Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 September 2021 | 11:03 WIB
Di masa yang penuh dengan keragaman, banyak anak muda memilih untuk menentukan cara spiritualitasnya sendiri. Akhirnya, sebagian memilih jalan non-agama seperti menjadi agnostik dan ateis. (Rawpixel/Getty Images/iStockphoto)

Selain itu juga keberadaan mereka sebagai status  'terluntang-lantung' tanpa arah, dan kebebasan berekspresi yang terbatas. Padahal, pilihannya menjadi golongan non-agama adalah hasil perenungan dirinya.

Yogi menjelaskan lintasan umum seseorang menjadi non-agama, seperti agnostik dan ateis. Mereka berawal dari kondisi sosialisasi agama, yang kemudian mencari jati diri keagamaan, lalu mengalami keraguan. Setelah menemukan jawaban, mereka memilih untuk meninggalkan agama, dan menjadi non-agama.

Bisa juga seseorang dari kalangan sosialisasi agama menemukan rasa skeptis pada keyakinan yang dipeluk lingkungan sekitarnya, kemudian langsung meninggalkan agama. Dari pola lintasan juga beberapa ada yang melompat langkah tersebut untuk menjadi golongan non-agama. Kebanyakan pengilhaman individu ini muncul setelah merenung, dan membaca buku filsafat atau sains.

Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

Patung Buddha tidur sepanjang 22 meter ini menjadi patung Buddha terbesar di Indonesia. Berlokasi di Bejijong, Trowulan, Mojokerto. (Dwi Oblo)

Yogi mengkisahkan salah satu respondennya dengan nama samaran Ali, seorang paruh baya dari Tuban. Dia berasal dari keluarga yang sangat konservatif beragama, ayahnya seorang ustad, bahkan ia sempat mengenyam enam tahun di pesantren.

Pada tahun keempat di pesantren, ia termotivasi belajar agama secara serius karena banyak pertanyaan yang muncul terkait imannya. Semakin ia mencari tahu, baginya pemahaman agama banyak yang kontradiksi, dan hanya sains yang dapat menjawab secara pasti, khususnya tentang asal-usul alam semesta.

Setelah lulus, ia berhenti percaya pada agama, dan selama tahun kelima dan keenam hanya berpura-pura melakukan ibadah. Sempat ada musibah yang dialami yang dianggapnya adalah azab, ia hampir menjadi taat.

Baca Juga: Rastafarianisme: Gerakan Spiritual dan Kelahirannya di Afrika