Lalu, dia memaparkan hasil temuannya lewat forum Center for Religous and Cross-cultural Studies Graduate School (CRCS) Universitas Gadjah Mada, bersama Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS).
"Ini menarik, apa lagi saya datang dari keluarga Kristiani yang konservatif dalam tradisinya. Saya belajar sesuatu yang berbeda dari asal saya," ujarnya.
Dalam penelitiannya, ia menggunakan fenomenologi sebagai data utama yang terdiri dari 10 informan. Para informan mengaku sebagai orang yang tidak beragama, ateis, panteis, agnostik-ateis, hingga tidak memberi label atas identitas dirinya. Agama mereka sebelum menjadi non-agama adalah Buddha, Katolik, Islam, dan Protestan.
Baca Juga: Orang Religius Meningkat Tahun 2050, Bagaimana Agnostik dan Ateis?
Nama samaran mereka dipaparkan oleh Yogi dalam penelitiannya untuk membagikan kisahnya masing-masing sebagai temuannya.
Salah satunya, adalah Acho yang lahir di Yogyakarta pada awal 1980-an dengan agama Katolik di KTP-nya. Dia tidak percaya lagi pada versi Kekristenan tentang Tuhan, dan memilih meninggalkannya. Baginya, Tuhan hanyalah gambaran manusia, yang dibuat sebagai proyeksi harapan dan keinginan mereka.
Lalu ia mengidentifikasi dirinya—jika berkenalan dengan orang lain—sebagai panteis, karena ketakutannya pada stigma ateis dan ateisme di Indonesia.
Baca Juga: Mengapa Orang yang Lebih Cerdas Cenderung Ateis? Ini Penjelasannya