Para Petani Rangkap Peneliti, dan Kisahnya Menghadapi Perubahan Iklim

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 17 September 2021 | 12:00 WIB

 

Nationalgeographic.co.id - Sudah banyak berita yang menyampaikan dampak perubahan iklim yang makin nyata. Tetapi, bukan berarti pengetahuan seputar itu telah mencapai banyak pihak kalangan awam, seperti segelintir petani.

Padahal petani adalah garda terdepan dalam ketahanan pangan, melalui tangan dan pengetahuan yang kaya seputar tanaman untuk kebutuhan nasional. Tanpa peran mereka, krisis pangan bisa terjadi akibat gagal panen karena permasalahan cuaca yang menghadang.

Pengetahuan tentang perubahan iklim sendiri terkesan terlalu akademis, atau hanya dipahami kalangan ilmuwan. Tetapi, lewat pendekatan agrometeorologi, dinding pemisah antara petani dan peneliti menjadi hilang. Pendekatan ini membuat para petani bisa mengamati dan menganalisis.

"Kita setiap hari pengamatan, dan kita ukur curah hujan. Dari situ kita bisa mengantisipasi kegagalan panen, karena kita punya besar yang dijadikan seperti 'primbon' untuk mengantisipasi kegagalan tadi," ungkap Yusup, petani dari Indramayu yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PTPI).

 

Selama 11 tahun, Yusup dan kawan-kawannya mengamati dan mendata. Perhitungan seperti curah hujan dan kelembaban biasanya dilakukan mereka dengan alat-alat tradisional yang mudah dimengerti, kemudian dicatat lewat arsip buku agar mudah memprediksi masa tanam yang cocok.

"Kita bikin buku data ini atau primbon ini jadi skenario musiman, jadi untuk mengantisipasi kegagalan panen dan menetapkan jadwal tanam di musim berikutnya," terangnya dalam diskusi Philanthropy Sharing Session: "Adaptasi Petani Menghadapi Perubahan Iklim" yang di Filantropi TV, Kamis (16/09/2021).

Sebelumnya, Yusup dan kawan-kawannya tidak memahami apa itu perubahan iklim, yang semakin nyata terasa lewat cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim yang menyebabkan kelembaban, curah hujan, temperatur, hingga angin yang tak menentu adalah hal yang merugikan mereka.

Misalnya, cuaca dan suhu yang tidak menentu dapat meningkatkan kelembaban tanah, dan berakibat hama yang berkembang biak. Gagal panen kerap menghantui pula bila hujan terjadi sering karena banjir, atau kekeringan.

Baca Juga: Gagasan Daulat Pangan Sukarno, Lagu Pengiringnya, dan Masa Depan

Sungkup menjadi cara jitu para petani menghadapi musim hujan ekstrem agar tanamannya tidak gagal panen. (Humas Kementerian Pertanian)

"Petani sebenarnya sudah menyadari kalau iklim sudah berubah. Perubahan terjadi karena bulan 11 kadang-kadang mundur, kadang bulan satu baru bisa tanam," ujar Yayan Suryana, petani dari Sumedang dalam forum.

"Kalau sebelum ikut pembelajaran, saya melihat alam. Misalnya, pergerakan serangga, bambu yang mulai tumbuh, sebagai tanda musim hujan. Nah, sekarang saya punya data yang akurat kapan kita bisa sebar, jangan sampai kena hujan tipuan."

Cara lain untuk mempersiapkan musim yang tidak diharapkan, seperti hujan lebat, para petani juga memahami varietas atau jenis tanaman mana yang cocok untuk ditanam. Tetapi di satu sisi budidaya bisa saja terhambat, dan mereka juga menyiapkan cara lain seperti penggunaan sungkup (plastik penutup tanaman).

"Kalau perkiraan hari ini minggu ini hujan tinggi, kita sungkup untuk sayuran itu, lalu plastik sehingga tanaman tidak terkena terpaan hujan. Air tidak masuk ke bendengan (tempat tanaman ditanam), tapi masuk ke saluran buangan," ujar Nandang, petani lainnya yang bercerita pengalaman.

Kegiatan pengamatan dan analisis yang dilakukan ini biasanya disertai evaluasi dalam kelompok. Lewat agrometeorologi, para petani bisa mempelajari hal baru antar petani terkait teknis penanaman, hingga diskusi berjejaring dengan para ilmuwan.

"Pertanian yang menanggapi seharusnya [berisi petani] yang tanggap perubahan iklim, adalah yang mampu megantisipasi dan mengambil keputusan untuk tanggap konsekuensi perubahan iklim," ujar Yunita T Winarto, Guru Besar Purna Bakti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Baca Juga: Seorang Petani Menemukan Prasasti Kuno Peninggalan Firaun Mesir

 

Yunita menerangkan, agrometeorologi membuat petani tidak hanya menjadi 'mesin produksi' untuk menghasilkan makanan yang saat ini menjadi orientasi pemerintah Indonesia. Para petani mempunyai kemampuan dan mencegah marjinalisasi ekologis, dengan cara yang tangguh untuk bertahan hidup.

"Pola dan strategi tanam disesuaikan dengan kondisi iklim yang tidak selalu sama setiap musim. Petani harus berdaulat atas lahannya sendiri, perlu jasa layanan edukasi, literasi dan dukungan kebijakan dan fasilitas. Sayangnya, masih sedikit disajikan dari pemerintah," tambahnya.

Pengenalan agrometeorologi kepada petani bukanlah hal yang mudah. Bagi para petani sudah memahami dan para ilmuwan, terkadang mengeluhkan petani lainnya yang hanya menunggu hasil jadi analisis dan pengamatan tanpa berpartisipasi mengumpulkan data.

Yunita menerangkan, pengenalan harus dilakukan lewat dua arah atau dialog antara petani dan ilmuwan. "Dialognya harus dua arah. Kita bukan guru, petani bukan murid. Tapi sama-sama berbagi pengetahuan."

Baca Juga: Pengetahuan soal Cuaca dan Iklim Didapat, Hasil Tani Kedelai Meningkat