Nationalgeographic.co.id—Kementerian Pariwisata dan Purbakala Mesir mengumumkan bahwa kebakaran telah terjadi di belakang kawasan arkeologi Mit Rahinah di provinsi Giza pada 14 Agustus lalu.
Ayman Ashmawy, Kepala Sektor Barang Purbakala Mesir di Dewan Tertinggi Barang Purbakala Mesir, mengatakan api dapat dikendalikan tanpa menimbulkan korban atau kerugian pada barang antik apa pun. Namun begitu, Ashmawy menyatakan cuaca yang sangat panas telah mengeringkan vegetasi di daerah tersebut sehingga lebih rentan untuk terbakar.
Para arkeolog Mesir bersuara bahwa cuaca ekstrem akibat perubahan iklim telah meningkatkan jumlah kebakaran dan kenaikan permukaan laut di negara tersebut. Hal ini turut mengancam keberadaan situs-situs warisan arkeologi Mesir kuno sehingga para arkeolog Mesir itu "membunyikan alarm bahaya" bahwa ini adalah ancaman yang serius.
“Kebakaran ilalang karena cuaca panas bukanlah hal baru. Itu telah terjadi secara teratur di berbagai situs arkeologi dalam beberapa tahun terakhir, terutama di musim panas karena kenaikan suhu selama bertahun-tahun,” ujar Mamdouh Ouda, Direktur Manajemen Risiko dan Bencana di Kementerian Purbakala Mesir, sebagaimana dilansir Al-Monitor.
“Karena suhu tinggi, gulma terbakar secara spontan,” jelasnya.
Ouda mengatakan bahwa keberadaan gulma dapat dihilangkan dengan menyemprotkannya dengan bahan kimia. “Tetapi akarnya tetap ada dan suhu serta kelembapan yang tinggi membantu mereka tumbuh lagi.”
Badan Meteorologi Mesir mengumumkan pada 3 Agustus lalu bahwa mereka telah melakukan penelitian pada musim panas 2021 dan membandingkannya dengan lima musim panas terakhir. Studi tersebut mengungkapkan bahwa musim panas 2021 adalah yang terpanas sejak 2017. Suhu tahun ini lebih tinggi dari angka tahun 2017 yang berada di sekitar normal dengan peningkatan 3 hingga 4 derajat Celsius.
Baca Juga: Kematian George Herbert: Apakah 'Kutukan Mumi' Mesir Kuno Itu Nyata?
Suhu di tempat teduh di Kairo mencapai 40 derajat Celsius, di Mesir Bawah 42 derajat Celsius, di sepanjang pantai utara 34-35 derajat Celsius, dan di selatan Messir 44-45 derajat Celsius.
Ouda mengatakan bahwa kenaikan suhu menyebabkan kerusakan pada dua jenis barang antik: barang antik organik seperti tekstil, linen, kulit, karpet, dan kayu, dan barang antik anorganik seperti kuil dan monumen batu.
"Suhu tinggi menyebabkan kekeringan kandungan air barang-barang antik ini. Hal itu juga mengarah pada mengembangnya material anorganik. Lalu kondisi yang lebih dingin menyebabkan penyusutannya seperti yang terjadi pada mineral dan batu serta prasasti dinding yang ditemukan di makam-makam."
Baca Juga: Penemuan Kota Kristen dari Abad Keenam di Mesir Kejutkan Para Arkeolog
Ouda menuturkan bahwa Mesir ingin membangun lebih banyak museum di seluruh negeri untuk mengumpulkan artefak-artefak yang telah ditemukan untuk menyelamatkan mereka dari masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim.
"Artefak-artefak yang dipajang di museum-museum itu terpelihara dengan baik karena museum dilengkapi dengan AC dan diatur untuk menyesuaikan suhu dan kelembapan. Tetapi beberapa situs tidak dapat dilestarikan di dalam museum ber-AC, misalnya makam-makam. [Di situs-situs ini] kementerian melakukan pemeliharaan dan perbaikan berkala setiap enam hingga 12 bulan," bebernya.
Dalam beberapa kasus, pemerintah Mesir memindahkan artefak-artefak kuno ke tempat lain yang sesuai untuk menyelamatkannya. Hal semacam itu misalnya terjadi dalam kasus Museum Tekstil Mesir.
Baca Juga: Kota Tenggelam Thonis-Heracleion, Temuan Kapal dan Kuburan Mesir Kuno
Museum khusus ini menampung lebih dari 1.000 tekstil dari era Firaun hingga era modern. Selain itu, museum ini juga menyimpan kain penutup Kakbah, koleksi teksil dari era Yunani dan Romawi, era Koptik dan era Islam, tekstil daerah-daerah, serta tekstil impor yang bergaya gaya Iran, Irak, dan Yaman.
Kasus kerusakan barang kuno karena cuaca esktrem di Mesir juga terjadi pada makam Ratu Nefertari Mesir. Makan tersebut baru saja direnovasi karena lukisan warna-warni di dalamnya mulai memudar karena kelembapan dan meningkatnya jumlah pengunjung.
Makam berusia 3.000 tahun yang terletak 50 mil di selatan Kairo otu terkenal dengan lukisan-lukisannya yang megah dengan representasi dewa-dewa Mesir dan Nefertari sendiri yang digambarkan dalam bentuk yang sangat hidup. Warna-warna cerah dari ilustrasi ini bervariasi antara oranye, biru, dan hijau.
Baca Juga: Berusia 4.500 Tahun, Patung Kayu Bermata Kristal Ditemukan di Mesir
Nefertari adalah pasangan favorit Raja Ramses II. Makamnya terletak di Lembah Ratu Luxor dan ditemukan pada tahun 1904.
Untuk melindungi makam setelah restorasi, pihak berwenang membatasi jumlah pengunjung serta memasang monitor untuk melacak tingkat suhu dan kelembapan makam tersebut.
Ahli Mesir Kuno Monica Hanna percaya bahwa pemerintah Mesir harus berbuat lebih banyak untuk melestarikan barang-barang antik mereka dari kerusakan.
“Barang-barang antik kita –sebagian besar terbuat dari batu– telah mengalami suhu tinggi selama ribuan tahun. Ya, suhu meningkat, tetapi negara dapat mengambil tindakan seperti pemulihan dari waktu ke waktu," ucap Hanna. Dia juga menambahkan bahwa "efek polusi pada barang-barang antik lebih berbahaya" karena memiliki efek pada material kimia dalam barang-barang antik tersebut. "Jadi harus ada kebijakan lingkungan untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Hanna lagi.
Baca Juga: Mumi-Mumi Tertua di Dunia Ini Masuk Daftar Warisan Dunia UNESCO
Hanna menegaskan, "Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan tingkat polusi di sekitar situs-situs arkeologi --apakah itu di air, udara, atau tanah itu sendiri."
Tak hanya polusi, kenaikan air laut akibat pemanasan global juga turut mengancam kelestarian situs-situs arkeologi di Mesir. "Pemanasan global yang menyebabkan naiknya permukaan laut memiliki efek berbahaya pada situs-situs warisan dan kota-kota yang menghadap ke Mediterania," ujar Hussein Abdel Bassir, ahli Mesir kuno sekaligu Direktur Museum of Antiquities of the Bibliotheca Alexandrina.
Abdel Bassir mencontohkan bahwa hal semacam itu benar-benar terjadi pada Benteng Qaitbay yang berasal dari abad ke-15. "Naiknya permukaan laut membuat air menyapu bagian bawah dari bagian utara benteng tersebut, sementara gelombang air menghantam bagian utara atasnya. Pergerakan laut telah menyerat pasir dari benteng tersebut sehingga mengancam stabilitas strukturnya."
Baca Juga: Peran Mahasiswa Al-Azhar dan Semangat Pengukuhan Kedaulatan Indonesia