Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 September 2021 | 11:03 WIB
Di masa yang penuh dengan keragaman, banyak anak muda memilih untuk menentukan cara spiritualitasnya sendiri. Akhirnya, sebagian memilih jalan non-agama seperti menjadi agnostik dan ateis. (Rawpixel/Getty Images/iStockphoto)

Tetapi kembali pada jalan non-agama setelah membaca biografi beberapa ilmuwan seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, dan Carl Sagan, yang memiliki penjelasan masuk akal atas segala sesuatu.

"Di tempatnya bersosial, dia secara terbuka menyebut dirinya sebagai ateis, tetapi ketika kembali ke Tuban ia melakukan kegiatan sebagai orang Muslim seperti menghadiri salat Jumat," tutur Yogi. Alasannya, Ali ingin menjaga kehormatan sang ayah dan tidak mau menyakiti orangtuanya.

Ali menggabarkan bagaimana ekspresi stigma umum yang dialami non-agama di Indonesia. Kebanyakan memang tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif secara nyata, tetapi itu tergantung pada tingkat pengungkapan identitasnya dan sosial di sekitarnya.

Baca Juga: Mengenal Zoroastrianisme, Agama Monoteistik Pertama di Dunia

Klenteng Tien Shang Miao atau Vihara Akar. Diba­ngun pada tahun 1811 oleh kapitan Senggarang Chiao Chen sebagai tempat tinggalnya. Senggarang pada abad 18-19 merupakan pusat penanaman gambir dan lada di Kepulauan Riau. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Stigma seperti komunis, orang jahat, hingga dicap sebagai orang yang malas beribadah, muncul dari budaya masyarakat kita. Hal itu kerap menjadi stres antisipatif bagi kalangan non-agama seperti Ali.

Ada juga yang menjaga dirinya dari stigma dengan menyebut Islam KTP, Kristen KTP, dan sebagainya. Itu adalah cara paling aman bagi mereka daripada terang-terangan mengaku ateis atau agnostik, yang dianggap bertolak dari nilai Pancasila.

Dengan kata lain, Yogi menyimpulkan, identifikasi diri sebagai non-agama itu bersifat cair, tergantung dan situasional. Diskriminasi seperti ini bisa muncul akibat tekanan, dan ruang sosial yang dibatasi pada waktu tertentu dan lingkungan sosial yang dihadapi.

Baca Juga: Ragam Bentuk Meditasi dan Khasiatnya Bagi Kesehatan Jiwa dan Raga

Arca Buddha karya perajin batu di Jatisumber, Trowulan. Sebuah tradisi leluhur yang berlanjut? (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

"[Keluar dari agama] itu adalah hasil dari proses perjalanan panjang. Kita [kelompok beragama] harus mengapresiasinya," jelas Yogi.

"Karena posisi mereka distigmatisasi sebagai orang yang malas beribadah dan dianggap kurang mendalami agama, mereka mengecap dirinya sebagai agnostik atau ateis. Akan tetapi itu bukan masalah bagi informan saya, tapi itu sebagai pencapaian dari perjalanannya mereka yang berat."

"Jadi kita hargailah, dengarkan prosesnya, dan dengarkan pada pertanyaan dari tantangan dari keyakinan kita, iman kita, posisi kita, serta meresponnya dengan berdialektika," ia menyarankan. "Ini juga yang berlaku pada mereka yang pindah agama."