Nationalgeographic.co.id—Cakupan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Dipanagara begitu luas di sekitar Jawa Tengah hingga perbatasan Jawa Timur. Meski demikian, bukan berarti semua kawasan itu sempat disinggahi atau terdapat beberapa bentrokan dengan pemerintah kolonial yang dipimpin langsung olehnya.
Perang yang timbul atas kekesalan Pangeran Dipanagara atas sistem kolonial yang menindas, membuat beberapa pihak di turut membantunya. Salah satunya di kawasan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Melalui catatan Babad Dipanagaranya, ia merekam beberapa lokasi penting yang menjadi saksi perjuangannya.
Roni Sadewo, penggali sejarah otentik pangeran sekaligus keturunan dari Pangeran Dipanagara, menjelajahi beberapa tempat yang disebutkan dalam Babad. Dia memaparkan kisahnya dalam diskusi Jejak-jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur yang diadakan Balai Konservasi Borobudur, Rabu (18/08/2021).
"Beberapa tahun yang lalu, kita--sekitar 1,5 tahun lalu--saya sudah jalan-jalan ke daerah Tingal sama Mas Blendung ini, ditemani teman-teman di Tingal untuk mencari jejak-jejak perjuangan Pangeran Diponegoro," paparnya.
"Karena di dalam Babad, jelas sekali Pangeran Diponegoro menuliskan ketika perang di wilayah sebelah timur Sungai progo, setelah sebelumnya Pangeran Diponegoro bergerak dari Selarong--markas pertama beliau."
Kejadian itu terjadi di masa awal perang pada 1825. Di Sungai Progo terjadi pertempuran yang didokumentasikan di Babad maupun catatan kolonial, yang mengakibatkan banyak sekali prajurit Belanda tewas.
Baca Juga: Yuk Kita Jelajahi Makam Nelangsa Laskar Dipanagara di Kulonprogo
Pertempuran terjadi ketika Tingal mulai duduki pasukan Belanda, sementara Dipanagara sedang bermarkas di Dekso. Ketika kabar ini sampai di telinganya, dia langsung menyiapkan prajuritnya menuju Tingal.
Lokasi yang dimaksud itu adalah Tingal di Wanurejo, Magelang, yang menjadi salah satu basis prajurit Dipanagara. Namanya pun tak pernah berubah bahkan sejak sebelum Perang Dipanagara, meski seiring waktu tempat lain di Pulau Jawa berubah namanya untuk administrasi.
"Dari pertempuran tersebut mereka mendapat rampasan perang berupa dua meriam, dan diserahkan ke pangeran Dipanagara. Itu peristiwa yang terjadi di catatan Belanda itu pada 27 November, masih awal-awal perang," ujarnya sambil membacakan salinan Babad dan catatan sejarah De Java Oorlog.
Catatan Belanda sangat rinci mengenai peristiwa Perang Jawa, tidak seperti yang dituliskan Babad Dipanagara yang sangat menggambarkan secara luas. Diperkirakan Dipanagara sendiri memiliki prajurit berjumlah empat ribu orang, ditambah dengan 800 pasukan senapan.
Sejatinya, Pangeran Dipanagara tidak boleh mendekati komplek Candi Borobudur. Hal itu diatur dalam Babad Mataram, bahwa Pangeran Mataram tidak boleh mendatanginya, yang ada hanya aktivitas perjuangan oleh para pengikutnya, terlebih saat itu juga kondisi darurat perang. Ekspedisi ke Tingal ini ditugaskan kepada Ali Basha Abdul Kamil.
Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
"Tetapi di awal-awal perang, yang berperang di sepanjang Kali Elo dan Sugnai Progo adalah Ali Basha Muhammad Usman, yang kalau di Babad itu di daerah Santren--lokasi yang masih saya cari-cari," ujarnya.
"Itu yang harus kita cari tahu, karena itu tidak detil, hanya 'kundur datheng santren' yang ketika selesai, Ali Basha pulang bukan ke Selarong tapi ke Santren."
Basis pasukan ini awalnya banyak ditempatkan di Tingal sebagai kawasan yang cukup dekat dengan komplek Candi Borobudur. Kawasan ini dijadikan basis karena memiliki pusat pemerintahan otonom di sekitar Wonorejo (kini Wanurejo) yang berdiri sejak 1799, terang Roni.
Pemerintahan di Wonorejo sendiri didirikan oleh sosok yang dinamakan Eyang Wanu bersama sembilan rekannya, seperti Patih Cokroprawiro, Jugil, Suronegoro, Singoleksono, Citrolawu, dan masih banyak lagi. Mereka dimakamkan dengan kepunden di sekitar sana, dan namanya digunakan sebagai sembilan kampung di Wanurejo.
Kawasan Tingal ini juga dituliskan oleh Sejarawan Trinity College Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855.
"Selain Tingal juga dalam komplek Candi Borobudur menurut masyarakat ada kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro," Roni menambahkan.
"Misalnya ada bukit Gondokusumo (bukit yang menyambung dengan perbukitan Menoreh) yang menurut cerita, Gondokusumo adalah salah satu Mbah Syah yang ikut Dipanagara sampai ketika terjadi perundingan [dengan Belanda] di Magelang."
Gondokusumo ini dikisahkan menyusul ke Selarong pada masa awal perang setelah diusir. "Dia dan kakeknya, Mertonegoro, dimarahi ibunya raja gara-gara berebut makanan," papar Roni.
Peristiwa itu menggambarkan betapa sulitnya Kesultanan Yogyakarta, yang diyakini keuangan negeri dikuras penjajah sejak Hamengkubuwono III. Sehingga, Roni berpendapat, Hamengkubuwono IV dan V masih sulit untuk menumbuhkan perekonomian negri yang membuat kedua orang itu berebut makanan.
Baca Juga: Babad Dipanagara dan Sosok Pangeran Dipanagara Sebagai Manusia
Bahkan Gondokusumo memiliki tiga prajurit yang setia. Ketiga prajurit itu ditugaskan untuk berjaga di Magelang dan tidak boleh meninggalkan kawasan itu bila bukan Gondokusumo sendiri yang menjemput.
Terbukti, meski banyak pengikut Dipanegara mengikuti mengikutinya di akhir perang untuk dijebak Belanda, ketiga prajurit itu tetap di sana, karena belum dijemput oleh Gondokusumo. Hingga akhirnya ketiga prajurit itu meninggal dan dimakamkan di sana.
"Satu tempat lagi yang sangat penting itu di Salaman di Menoreh. Sebelum di bawa ke Magelang itu ditransitkan beberapa hari karena mengalami pengobatan sakit malaria kemudian dibawa ke Magelang untuk ke pesanggerahan yang dibangun sangat cepat oleh Belanda," katanya.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Roni menyampaikan bahwa pengetahuan sejarah terkait perjuangan kelompok Dipanegara di sekitar Borobudur sangat sayang bila tidak dikembangkan. Bentang alam seperti bukit Gondokusumo atau Bukit Gondowangi itu juga dimanfaatkan dalam pertempuran karena bentang alamnya sebagai pertahanan.
Ia juga melihat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Pangeran Diponegoro juga perlu diberikan kepada leluhur di kawasan sekitar sana, atas keterlibatannya yang berani untuk berjuang. Perlu diingat, Bupati Magelang pada saat itu juga masih berpihak pada Belanda, sehingga menentangnya adalah tindakan yang berani.
"Karena pangeran diponegoro tidak mungkin bisa berperang tanpa orang masyarakat sini. Siapa yang ngurusinya kalau bukan masyarakat sini?" kata Roni setelah menjabarkan betapa sulitnya mengurus orang yang berjumlah empat ribu, dengan kebutuhan-kebutuhan memerlukan bantuan seperti makanan dan tempat perlindungan.
Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda