Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 23 Agustus 2021 | 09:00 WIB
Sebuah lukisan karya G.B. Hooijer yang tampaknya mencoba menggambarkan para peziarah Borobudur. Candi ini juga menjadi saksi perjuangan Pangeran Dipanegara melawan kolonialisme Belanda di Jawa. (Tropenmuseum)

 

"Tetapi di awal-awal perang, yang berperang di sepanjang Kali Elo dan Sugnai Progo adalah Ali Basha Muhammad Usman, yang kalau di Babad itu di daerah Santren--lokasi yang masih saya cari-cari," ujarnya.

"Itu yang harus kita cari tahu, karena itu tidak detil, hanya 'kundur datheng santren' yang ketika selesai, Ali Basha pulang bukan ke Selarong tapi ke Santren."

Basis pasukan ini awalnya banyak ditempatkan di Tingal sebagai kawasan yang cukup dekat dengan komplek Candi Borobudur. Kawasan ini dijadikan basis karena memiliki pusat pemerintahan otonom di sekitar Wonorejo (kini Wanurejo) yang berdiri sejak 1799, terang Roni.

Pemerintahan di Wonorejo sendiri didirikan oleh sosok yang dinamakan Eyang Wanu bersama sembilan rekannya, seperti Patih Cokroprawiro, Jugil, Suronegoro, Singoleksono, Citrolawu, dan masih banyak lagi. Mereka dimakamkan dengan kepunden di sekitar sana, dan namanya digunakan sebagai sembilan kampung di Wanurejo.

 

Pangeran Dipanagara (1785-1855). (KITLV)

Kawasan Tingal ini juga dituliskan oleh Sejarawan Trinity College Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855.

"Selain Tingal juga dalam komplek Candi Borobudur menurut masyarakat ada kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro," Roni menambahkan.

"Misalnya ada bukit Gondokusumo (bukit yang menyambung dengan perbukitan Menoreh) yang menurut cerita, Gondokusumo adalah salah satu Mbah Syah yang ikut Dipanagara sampai ketika terjadi perundingan [dengan Belanda] di Magelang."

Gondokusumo ini dikisahkan menyusul ke Selarong pada masa awal perang setelah diusir. "Dia dan kakeknya, Mertonegoro, dimarahi ibunya raja gara-gara berebut makanan," papar Roni.

Peristiwa itu menggambarkan betapa sulitnya Kesultanan Yogyakarta, yang diyakini keuangan negeri dikuras penjajah sejak Hamengkubuwono III. Sehingga, Roni berpendapat, Hamengkubuwono IV dan V masih sulit untuk menumbuhkan perekonomian negri yang membuat kedua orang itu berebut makanan.

Baca Juga: Babad Dipanagara dan Sosok Pangeran Dipanagara Sebagai Manusia