagasan dan gaya bahasa diantara lirik Indonesia Raya dengan puisi karya Yamin yang berjudul "Tanah Air" (1920) dan "Indonesia Tumpah Darah" (1928).
Hal tersebut mengindikasi bahwa adanya kaitan diantara kesamaan diksi dari puisi Yamin dengan lirik lagu Indonesia Raya. Mohammad Yamin yang dikenal sudah dekat dengan Sundari, kerap kali mengirimkan puisi. Sundari bisa jadi terinspirasi pada diksi dalam puisi Yamin, dan menuangkannya pada beberapa larik dalam lagu Indonesia Raya.
Baca Juga: Kesaksian Anak Indekos di Indonesische Club
"Diksi Indonesia raya, tanah air, tumpah darah, tanah mulia, badan, jiwa bisa dengan mudah kita temui dalam puisi 'Indonesia Tumpah Darah'" tambah Muhidin. Senang bagi Wage, karyanya telah digubah ulang dari buah pikiran wanita yang ia kagumi.
Patah hati dirasakan oleh Wage, wanita yang ia cintai dan kagumi telah memilih laki-laki lain, Mohammad Yamin yang juga merupakan sahabat seperjuangannya. Rama Nur Gifiya Sandi dalam penelitiannya yang berjudul Konsep Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Yamin 1945, menggambarkan keputusan Siti Sundari untuk menikah dengan Yamin.
"Pada 1934, Siti Sundari memutuskan untuk menikah dengan Yamin, laki-laki yang telah lama dekat dengan dirinya" tulisnya. "Dari pernikahan tersebut, mereka hidup bahagia dan dikaruniai putra laki-laki bernama Dang Rehadian Sinajangsih Yamin", tambah Sandi dalam tulisannya.
Baca Juga: Sejarah Lagu Indonesia Raya, Pertama Kali Dikumandangkan Pada Kongres Pemuda II