Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 September 2021 | 11:03 WIB
Di masa yang penuh dengan keragaman, banyak anak muda memilih untuk menentukan cara spiritualitasnya sendiri. Akhirnya, sebagian memilih jalan non-agama seperti menjadi agnostik dan ateis. (Rawpixel/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Ketika bergabung dengan Persatuan Kristen Antar Universitas (Perkantas), Krisna Yogi Pramono mendapati banyak generasi muda yang ragu dengan perspektif agamanya. Mereka lebih memilih untuk meninggalkan agamanya menjadi non-agama seperti agnostik dan ateis.

Rupanya, fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan Yogi saja. Dia mendapati kondisi perpindahan agama itu pada buku hasil penelitian David Kinnaman yang berjudul You Lose Me, Why Young Christian are Leaving Church. Buku itu menggambarkan bagaimana anak muda mulai berpikir dan meragukan keimanan yang selama ini dianut.

Dari situlah, Yogi mencoba melakukan penelitian di Indonesia tentang peristiwa serupa di Indonesia. Dia mencoba melakukan studi berjudul Leaving Religion: Identification, Stigma, and Discrimination of Non-religion in Indonesia, untuk menciptakan kriteria atau klasifikasi yang tepat, mengetahui masalah mendasar dari kategorisasi, dan mengonsepkan lebih baik tentang fenomena non-religius di Indonesia.

Lalu, dia memaparkan hasil temuannya lewat forum Center for Religous and Cross-cultural Studies Graduate School (CRCS) Universitas Gadjah Mada, bersama Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS).

"Ini menarik, apa lagi saya datang dari keluarga Kristiani yang konservatif dalam tradisinya. Saya belajar sesuatu yang berbeda dari asal saya," ujarnya.

Dalam penelitiannya, ia menggunakan fenomenologi sebagai data utama yang terdiri dari 10 informan. Para informan mengaku sebagai orang yang tidak beragama, ateis, panteis, agnostik-ateis, hingga tidak memberi label atas identitas dirinya. Agama mereka sebelum menjadi non-agama adalah Buddha, Katolik, Islam, dan Protestan.

Baca Juga: Orang Religius Meningkat Tahun 2050, Bagaimana Agnostik dan Ateis?

Keluarga Bitin Berek di Desa Jenilu, Atapupu, Atambua merupakan salah satu keturunan Cina Timor yang masih merayakan Imlek (saja) setiap tahunnya dengan tradisi Katolik Timor. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Nama samaran mereka dipaparkan oleh Yogi dalam penelitiannya untuk membagikan kisahnya masing-masing sebagai temuannya.

Salah satunya, adalah Acho yang lahir di Yogyakarta pada awal 1980-an dengan agama Katolik di KTP-nya. Dia tidak percaya lagi pada versi Kekristenan tentang Tuhan, dan memilih meninggalkannya. Baginya, Tuhan hanyalah gambaran manusia, yang dibuat sebagai  proyeksi harapan dan keinginan mereka.

Lalu ia mengidentifikasi dirinya—jika berkenalan dengan orang lain—sebagai panteis, karena ketakutannya pada stigma ateis dan ateisme di Indonesia.

Baca Juga: Mengapa Orang yang Lebih Cerdas Cenderung Ateis? Ini Penjelasannya

"Padanan kata ateis itu jelek, dan sering disamakan dengan komunisme. [Padahal] Komunisme itu adalah propaganda Orde Baru yang digambarkan begitu kejam dan jahat, dan terus berdengung di dalam pikirannya (Aco)," papar Yogi.

Akan tetapi pada 2018, ungkap Yogi, dia dibaptis dan sering menghadiri pelayanan Minggu, karena dia hendak menikahi anak pastor.

"Tapi dalam pecakapan dengan saya, dia menyatakan tidak mau bersungguh-sungguh pada agama. [Sering beribadah ini] Hanya dalih untuk mendapatkan restu dari mertuanya," tambah Yogi. Meski dia tak mau beragama lagi, tetapi ia tetap menghargai nilai-nilai dan ritual yang dimiliki umat Kristen.

Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Filosofi Taoisme asal Tiongkok?

Suasana di depan Masjid Menara Kudus seusai salat Jumat. Masjid ini didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq (Sunan Kudus) pada 1549. Masjid ini tampak selaras dengan arsitektur masa Hindu-Buddha yang hingga kini menjadi simbol akulturasi. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Untuk memahami golongan non-beragama itu, adalah masalah tentang definisi agama yang di Indonesia. Di Indonesia, agama ditafsirkan sebagai kelompok yang memiliki kitab, nabi, dan konsep monoteistik ketuhanan.

"Tapi itu memiliki paradigma yang bias tentang agama. Sementara orang non-agamanya juga konsisten menolak, menyimpang, dan bahkan anti-agama," Yogi menjelaskan.

"Selain itu non-agama terlihat menenentang terhadap ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa—prinsip Pancasila yang secara dominan diinterpretasikan oleh cara atau paradigma monoteistik." Kondisi yang berbeda dari ajaran 'Ketuhanan Yang Maha Esa' ini membuat mereka termarjinalisasi, dan dianggap sama dengan komunisme yang harus dilawan.

Baca Juga: Ebeg Banyumasan, Jejak Kreasi Sang Sunan untuk Siar Islam di Jawa

Selain itu juga keberadaan mereka sebagai status  'terluntang-lantung' tanpa arah, dan kebebasan berekspresi yang terbatas. Padahal, pilihannya menjadi golongan non-agama adalah hasil perenungan dirinya.

Yogi menjelaskan lintasan umum seseorang menjadi non-agama, seperti agnostik dan ateis. Mereka berawal dari kondisi sosialisasi agama, yang kemudian mencari jati diri keagamaan, lalu mengalami keraguan. Setelah menemukan jawaban, mereka memilih untuk meninggalkan agama, dan menjadi non-agama.

Bisa juga seseorang dari kalangan sosialisasi agama menemukan rasa skeptis pada keyakinan yang dipeluk lingkungan sekitarnya, kemudian langsung meninggalkan agama. Dari pola lintasan juga beberapa ada yang melompat langkah tersebut untuk menjadi golongan non-agama. Kebanyakan pengilhaman individu ini muncul setelah merenung, dan membaca buku filsafat atau sains.

Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

Patung Buddha tidur sepanjang 22 meter ini menjadi patung Buddha terbesar di Indonesia. Berlokasi di Bejijong, Trowulan, Mojokerto. (Dwi Oblo)

Yogi mengkisahkan salah satu respondennya dengan nama samaran Ali, seorang paruh baya dari Tuban. Dia berasal dari keluarga yang sangat konservatif beragama, ayahnya seorang ustad, bahkan ia sempat mengenyam enam tahun di pesantren.

Pada tahun keempat di pesantren, ia termotivasi belajar agama secara serius karena banyak pertanyaan yang muncul terkait imannya. Semakin ia mencari tahu, baginya pemahaman agama banyak yang kontradiksi, dan hanya sains yang dapat menjawab secara pasti, khususnya tentang asal-usul alam semesta.

Setelah lulus, ia berhenti percaya pada agama, dan selama tahun kelima dan keenam hanya berpura-pura melakukan ibadah. Sempat ada musibah yang dialami yang dianggapnya adalah azab, ia hampir menjadi taat.

Baca Juga: Rastafarianisme: Gerakan Spiritual dan Kelahirannya di Afrika

Tetapi kembali pada jalan non-agama setelah membaca biografi beberapa ilmuwan seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, dan Carl Sagan, yang memiliki penjelasan masuk akal atas segala sesuatu.

"Di tempatnya bersosial, dia secara terbuka menyebut dirinya sebagai ateis, tetapi ketika kembali ke Tuban ia melakukan kegiatan sebagai orang Muslim seperti menghadiri salat Jumat," tutur Yogi. Alasannya, Ali ingin menjaga kehormatan sang ayah dan tidak mau menyakiti orangtuanya.

Ali menggabarkan bagaimana ekspresi stigma umum yang dialami non-agama di Indonesia. Kebanyakan memang tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif secara nyata, tetapi itu tergantung pada tingkat pengungkapan identitasnya dan sosial di sekitarnya.

Baca Juga: Mengenal Zoroastrianisme, Agama Monoteistik Pertama di Dunia

Klenteng Tien Shang Miao atau Vihara Akar. Diba­ngun pada tahun 1811 oleh kapitan Senggarang Chiao Chen sebagai tempat tinggalnya. Senggarang pada abad 18-19 merupakan pusat penanaman gambir dan lada di Kepulauan Riau. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Stigma seperti komunis, orang jahat, hingga dicap sebagai orang yang malas beribadah, muncul dari budaya masyarakat kita. Hal itu kerap menjadi stres antisipatif bagi kalangan non-agama seperti Ali.

Ada juga yang menjaga dirinya dari stigma dengan menyebut Islam KTP, Kristen KTP, dan sebagainya. Itu adalah cara paling aman bagi mereka daripada terang-terangan mengaku ateis atau agnostik, yang dianggap bertolak dari nilai Pancasila.

Dengan kata lain, Yogi menyimpulkan, identifikasi diri sebagai non-agama itu bersifat cair, tergantung dan situasional. Diskriminasi seperti ini bisa muncul akibat tekanan, dan ruang sosial yang dibatasi pada waktu tertentu dan lingkungan sosial yang dihadapi.

Baca Juga: Ragam Bentuk Meditasi dan Khasiatnya Bagi Kesehatan Jiwa dan Raga

Arca Buddha karya perajin batu di Jatisumber, Trowulan. Sebuah tradisi leluhur yang berlanjut? (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

"[Keluar dari agama] itu adalah hasil dari proses perjalanan panjang. Kita [kelompok beragama] harus mengapresiasinya," jelas Yogi.

"Karena posisi mereka distigmatisasi sebagai orang yang malas beribadah dan dianggap kurang mendalami agama, mereka mengecap dirinya sebagai agnostik atau ateis. Akan tetapi itu bukan masalah bagi informan saya, tapi itu sebagai pencapaian dari perjalanannya mereka yang berat."

"Jadi kita hargailah, dengarkan prosesnya, dan dengarkan pada pertanyaan dari tantangan dari keyakinan kita, iman kita, posisi kita, serta meresponnya dengan berdialektika," ia menyarankan. "Ini juga yang berlaku pada mereka yang pindah agama."