Nationalgeographic.co.id—Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan kita, Bangsa Indonesia. Terdapat kebanggan ketika kita menyaksikan lagu Indonesia Raya diputar dalam berbagai ajang di berbagai penjuru dunia. Begitu juga yang dirasakan oleh Wage Rudolf Supratman, saat memainkan instrumentalia Indonesia Raya untuk pertama kali dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kabarnya, ia memainkannya dengan penghayatan sambil menitikkan air mata. Betapa luar biasanya, membayangkan lagunya menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia telah merdeka kelak.
Wage Rudolf Supratman, lahir pada 9 Maret 1903 di Somongari, Purworejo. Nama 'Rudolf' ia dapatkan ketika ibunya menikah dengan seorang Belanda. Sepanjang karirnya, Wage pernah mengagumi sosok wanita yang ditemuinya di Kongres Pemuda I pada 30 April 1926. Wanita tersebut bernama Siti Sundari.
Siti Sundari menjadi perhatian dan primadona pada Kongres Pemuda I dan II. Sundari dikenal sebagai perempuan yang pintar dan berani, bahkan dialah yang mempraktikan bahasa Indonesia untuk pertama kalinya di dalam forum formal atau pada Kongres Pemuda II.
Bandung, menjadi saksi dari kisah ini. Era pergerakan dihidupkan oleh semangat para jong atau pemuda Indonesia saat itu. Wage membawa secarik kertas, bukan surat cinta, itu adalah lirik dari lagu Indonesia Raya yang coba ia gubah dan belum pernah diperdengarkan sebelumnya. Bagi Wage, Sundari adalah orang yang "istimewa". Ia menginginkan Sundari untuk membaca dan menuangkan pikiran dalam gubahannya.
Muhidin M. Dahlan dalam artikelnya berjudul Asmara Sumpah Pemuda: Yamin Menang Banyak, Wage Tidak, yang ditulis pada tahun 2017, menjelaskan adanya kesamaan ide gagasan dan gaya bahasa diantara lirik Indonesia Raya dengan puisi karya Yamin yang berjudul "Tanah Air" (1920) dan "Indonesia Tumpah Darah" (1928).
Hal tersebut mengindikasi bahwa adanya kaitan diantara kesamaan diksi dari puisi Yamin dengan lirik lagu Indonesia Raya. Mohammad Yamin yang dikenal sudah dekat dengan Sundari, kerap kali mengirimkan puisi. Sundari bisa jadi terinspirasi pada diksi dalam puisi Yamin, dan menuangkannya pada beberapa larik dalam lagu Indonesia Raya.
Baca Juga: Kesaksian Anak Indekos di Indonesische Club
"Diksi Indonesia raya, tanah air, tumpah darah, tanah mulia, badan, jiwa bisa dengan mudah kita temui dalam puisi 'Indonesia Tumpah Darah'" tambah Muhidin. Senang bagi Wage, karyanya telah digubah ulang dari buah pikiran wanita yang ia kagumi.
Patah hati dirasakan oleh Wage, wanita yang ia cintai dan kagumi telah memilih laki-laki lain, Mohammad Yamin yang juga merupakan sahabat seperjuangannya. Rama Nur Gifiya Sandi dalam penelitiannya yang berjudul Konsep Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Yamin 1945, menggambarkan keputusan Siti Sundari untuk menikah dengan Yamin.
"Pada 1934, Siti Sundari memutuskan untuk menikah dengan Yamin, laki-laki yang telah lama dekat dengan dirinya" tulisnya. "Dari pernikahan tersebut, mereka hidup bahagia dan dikaruniai putra laki-laki bernama Dang Rehadian Sinajangsih Yamin", tambah Sandi dalam tulisannya.
Baca Juga: Sejarah Lagu Indonesia Raya, Pertama Kali Dikumandangkan Pada Kongres Pemuda II
Sebelumnya, dalam beberapa sumber mengatakan bahwa Yamin telah lama dekat dengan Sundari, begitu juga dengan Wage yang telah lama mengagumi sosok Sundari. Adapun hubungan Wage dengan Salamah terjadi jauh sebelum Ia mengenal Sundari, dan keluarga Wage juga tidak pernah mengakui Salamah sebagai istri sahnya.
Wage berkelana tak tentu arah, ia mengunjungi beberapa rumah saudaranya dan kerap kali berpindah-pindah. Soebagjo Ilham Notodidjojo dalam bukunya berjudul Tragedi Kehidupan Seorang Komponis terbitan 1952, menjelaskan tentang kehidupan patah hatinya pasca kehilangan wanita terkasihnya.
"Kerjaan Wage di tahun-tahun 1938 hanya melamun saja, sambil sesekali memainkan biola di teras rumah" tulisnya. Dalam keterangan Soebagjo, Wage mengatakan "Aku tak bahagia dalam soal cinta". Batuk yang tak kunjung berhenti, badan yang mengurus karena tak selera makan, membuat kondisi Wage semakin memprihatinkan.
Kisah asmara Wage masih menjadi teka-teki sampai saat ini, belum adanya sumber ilmiah yang membenarkan kisahnya. Wage Rudolf Supratman wafat pada 17 August 1938 di Surabaya, di usia 34 tahun. Sampai saat itu ia akan selalu dikenang sebagai legenda, yang menciptakan lagu nasional kita, Indonesia Raya.
Baca Juga: Mohammad Hatta Meluruskan Kontroversi Peristiwa Rengasdengklok 1945