Perdagangan Budak Belanda di Transatlantik, Dari Afrika hingga Amerika

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 2 September 2021 | 18:00 WIB
Lukisan Jan Luyken sekitar 1711. Dua orang Belanda menunjuk seorang budak Afrika di koloni Dunia Baru. (Dutch Culture USA)

Nationalgeographic.co.id - Perdagangan budak menjadi kisah kelam bagi peradaban Eropa. Kebanyakan dari budak yang diperoleh berasal dari negeri jajahan mereka seperti Afrika, untuk dikirim sebagai pekerja gratis dalam industri perkebunan.

Para budak harus menyeberangi samudera menuju negeri yang belum diketahuinya, kecuali sang majikan berkulit putih.

Tentunya, sebagai salah satu negara Eropa yang melakukan kolonialisme, Belanda juga terlibat dalam perdagangan budak lewat Geoctroyeerde Westindische Compagnie (GWC, bisa juga disingkat WIC), kongsi dagang Belanda untuk koloninya di Dunia Baru--Benua Amerika.

Kongsi dagang itu sendiri berdiri tanggal 3 Juni 1621. Seperti VOC di Hindia Timur, GWC memiliki hak monopoli perdagangan dan memiliki kekuasaan di Hindia Barat seperti Afrika, Brasil, Karibia, dan Amerika utara di New Amsterdam (kini Manhattan, New York).

Sistem strukturnya juga mirip dengan VOC. Akan tetapi, perkara yang membedakan, GWC tidak boleh memiliki pasukan militer.

Peminat kajian bahasa dan budaya Belanda Lilie Suratminto menerangkan, perdagangan budak di Afrika oleh Belanda, bermula ketika Belanda berhasil menaklukan benteng Elmina pada 1637 di Ghana dari tangan Portugis. Lilie, kini menjabat Dekan Fakultas Humaniora, Universitas Buddhi Dharma, Tangerang.

"Dalam penelusuran saya ununtuk menyusuri batu-batu nisan, saya menemukan bahwa di sana ada batu nisan bertuliskan Carel Hendrik Bartels. Siapa Carel Bartels ini? Dia adalah pedagang budak dari Ghana untuk dikirimkan ke Hindia Barat lewat pelayaran," ujarnya saat dihubungi National Geographic Indonesia, 27 Agustus lalu.

"Benteng Elmina juga menjadi basis kekuatan Belanda di benua Afrika. Karena di sana jadi titik pertama sebelum mencapai Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan buat orang Eropa berlayar ke Asia."

Baca Juga: Penampakan Jasad Pria Kaya dan Seorang Budak di Kota Kuno Pompeii

Recife, Brasil: Sebuah jalan dengan pria bertopi tinggi dan seragam yang menunjukkan budak yang ingin mereka beli dengan tongkat panjang. Aquatint oleh Edward Finden, lukisan karya Augustus Earle, 5 April 1824. (WELLCOME COLLECTION)

Sejarawan maritim Ruud Paisie menulis penelitian Zeeuwen en de slavenhandel: Een kwantitatieve analyse, di jurnal Tijdschrift van het Koninklijk Zeeuwsch Genootschap der Wetenschappen (2010). Dia mengungkap bahwa Elmina jadi basis penting untuk perdagangan budak Afrika bagi penjelajah Eropa.

Paisie juga memaparkan, Republik Belanda dalam perdagangan budak yang menyeberangi Samudera Atlantik itu menghasilkan lima persen dari keseluruhannya, atau diperkirakan 500.000 orang di bawah GWC. Keterlibatan itu, GWC bahkan berkontribusi pada status Belanda sebagai kekuatan ekonomi dunia setelah VOC.

"Rata-rata pengambil budak mengangkut 300 hingga 350 budak per kapal," tulis Paisie. Pola pengangkutan budak juga dilakukan serupa secara ilegal. "Antara 1674 dan 1730, setidaknya 189 pedagang budak ilegal berhasil melakukan pelayaran segitiga (rute perbudakan transatlantik), dengan membawa sekitar 60 ribu budak," ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Perbudakan Rasis di Perkebunan Medan Pada Era Penjajahan Belanda

Biasanya budak didapatkan dari pedalaman Afrika lewat penaklukkan, dan persaingan dengan berbagai kerajaan setempat dengan mengimpor uang dan senjata.Setiap kali mendapat tawanan, mereka akan dibawa ke benteng Eropa di pesisir ratusan kilometer jauhnya dengan jalan kaki. Tidak sedikit yang selamat dari perjalanan ini.

Salah satu pengalaman penawanan budak Afrika adalah Willem Bosman, pedagang budak untuk Hindia Barat. Lewat catatannya sekitar tahun 1688 ia menulis, "Saat kami mencapai kesepakatan denga para pedagang Afrika, para budak dibawa ke penjara. Di sana mereka diberi jatah air dan roti seharga masing-masing dua sen. Sama seperti penjahat di kampung halaman (Belanda)."

Baca Juga: Ada Berapa Banyak Orang yang Diperbudak di Dunia Ini?

Bagian bawah kapal yang disesaki para budak yang melintasi Samudera Atlantik. Pola seperti ini lazim dalam kapal-kapal Eropa, dan diterapkan pula oleh Belanda. (Musee d’Histoire de Nantes.)

Ketika kapal tersedia untuk dikirim ke Amerika Selatan, para budak "telanjang seperti hari mereka dilahirkan". Tak sedikit yang mencoba melarikan diri dari kapal, yang akhirnya dibunuh guna menghentikan kerusuhan di dalam kapal.

Mengutip dari African Studies Center Leiden University, diperkirakan 12 juta orang Afrika yang menjadi diangkut sebelum 1820 oleh bangsa Eropa. Akhir abad ke-18, masyarakat di Eropa mulai mengkampanyekan anti-perbudakan untuk koloni, terlebih dengan semangat Revolusi Prancis.

Belanda baru menghapus perbudakan transatlantik pada 1 Juli 1863. Penghapusan perbudakan itu menurut Lilie, membuat perubahan tenaga kerja dari free labour menjadi cheap labour. Akibatnya, banyak jasa tenaga kerja bermunculan menggantikan perbudakan.

Baca Juga: Kerangka Manusia Asal Afrika Ini Ungkap Kekejaman Perdagangan Budak

Pria, wanita dan anak-anak Afrika ditangkap untuk dijadikan budak. Litograf, sekitar 1874. (WELLCOME COLLECTION)

Contohnya, jasa tenaga kerja itu terjadi di Pulau Jawa, dengan menawarkan pekerja setempat untuk turut dalam pelayaran ke Suriname pada paruh akhir abad ke-19 hingga awal abade ke-20. Para penyalur tenaga kerja ini menjanjikan upah besar, yang nyatanya berlainan ketika para pekerja tiba di Suriname untuk mengurus perkebunan.

"Dari perbudakan gaya lama, menjadi perbudakan gaya baru," ujar Lilie.

Awalnya mereka (Belanda) menaklukan penduduk asli [Amerika] setempat, mereka [penduduk asli Amerika] kabur ke hutan. Kemudian mengambil orang Afrika untuk diperbudak, tapi kabur juga ke hutan dan memberontak. Akhirnya mengundang orang jauh di Jawa untuk dipekerjakan dengan melintasi samudera." 

Baca Juga: 'Mulih Njowo' Bukti Rindu Rakyat Jawa-Suriname Dengan Indonesia