Riwayat Obelisk Termegah di Permakaman Kebun Raya Bogor

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 18 Mei 2017 | 15:00 WIB
Batu nisan obelisk Ary Prins bertabur ragam lambang heraldik. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - “Ini apa, ya?” tanya Lilie Suratminto sembari membungkuk dan membetulkan letak kacamatanya. Kemudian, dia berjongkok untuk meraba goresan aksara yang terbalut lumut. “Coba disiram air sedikit,” pinta Lilie kepada saya.

Saya segera membuka ransel untuk mengeluarkan botol bekal air minum. Selepas menuangkan sedikit air di tutup botol, saya menyiramkan ke permukaan dinding di kaki nisan berbentuk obelisk. Lantaran aksara-aksara halus itu tak kunjung terbaca, saya menyiramnya sekali lagi dan menggosoknya dengan kertas tisu.

Lilie Suratminto merupakan pakar lambang heraldik  dan pengajar senior Program Studi Bahasa Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia. Kami tengah memandangi nisan berbentuk obelisk yang menjulang di permakaman tua, tepian Kebun Raya Bogor. Kawasan kebun botani seluas 87 haktare itu berada dalam naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Baca Juga : Sepuluh Makanan yang Bisa Menangkal Penyakit di Musim Hujan

Obelisk, dalam tradisi Eropa, kerap dihubungkan dengan lambang kekuasaan dan kemegahan. Satu setengah abad berlalu, dan nisan ini masih menjadi nisan tertinggi dan termegah yang pernah saya lihat seantero Bogor.

“Nah kelihatan kan!” seruan Lilie yang menunjukkan bahwa pekerjaan kami baru saja bermula. Lalu, dia termenung sambil bertanya-tanya, “Apa bacanya?”

“Ini ‘D’ ya... sebentar De...villers... Apa ya?” ujarnya sambil berkali-kali meraba aksara yang dibingkai garis dengan hiasan kerang di setiap sudutnya. “Devillers & Co!” pekiknya.

Nisan Ary Prins yang berbentuk obelisk di permakaman Kebun Raya Bogor. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

 
Nisan Ary Prins dipesan di perusahaan bergengsi pembuat monumen (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
 
 

Hari ini, nama Devillers & Co. memang nyaris tidak dikenal lagi di Belanda. Perusahaan ini memang pernah dikenal sebagai salah satu perusahaan bergengsi yang mengerjakan berbagai pesanan dari monumen sampai batu nisan. Salah satu tengara kota yang pernah dibangun Devillers & Co. adalah monumen kebanggaan nasional di Scheveningen, Belanda. Warga menjulukinya “De Gedenknaald in Scheveningen”. Monumen yang juga berbentuk obelisk itu mengenang kepergian Pangeran William V ke pengasingannya pada 1795 dan sekaligus mengenang kedatangan Frederick William I di Scheveningen pada November 1813. Kerajaan meresmikannya pada 1865—dua tahun jelang wafatnya Prins.

Olivier Johannes Raap, seorang pemerhati sejarah Indonesia yang tinggal di Delft, melayangkan surelnya kepada saya. "P.J. Devillers & Co adalah perusahaan pemahat batu. Bengkelnya beralamat di jalan yang sekarang menjadi Oranjebuitensingel, dekat Centraal Station di Den Haag," ungkapnya.Perusahaan itu muncul sekitar awal 1860-an, demikian imbuh Olivier. Catatan tentang Devillers lainnya, dia pernah membeli tambang batu marmer di Saint Hubert, Belgia. "Devillers adalah nama Prancis. Ia kemungkinan berasal dari Belgia atau Prancis."

Ary Prins (1816-1867) (Raden Saleh Bustaman)

 
 
Saya bertanya kepada Lilie, tentang makam Ary Prins yang begitu mewah pada zamannya. Apakah dia seorang ningrat?

Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar.

Tampaknya, Prins memang dilahirkan dari latar belakang keluarga berada. Bukan perkara garib lagi apabila dia bisa meraih pendidikan ilmu hukum di Universiteit Leiden pada 14 Mei 1838. Judul desertasi pemuda 21 tahun itu adalah Sponsalibus, secundum jus antiquum Hollandicum, yang menyelisik perkara perjodohan dalam budaya Belanda kuno.

Kira-kira hampir setahun setelah lulus kuliah, Prins tiba di Hindia Belanda pada 6 Maret 1839. Sejak kakinya berjejak di Tanah Jawa, riwayat kariernya begitu dinamis. Selepas dua minggu, dia diangkat sebagai notulis tersumpah di Raad van Justitie (kini Pengadilan Tinggi) di Surabaya. Empat bulan berikutnya, dia sudah nangkring sebagai panitera dan bendahara di Rechtbank van Omgang (Pengadilan Negeri) di Semarang.

Di Surabaya, Prins menikahi Marie Anne Pietermaat pada 29 April 1840. Marie adalah putri dari pasangan Daniël François Willem Pietermaat dan Johanna Magdalena Ringeling. Saat itu Daniël menjabat sebagai Residen Surabaya. Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar. Kelak, Marie Anne Pietermaat meninggal lebih dahulu di Semarang pada 17 Juli 1864.

Disertasi Ary Prins di bidang ilmu hukum perkawinan Belanda kuno, (Universiteit Leiden)

Prins membuat peraturan pertama untuk jawatan kereta api di Hindia Belanda, namun dia tak menyaksikan pertama kalinya roda-roda kereta api menggelinding di Jawa pada 10 Agustus 1867.

Letnan Kolonel Augustus Johannes Andresen, kelak menjabat sebagai Komandan KNIL pada periode 1865-1869, berhasil memberangus pemberontakan Cina. Sekali lagi, Prins dikirim ke pantai barat Kalimantan. Dia mengatur pemerintahan dan mengadakan kontrak-kontrak baru dengan raja di sepanjang Sungai Kapuas. Ketika dia tiba pada Juli 1854, pemberontakan kembali pecah di Monterado, kini Kabupaten Bengkayang. Pada masa itu, Monterado memang pusat pertambangan emas di pantai barat Kalimantan. Prins hanya perlu sekali lagi kembali ke kawasan ini pada tahun berikutnya untuk memastikan pemberontakan telah sepenuhnya padam. Kelak, dia diangkat menjadi anggota Raad van Indie atau Dewan Hindia Belanda pada April 1856.  

Tampaknya, pada usia awal 40-an, Prins mulai sakit-sakitan. Pada 1858 dia menggunakan cuti sebagai anggota Raad van Indie selama setengah tahun untuk berobat sekaligus pulang kampung ke Belanda. 

Selepas cuti berobat, Prins mulai menjabat sebagai wakil presiden sementara Raad van Indie sejak Maret hingga Agustus 1859. Baru pada Januari tahun berikutnya, dia resmi diangkat secara tetap untuk jabatan tadi.

Hooggerechtshof (paling kiri) di Waterlooplein, Batavia. Prins pernah berkerja di sini. (Tropenmuseum)

 

Lukisan permakaman di kebun botani Buitenzorg (kini Bogor) karya Raden Saleh. (Tropenmuseum)
 
Apabila kita menyaksikan lukisan permakaman di kebun botani Buitenzorg (kini Bogor) karya Raden Saleh koleksi Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen, tampaknya suasana memang tidak banyak berubah. Sekadar rerimbunan bambunya tak selebat dahulu. Nisan obelisk Ary Prins tampak paling tinggi di ujung kiri. Di deretan depan tampak nisan Jeannette Antoinette Pietermaat, kakak ipar Ary Prins dan istri Gubernur Jenderal Pieter Mijer (1866-1872), dan Ernestine Geertruida Mijer, istri dari Jhr. H. Raders. Sang maestro melukis suasana ini pada 25 April 1871, sekitar empat tahun setelah wafatnya Ary Prins.

“Kerajaan membenci kaum liberal,” ujar Lilie memberi alasan. Kendati Prins berada di Batavia, “dia terlibat dalam kegiatan gerakan Revolusi Mei 1848 yang bergejolak di Belanda.”

 

 
Kupu-kupu simbol yang merujuk pada setelah wafat, Prins yang menjelma sebagai sosok sempurna. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Batu nisannya lebih megah ketimbang batu nisan lainnya di permakaman itu. Bahkan, jauh lebih megah ketimbang batu nisan milik Gubernus Jenderal Dominique Jacques de Eerens.

Di tubuh obelisk, Lilie menunjuk ukiran kupu-kupu yang hadir di setiap sisi. Satwa itu dibuat dengan tingkat kerumitan tinggi, yang dibingkai krans atau karangan bunga berlilitkan pita menjuntai. “Jadi perjalanan hidupnya diikat dengan pita,” ujar Lilie kepada saya. “Begitu dia meninggal, dilambangkan dengan krans.”

Kemudian Lilie menambahkan tentang makna krans yang dililit pita. Itu bisa berarti bahwa kendati sudah wafat, Prins masih diikat hubungan batin dengan keluarga yang ditinggalkannya. “Itulah mengapa biasanya kita mengikat kado dengan pita,” kata Lilie. “Karena pita melambangkan persahabatan yang abadi.”

Ouroboros, siklus kehidupan yang tak pernah berakhir, simbol keabadian. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Lilie menjelaskan lambang-lambang heraldik yang menghiasi sisi demi sisi obelisk Ary Prins. Ia menunjuk simbol ouroboros, ular yang menggigit ekornya sendiri. Awalnya digunakan pada masa Mesir kuno dan kemudian menyebar ke Eropa lewat Yunani. Lambang ini merujuk pada siklus pinciptaan dan kehancuran alam semesta, siklus kehidupan yang tak pernah berakhir. "Maknanya, keabadian," ujarnya.

Simbol lainnya adalah lampu, yang kerap dikaitkan dengan penerangan atau ayat-ayat dalam Alkitab. "Maknanya," ujar Lilie, "Prins dikenang sebagai sosok yang memiliki cahaya kehidupan dan spiritualitas."

"Bintang segi enam," ujarnya sembari mendongak, " merujuk pada penunjuk arah di waktu malam." Makna lainnya, gabungan dua unsur yang berbeda—seperti keras dan lembut—yang bermakna "keseimbangan atau harmoni." 

Kami mundur beberapa jengkal dari nisan tersebut, sehingga memungkinkan untuk melihat bagian puncaknya: vas dengan kain menjuntai dan krans. "Pertama, vas dengan kain menjuntai merujuk pada tempat roh dan simbol kematian. Maknanya, kehidupan setelah wafat." Kemudian ia melanjutkan, "Kedua, krans simbol persembahan untuk orang yang dicintai. Maknanya, ikatan jiwa abadi." 

Simbol lampu kerap dikaitkan dengan penerangan, merujuk pada ayat-ayat Alkitab. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Batu nisan Ary Pris memang lebih megah ketimbang batu nisan lainnya di permakaman itu. Bahkan, jauh lebih megah ketimbang batu nisan milik Gubernus Jenderal Dominique Jacques de Eerens (1781-1840) yang berada di sebelahnya.

Lambang-lambang di nisan Prins sebenarnya merupakan bentuk sebuah iklan keluarga, sebuah status sosial. “Bentuknya besar dan tinggi, menunjukkan sesuatu yang luar biasa,” kata Lilie. “Sebenarnya, menurut saya ini berlebih-lebihan.”

“Di sini ada persoalan semiotika,” ujarnya. “Batu nisannya secara simbolik ingin menunjukkan kepada khalayak: ‘akulah yang paling kuat, paling besar, dan paling berkuasa,’ kendati pemerintah tidak mengakui.”

“Batu nisan itu sangat ekspresif,” kata Lilie. “Nisan bisa menunjukkan kisah hidupnya. Keinginan keluarganya setelah meninggal pun terceritakan.”

Kisah penyelisikan sejarah nisan Ary Prins ini diungkap untuk memperingati 200 tahun Kebun Raya Bogor pada 2017. Versi pendeknya terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2017.