Sejarah Dunia: Ketika Kereta Bayi Mengalahkan Tank Baja Polandia

By Utomo Priyambodo, Selasa, 12 Oktober 2021 | 17:00 WIB
(The Institute of National Remembrance )

Nationalgeographic.co.id—Sekitar empat dekade lalu, rezim komunis pernah berkuasa di Polandia. Rezim ini memberangus pihak mana pun yang berlawananan dengan mereka, termasuk rakyat mereka sendiri.

Salah satu pihak yang mereka berangus adalah Solidaritas, gerakan rakyat yang terbentuk pada Agustus 1980 melalui aksi mogok para buruh di pelabuhan Gdansk dan kemudian di seluruh Polandia. Aksi ini menimbulkan kepanikan rezim yang berkuasa di negeri itu sejak Perang Dunia Kedua.

Pada 13 Desember 1981, rezim komunis Polandia menderetkan barisan tank lapis baja di jalan-jalan guna menghentikan laju gerakan Solidaritas untuk selama-lamanya. Ratusan orang pun ditangkap, puluhan bahkan dibunuh.

Mengabaikan ancaman tank-tank lapis baja dan penangkapan atas diri mereka, rakyat Polandia mempersiapkan unjuk rasa menentang pemberangusan Polandia, termasuk memboikot siaran-siaran berita televisi oleh pemerintah. Di suatu kota kecil, warga menemukan cara mereka sendiri.

Setiap malam, bermula pada 5 Februari 1982, warga kota kecil Swidnik di bagian timur Polandia mulai bertindak. Begitu televisi mulai menyiarkan berita-berita resmi pemerintah selama setengah jam sejak pukul 7.30 malam, semua warga kota itu keluar rumah memenuhi jalan-jalan, mondar-mandir, bercengkrama satu sama lain, dan ngobrol menghabiskan waktu.

Sebelum keluar rumah, beberapa warga meletakkan televisi mereka yang sudah dimatikan di jendela, menghadap ke luar, ke jalan-jalan sehingga semua orang melihat hanya layar gelap tanpa suara dan gambar. Sebagian warga lainnya bertindak lebih jauh lagi. Mereka meletakkan televisi yang sudah dimatikan di dalam kereta-kereta dorong bayi atau yang biasa dipakai berbelanja atau mengangkut bahan bangunan. Mereka menggelandang kereta-kereta dorong berisi pesawat televisi itu di jalan-jalan sepanjang malam.

Baca Juga: Arkeolog Temukan Bukti Pembantaian Nazi di 'Lembah Kematian' Polandia

 

Pada 1947 Republik Rakyat Polandia didirikan sebagai negara satelit di bawah pengaruh Soviet. Setelah revolusi 1989 (gerakan "Solidarność") negara berdaulat Polandia didirikan sebagai republik demokratis. (Public Domain)

"Kalau semua aksi perlawanan dilakukan oleh para pegiat gerakan bawah tanah, maka itu bukanlah saya atau kamu," kata salah seorang pendukung Solidaritas, seperti dikutip dari buku Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia yang disusun oleh Steve Crawshaw dan John Jackson.

"Tetapi, kalau kamu melihat tetangga-tetanggamu menggelandang televisi mereka di jalan-jalan, maka itu akan membuatmu merasa menjadi bagian dari mereka. Salah satu tujuan penguasa adalah membuat kamu merasa terasing sendirian. Warga Swidnik mematahkan pengucilan itu dan membangung kepercayaan diri mereka."

Taktik membawa-televisi-jalan-jalan itu kemudian menyebar dan ditiru di kota-kota lain. Hal ini membuat pemerintah benar-benar berang. Namun, mereka tidak berdaya untuk menghentikannya. Keluar rumah untuk berjalan-jelan santai jelas bukan tindakan kejahatan berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau

Maka, pemerintah pun mempercepat waktu pemberlakukan jam malam, dari yang awalnya mulai pukul 10 malam menjadi mulai jam 7 malam. Mereka pikir aturan baru ini akan membuat warga Swidnik tetap berada di dalam rumah mereka pada saat siara berita resmi yang dimulai pukul 7.30 malam itu. Keluar rumah pada saat itu berarti ditangkap atau ditembak.

Warga Swidnik menanggapi larang baru itu justru dengan keluar rumah awal. Mereka mulai memenuhi jalan-jalan pada pukul 5 sore, yakni saat siaran berita resmi petang hari!

Kegiatan ini baru memperlihatkan berapa banyak warga Polandia yang tidak mendengarkan siaran pemerintah. Namun di sisi lain, berapa banyak para pendengar siaran yang menentang pemerintah?

Para penyiar Radio Solidaritas kemudian memiliki percobaan unik untuk mengetahui hal tersebut. Mereka meminta warga mengedap-kedipkan lampu rumah pada saat-saat tertentu jika sedang mendengarkan siaran Radio Solidaritas.

Baca Juga: Gerakan Partai Komunis Palestina, Perlawanan Zionis dan Lika-Likunya

Salah seorang pembangkang, Konstanty Gebert, mengisahkan bahwa waktu itu ia keluar rumah menyusuri satu jalan di ibukota Warsawa, tepat saat siaran Radio Solidaritas mulai mengudara. Ia menyaksikan lampu dalam satu apartemen di lantai bawah gedung mulai berkedap-kedip. Ketika ia kembali lagi ke rumah menyusuri jalan yang sama, lampu-lampu seluruh apartemen di gedung itu sudah berkedap-kedip semuanya. Dia membalikkan badan menengok ke arah dari mana dia tadi datang, dan tampaklah lampu berkedap-kedip di seluruh jajaran gedung di sepanjang jalan tersebut.

Laporan berita menyebutkan bahwa lampu berkeda-kedip di seluruh kota malam itu. Gebert bilang, "Anda tidak bisa membayangkan macam apa perasaan kemenangan saat itu."

Kegiatan mengedap-kedipkan lampu ini dibiarkan oleh pemerintah. Sebab, bagi mereka, menangkap seluruh penduduk ibukota Warsawa adalah jelas sesuatu yang muskil.

Pada tahun 1984, para pendukung Solidaritas berhasil menyabotase siaran berita resmi pemerintah. Penyabotan itu bisa dilihat dalam film dokumenter tahun 2006 garapan Grzegorz Linkowski, Stroll with the Television News (Menggelandang Berita-Berita Telvisi). Para pemirsa televisi Polandia tiba-tiba mendengar, "Inilah siaran televisi Radio Solidaritas. Selamat petang para pemirsa..."

Meski banyak pegiat telah ditangkapi, polisi rahasia Polandia tidak mampu menemukan sang penyabot. Kegagalan ini membuat pemerintah semakin malu dan membuat para warga yang membangkang semakin senang dan berani melakukan pembangkangan-pembangkangan lainnya.

Aksi menggelandang televisi dengan kereta-kereta dorong bayi, mengedap-ngedipkan lampu rumah, dan menyabotase siaran resmi pemerintah itu telah menjaga semangat perlawanan rakyat Polandia. Hasilnya, rezim yang selama ini tak tergoyahkan pun akhirnya berhasil tumbang beberapa tahuh kemudian.

Di Indonesia, hal-hal yang terkesan remeh juga pernah menjadi penjaga semangat perlawanan rakyat pada masa-masa awal sesaat setelah proklamasi kemerdekaan RI, ketika Jepang telah kalah oleh sekutu. Salah satu hal yang terkesan remeh itu adalah mural.

Baca Juga: Teori Tentang Beethoven Kulit Hitam dan Makna Perlawanan di Dalamnya

Hary Poeze dalam tulisannya yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1 pernah menyebut bahwa "Ahmad Soebardjo meminta nasihat kepada Tan Malaka untuk melakukan propaganda dengan semboyan-semboyan menggelorakan perjuangan." Tan Malaka kemudian melibatkan para pemuda untuk melakukan aksi mural dan coret-coret di jalanan, serta menyebar pamflet di mobil dan kereta yang bergerak ke luar Jakarta.

Semangat mati-matian kemudian ditunjukkan para pemuda untuk melawan musuh, tulis Poeze. Dan semangat itu berbuah hasil karena kedatangan kembali Belanda dan Inggris pada akhirnya berhasil dihalau segenap rakyat Indonesia.