Bahkan Gondokusumo memiliki tiga prajurit yang setia. Ketiga prajurit itu ditugaskan untuk berjaga di Magelang dan tidak boleh meninggalkan kawasan itu bila bukan Gondokusumo sendiri yang menjemput.
Terbukti, meski banyak pengikut Dipanegara mengikuti mengikutinya di akhir perang untuk dijebak Belanda, ketiga prajurit itu tetap di sana, karena belum dijemput oleh Gondokusumo. Hingga akhirnya ketiga prajurit itu meninggal dan dimakamkan di sana.
"Satu tempat lagi yang sangat penting itu di Salaman di Menoreh. Sebelum di bawa ke Magelang itu ditransitkan beberapa hari karena mengalami pengobatan sakit malaria kemudian dibawa ke Magelang untuk ke pesanggerahan yang dibangun sangat cepat oleh Belanda," katanya.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Roni menyampaikan bahwa pengetahuan sejarah terkait perjuangan kelompok Dipanegara di sekitar Borobudur sangat sayang bila tidak dikembangkan. Bentang alam seperti bukit Gondokusumo atau Bukit Gondowangi itu juga dimanfaatkan dalam pertempuran karena bentang alamnya sebagai pertahanan.
Ia juga melihat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Pangeran Diponegoro juga perlu diberikan kepada leluhur di kawasan sekitar sana, atas keterlibatannya yang berani untuk berjuang. Perlu diingat, Bupati Magelang pada saat itu juga masih berpihak pada Belanda, sehingga menentangnya adalah tindakan yang berani.
"Karena pangeran diponegoro tidak mungkin bisa berperang tanpa orang masyarakat sini. Siapa yang ngurusinya kalau bukan masyarakat sini?" kata Roni setelah menjabarkan betapa sulitnya mengurus orang yang berjumlah empat ribu, dengan kebutuhan-kebutuhan memerlukan bantuan seperti makanan dan tempat perlindungan.
Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda