Mengintip Produksi Kelapa Sawit Berkelanjutan

By , Rabu, 27 Januari 2016 | 20:00 WIB

“Buukkkkk!!!”

Setandan penuh buah kelapa sawit jatuh dari pohon berketinggian kurang lebih 15 meter dan berdebam menghantam tanah. Beberapa buahnya yang berwarna cokelat dengan gradasi oranye di pangkalnya terlepas dari tandan, menggelinding di sekitar pohon.

Siang itu, Arsino (47) salah seorang pekerja perkebunan sawit tengah mendemonstrasikan bagaimana cara memanen buah kelapa sawit kepada para peserta Media Trip “Sustainable Palm Oil” di kebun kelapa sawit milik Musim Mas Group. Ia menggunakan galah panjang dengan sabit diujungnya untuk memotong tandan sawit dari pohonnya. Sabit itu diposisikan sedemikian rupa pada tandan, kemudian dengan sekali sentakan kuat, Arsino menarik galah, dan jatuhlah setandan kelapa sawit.

 “Karena berat janjang (tandan) di kebun ini lebih dari 16 kilogram, harus ada minimal 12 brondolan (buah) yang jatuh secara alami di piringan, baru buah sawit boleh dipanen,” ujar General Manager Perkebunan Musim Mas wilayah Sorek Utara, Supriyadi, beberapa waktu lalu. Piringan yang dimaksud ialah lingkaran bebas gulma dengan diameter kurang lebih 2 meter yang mengelilingi pokok sawit.

Baca juga: Mengapa Kelapa Sawit Begitu Berkembang di Indonesia?

Senior General Manager Musim Mas, Periannan Chellamuthu menambahkan, jumlah buah yang terlepas dan jatuh menandakan bahwa tandan sawit siap dipanen. Jika jumlah buah yang jatuh di piringan belum sampai 12, segala proses penanaman, pemberian pupuk, pestisida, akan sia-sia. Sebab, minyak sawit yang dihasilkan akan sangat sedikit.

Sekilas, memanen kelapa sawit memang tampak mudah. Tapi percayalah, itu bukan merupakan pekerjaan enteng. Setidaknya itulah kesimpulan yang saya tangkap setelah menyaksikan Nugie, musisi pelantun lagu Lentera Jiwa itu menjajal untuk memanen kelapa sawit. Nugie turut hadir dalam acara ini sebagai Honorary Supporter World Wildlife Fund (WWF)-Indonesia.

Percobaan pertama Nugie gagal.

 “Berraaaat!” serunya.

Di percobaan kedua, ia dibantu oleh salah seorang pekerja kebun. Sekali sentak, tandan sawit jatuh. Keberhasilan Nugie disambut oleh sorak sorai dari para peserta lain.

Setelah berhasil menjatuhkan setandan buah kelapa sawit, Nugie menyingkir. Sementara itu, pekerja kebun kemudian menjatuhkan pelepah sawit yang sudah tua.!break!

Pelepah tersebut lantas dipotong menjadi dua dan diletakkan di antara satu pokok sawit dengan yang lainnya. Di sekitar situ memang tampak tumpukan-tumpukan pelepah kering yang menggunung diantara pohon-pohon sawit.

“Memang sengaja disusun dan diletakkan di situ,” tukas Supriyadi.

Ia menjelaskan, susunan pelepah sawit semacam itu bukan tanpa alasan. Selain sebagai pupuk organik,  tumpukan pelepah membuat kelembaban tanah menjadi tinggi. Ada pupuk-pupuk tertentu yang pengaplikasiannya dilakukan di bawah tumpukan tersebut.

“Tujuannya, agar pupuk tak hanyut begitu saja jika hujan turun. Pupuk akan turun dan meresap ke dalam tanah secara perlahan,” imbuhnya.

Kolam aeroflow. Limbah POME harus melalui proses oksigenisasi di kolam aeroflow untuk mengurangi tingkat Biochemical Oxygen Demand (BOD) hingga di bawah 100 ppm agar ramah lingkungan. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Selain pemupukan, untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya ialah pemilihan bibit unggul dan penggunaan pestisida. Bibit yang unggul akan menghasilkan kelapa sawit lebih banyak saat panen. Dengan pemilihan bibit unggul, perkebunan akan menjadi lebih efisien.

Baca juga: Penghentian Moratorium Sama dengan Membuka Konflik Baru

Penggunaan pestisida juga mendapat perhatian khusus dari pengelola perkebunan. Saat ini, Musim Mas telah menerapkan Integrated Pest Management (IPM). Secara rutin, pengelola perkebunan melakukan sensus hama. Pengendalian hama dilakukan dengan memanfaatkan predator alami maupun biopestisida. Metode-metode ini sangat efektif karena hanya mengenai hama yang spesifik.

“Kami hanya kontrol populasi spesies yang dianggap hama, bukan memusnahkan. Hama dijaga populasinya biar tak sampai timbulkan kerugian,” tegas Manager of Crop Protection Musim Mas, Cheong Yew Loung dalam logat melayunya yang kental.

Sampai saat ini, Musim Mas memang belum sepenuhnya menggunakan pestisida alami. Pestisida kimia digunakan ketika lima persen pokok sawit dari seluruh perkebunan terserang hama. Akan tetapi, metode-metode alami tersebut mampu mengurangi penggunaan pestisida kimia.!break!

Memanfaatkan Limbah

Di perkebunan milik Musim Mas yang berlokasi di Pangkalan Lesung, Pelalawan, Riau, pupuk yang digunakan sebagian besar adalah pupuk organik. Selain pelepah kering, ternyata pengelola perkebunan juga memanfaatkan limbah cair dan padat yang berasal dari produksi kelapa sawit. Hal tersebut terungkap ketika saya dan peserta media trip lain mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik Musim Mas.

Baca juga: Pembukaan Lahan Kelapa Sawit, Orangutan Terancam

Ketika baru saja tiba di pabrik, kami disambut oleh setandan buah sawit segar, setandan sawit yang telah melaui proses perebusan dan sederet toples dengan berbagai macam nama di labelnya. Setelah diperhatikan dengan teliti, ternyata ada garis-garis panah berwarna kuning di meja yang menunjukkan proses pengolahan kelapa sawit, termasuk pengolahan limbahnya.

Mill Manager Musim Mas di Batang Kulim, Sudi, menjelaskan bahwa pengolahan kelapa sawit menghasilkan limbah cair atau lebih dikenal dengan Palm Oil Mill Effluent (POME). Di Musim Mas, POME diproses dengan menguraikan bakteri anaerobik di kolam yang besar dan dalam. Limbah ini kemudian melalui proses oksigenisasi di kolam aeroflow untuk mengurangi tingkat Biochemical Oxygen Demand (BOD) hingga di bawah 100 ppm agar ramah lingkungan. Setelah itu, aeroflow diaplikasikan ke kebun kelapa sawit sebagai pupuk cair melalui saluran irigasi. 

“Sedangkan hasil endapan limbah cair dikeringkan menjadi dried decanter solid atau biasa kita sebut limbah padat, nantinya, itu juga digunakan sebagai pupuk di  kebun sawit,” tutur Sudi.

Limbah gas pabrik kelapa sawit Musim Mas diolah di Biogas Plant. Di sini, gas metana diolah menjadi energi listrik yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik, perkantoran perkebunan dan perumahan. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

POME ternyata dapat melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya ke udara. Philip. G. Taylor, peneliti bidang ekologi dan biologi evolusioner Universitas Colorado pernah melakukan penelitian tentang emisi gas metana dari limbah cair kelapa sawit dan potensi bioenerginya. Dalam penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa buangan gas metana dari air limbah olahan kelapa sawit ternyata sangat siginifikan berdampak pada perubahan iklim dibandingkan dengan pembukaan lahan, kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut. Akan tetapi, gas metana ini sesungguhnya sangat potensial sebagai sumber bioenergi.

Baca juga: Hutan Indonesia yang Terus Menyusut

!break!

Di Musim Mas, terdapat teknologi pengolahan limbah gas bernama Methane Capture. Bau khas metana langsung menyeruak ketika saya memasuki kawasan pengolahan biogas. Dari pintu gerbang, tampak semacam gundukan raksasa berwarna hitam. Setelah berada lebih dekat, barulah saya tahu bahwa gundukan tersebut sebenarnya semacam membran yang terbuat dari karet tebal. Membran itu menutupi permukaan sebuah kolam raksasa berukuran 186 x 92 meter dengan kedalaman 10 meter.

Baca juga: Kampanye Biodiesel di Indonesia Penting untuk Target Pengurangan Emisi

Membran menutupi kolam berukuran 186 x 92 meter dengan kedalaman 10 meter yang berisi POME. Membran menggelembung karena adanya tekanan gas metana yang menguap. Gas metana kemudian dialirkan untuk diproses dan dikonversi menjadi energi listrik. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Penanggung Jawab Biogas Musim Mas, Muhammad Arif menjelaskan, membran menggelembung karena adanya tekanan dari gas metana yang terdapat di dalam kolam raksasa yang berisi POME. Gas metana yang menguap ditangkap dan diproses untuk mengurangi kadar-kadar gas lain seperti H2S dan CO2. Kemudian gas metana dialirkan ke engine room untuk dikonversi menjadi tenaga listrik melalui tenaga gerak.

“Listrik yang dihasikan digunakan untuk kebutuhan listrik pabrik, kantor dan perumahan. Kelebihan energi listriknya dijual ke PLN,” ujar Arif.

Praktek perkebunan berkelanjutan

 Pengolahan limbah yang benar, penggunaan pestisida alami dan pemilihan bibit unggul merupakan bentuk-bentuk praktek perkebunan yang berkelanjutan.  WWF-Indonesia, penggagas kegiatan ini memang ingin mengajak pesertanya untuk melihat secara langsung bagaimana praktek produksi berkelanjutan diterapkan di perkebunan dan pabrik kelapa sawit.

Artikel terkait: Komitmen Menuju Sawit Berkelanjutan Indonesia

Selama empat hari, dari tanggal 20-23 Januari, kami mengamati proses produksi kelapa sawit berkelanjutan di perkebunan kelapa sawit Musim Mas di Pelalawan, Riau, dan pabrik pengolahan produk sawit di Medan, Sumatera Utara. !break!

WWF-Indonesia juga menggandeng lembaga sertifikasi produk minyak sawit berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sejak didirikan tahun 2004 lalu, RSPO mendorong produsen-produsen minyak kelapa sawit untuk menerapkan praktek produksi kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi RSPO.

Baca juga: Perkembangan RSPO Dalam Pelestarian Minyak Sawit

Musim Mas menjadi perusahaan percontohan yang telah menerapkan prinsip dan kriteria produksi kelapa sawit berkelanjutan yang ditetapkan oleh RSPO. Perusahaan ini bergabung dengan RSPO sejak tahun 2004, dan kini seluruh perkebunan Musim Mas telah mendapatkan sertifikat RSPO.

“Secara umum, Musim Mas sudah cukup baik dalam menerapkan prinsip-prinsip RSPO,” kata Ahli Sertifikasi RSPO, Asril Darussamin yang turut meninjau langsung ke lokasi perkebunan Musim Mas.

“Tapi, prosesnya nggak berhenti sampai di sini, kami akan mengaudit perusahaan Musim Mas secara berkala,” imbuhnya.

Area pembibitan kelapa sawit perusahaan Musim Mas. Penyiraman bibit kelapa sawit dilakukan dua kali sehari, tiap pagi dan sore. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Asril menuturkan, untuk mendapat sertifikat RSPO, perusahaan kelapa sawit harus memenuhi prinsip dan kriteria yang telah ditetapkan, meliputi: aspek  transparansi; ketaatan pada hukum dan aturan; kelayakan keuangan dan ekonomi jangka panjang; penerapan praktek perkebunan dan pabrik terbaik; tanggung jawab terhadap lingkungan, konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; memperhatikan tatanan dan kesejahteraan sosial pekerja dan masyarakat setempat; pengembangan penanaman baru yang bertanggung jawab; serta komitmen perbaikan yang kontinyu di area-area kegiatan utama.

Simak juga: Hutan Jadi Kebun Sawit, Orangutan Panen Tikung Milik Petani Madu

Peserta media trip juga diajak untuk mengunjungi kawasan sepadan Sungai Pelintai yang dilestarikan oleh Musim Mas. Dulunya, mereka menanam kelapa sawit hingga ke pinggiran sungai. Akan tetapi, sejak enam tahun lalu mereka mulai menghijaukan kembali daerah sepadan sungai tersebut.

!break!

“Kawasan ini juga sering menjadi tempat monyet lewat. Coba lihat pohon yang gundul di sebelah sana itu,” ujar Supriyadi. Ia menunjuk sebuah pohon di pinggir jalan yang hampir tidak ada daunnya. Dahannya sedikit condong.

“Di pohon itu, sering ada monyet-monyet yang nyeberang dari hutan sebelah sini ke sebelah sana,” tuturnya.

Pelestarian kawasan sepadan sungai penting untuk dilakukan untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai habitat hidup satwa, mencegah erosi, menghindari pencemaran sungai serta mengamankan agar sistem tata air tidak terganggu.

Baca juga: Sebelum Lestarikan Orangutan, Lestarikan Dulu Habitatnya

Dari kawasan sepadan sungai, rombongan media trip bergerak menuju rumah salah satu petani sawit yang menjalin kemitraan dengan Musim Mas. Bekerja sama dengan Koperasi, Musim Mas membantu mengelola lahan kelapa sawit milik petani yang bermitra dengannya. Mulai dari penanaman, perawatan, pemanenan dan penjualan hasil panen. Nantinya, setiap panen, petani dapat mencicil biaya pengelolaan sebesar 30% hasil panen ke Bank.

Proses produksi lilin di pabrik pengolahan produk sawit milik Musim Mas di Medan, Sumatera Utara. Bahan baku yang digunakan untuk membuat lilin ialah Crude Palm Oil (CPO) yang berasal dari daging dan kulit buah kelapa sawit. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

“Biaya untuk mengelola kebun sawit itu nggak sedikit. Bermitra dengan perusahaan dan koperasi membantu kami menyediakan modal penanaman dan pengelolaan sawit,” kata Jakfar, petani sawit yang rumahnya kami kunjungi.

Program kemitraan ini merupakan salah satu bentuk realisasi dari prinsip berkelanjutan RSPO terkait kesejahteraan sosial masyarakat sekitar perkebunan. Selain kemitraan, Musim Mas juga membangun sekolah, klinik, mendukung kegiatan seni dan budaya masyarakat setempat untuk membantu menunjang kesejahteraan pekerja dan masyarakat setempat.

Penerapan prinsip-prinsip produksi berkelanjutan yang dilakukan oleh Musim Mas, diharapkan dapat memberi inspirasi kepada perusahaan lain di Indonesia untuk turut menerapkan prinsip prinsip berkelanjutan dalam kegiatan produksinya.!break!

Pentingnya penerapan prinsip berkelanjutan di industri sawit

Kelapa sawit (Elaeis) merupakan tanaman industri yang menjadi sumber minyak nabati terbesar di dunia.  Pengolahan kelapa sawit menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). CPO dan PKO digunakan sebagai bahan baku produk yang kita gunakan sehari-hari.

Artikel terkait': Apakah Produk yang Anda Gunakan Bersahabat dengan Bumi?

“Hampir semua produk yang kita konsumsi setiap hari mengandung minyak sawit atau turunannya. Bukan cuma minyak goreng, tapi juga margarine, cokelat, sabun, shampoo, lilin, alat kosmetik dan detergen,” ujar Dhiny Nediasari, Communication Manager RSPO Indonesia.

Pekerja sedang menyortir sabun yang diproduksi di pabrik pengolahan produk sawit milik Musim Mas Grup di Medan, Sumatera Utara (23/1). (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Minyak kelapa sawit begitu populer di banyak kalangan karena berbagai alasan. Seperti dapat disimpan lebih lama dan awet, jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Selain itu harganya lebih murah dan efisien. Tak heran, banyak perusahaan tertarik untuk membuka lahan demi menanam kelapa sawit.

Baca juga: Konsumsi Bijak untuk Lingkungan Lestari

Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen minyak kelapa terbesar di dunia, yang memasok sekitar 50% kebutuhan minyak sawit dunia. Dari segi ekonomi, industri ini dianggap sangat menguntungkan. Keuntungan menggiurkan bisnis kelapa sawit memicu ekspansi perkebunan kelapa sawit serta praktek perkebunan yang sembrono dan mengancam kelestarian lingkungan di Indonesia.

“Tingginya permintaan minyak nabati meningkatkan deforestasi hutan,” ujar Footprint Campaign Coordinator WWF Indonesia, Margareth Meutia. Ia menuturkan bahwa sejak tahun 1985 hingga 2014, Pulau Sumatera telah kehilangan lebih dari setengah hutan alamnya.

Baca juga: Degradasi Lingkungan di Balik Keuntungan Sawit

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan merupakan penyebab utama hilangnya habitat satwa sehingga berujung pada kematian satwa. Konflik sosial dengan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit juga kerap terjadi. Itulah sebabnya, praktek industri kelapa sawit di Indonesia seringkali menuai kontroversi.

Manfaat dan kerugian industri kelapa sawit ini  bisa dijadikan pijakan untuk mencari solusi terbaik. Mustahil jika harus meniadakan sama sekali perkebunan sawit. Sebab, selain sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, jutaan perekonomian rakyat juga bergantung pada industri ini.

Artikel terkait: Sulit Mencari Solusi Konflik Sawit

Di lain sisi, membiarkan hutan habis terbabat dan berganti menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan tindakan bodoh yang berdampak fatal terhadap kelestarian alam Indonesia. Saat ini, upaya yang bisa dilakukan ialah meminimalisasi dampak dari produksi kelapa sawit, salah satunya dengan menerapkan praktek produksi minyak sawit berkelanjutan.