Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 September 2021 | 11:03 WIB
Di masa yang penuh dengan keragaman, banyak anak muda memilih untuk menentukan cara spiritualitasnya sendiri. Akhirnya, sebagian memilih jalan non-agama seperti menjadi agnostik dan ateis. (Rawpixel/Getty Images/iStockphoto)

"Padanan kata ateis itu jelek, dan sering disamakan dengan komunisme. [Padahal] Komunisme itu adalah propaganda Orde Baru yang digambarkan begitu kejam dan jahat, dan terus berdengung di dalam pikirannya (Aco)," papar Yogi.

Akan tetapi pada 2018, ungkap Yogi, dia dibaptis dan sering menghadiri pelayanan Minggu, karena dia hendak menikahi anak pastor.

"Tapi dalam pecakapan dengan saya, dia menyatakan tidak mau bersungguh-sungguh pada agama. [Sering beribadah ini] Hanya dalih untuk mendapatkan restu dari mertuanya," tambah Yogi. Meski dia tak mau beragama lagi, tetapi ia tetap menghargai nilai-nilai dan ritual yang dimiliki umat Kristen.

Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Filosofi Taoisme asal Tiongkok?

Suasana di depan Masjid Menara Kudus seusai salat Jumat. Masjid ini didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq (Sunan Kudus) pada 1549. Masjid ini tampak selaras dengan arsitektur masa Hindu-Buddha yang hingga kini menjadi simbol akulturasi. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Untuk memahami golongan non-beragama itu, adalah masalah tentang definisi agama yang di Indonesia. Di Indonesia, agama ditafsirkan sebagai kelompok yang memiliki kitab, nabi, dan konsep monoteistik ketuhanan.

"Tapi itu memiliki paradigma yang bias tentang agama. Sementara orang non-agamanya juga konsisten menolak, menyimpang, dan bahkan anti-agama," Yogi menjelaskan.

"Selain itu non-agama terlihat menenentang terhadap ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa—prinsip Pancasila yang secara dominan diinterpretasikan oleh cara atau paradigma monoteistik." Kondisi yang berbeda dari ajaran 'Ketuhanan Yang Maha Esa' ini membuat mereka termarjinalisasi, dan dianggap sama dengan komunisme yang harus dilawan.

Baca Juga: Ebeg Banyumasan, Jejak Kreasi Sang Sunan untuk Siar Islam di Jawa