Misteri Letusan Gunung Berapi Tonga yang Berusaha Dipecahkan Ilmuwan

By Sysilia Tanhati, Senin, 24 Januari 2022 | 07:00 WIB
Pemandangan udara dari hujan abu lebat pada 17 Januari di pulau Nomuka, Tonga. (New Zealand Defence Force)

Nationalgeographic.co.id—Selama bertahun-tahun, gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai menyembul dari laut dalam bentuk sepasang pulau berbatu mungil. Pulau yang satu bernama Hunga Tong dan yang lainnya Hunga Ha'apai.

Letusan tahun 2014 menciptakan pulau ketiga yang menghubungkan semuanya menjadi satu daratan. Ketika gunung berapi itu meletus pada bulan Desember, pulau tak berpenghuni itu perlahan-lahan tumbuh. Bongkahan batu vulkanik dan abu membangun lahan baru.

Letusan dahsyat berikutnya pada tanggal 15 Januari menunjukkan ada ‘binatang buas’ yang bersembunyi di bawah ombak. Cepat atau lambat, gunung berapi itu akan naik ke permukaan.

Siklus kehancuran dan kelahiran kembali ini adalah sumber kehidupan gunung berapi. Hunga Tonga-Hunga Ha'apai hanyalah salah satu dari banyak gunung berapi yang berada di wilayah Kerajaan Tonga.

Namun energi luar biasa dari ledakan terbaru ini tidak seperti yang terlihat dalam beberapa dekade terakhir. Ledakannya diperkirakan oleh NASA setara dengan lima hingga enam juta ton TNT. Letusan itu mengirim gelombang tsunami melintasi Samudra Pasifik serta melepaskan ledakan sonik yang melesat ke seluruh dunia dua kali. Tidak ketinggalan, gumpalan abu dan gas yang ditembakkan ke stratosfer setinggi 30-55 km.

Semua efek ini terjadi satu jam setelah letusan. “Sejauh ini segala sesuatu tentang letusan ini sangat aneh,” kata Janine Krippner, ahli vulkanologi dari Program Vulkanisme Global Smithsonian.

Para ilmuwan berlomba untuk mencari tahu penyebab di balik ledakan hebat dan tsunami yang menyebar luas setelahnya. Beberapa petunjuk mengarah pada kimia batuan yang mendingin dari lava pada letusan masa lalu.

Memahami pemicu ledakan eksplosif Hunga Tonga-Hunga Ha'apai baru-baru ini dapat membantu mengurangi risiko di masa depan. Namun kekhawatiran terbesar masyarakat Tonga saat ini adalah potensi letusan gunung berapi lainnya. Hampir semua gunung berapi sekarang berada di bawah permukaan laut, tersembunyi dari pandangan satelit. Tidak ada peralatan di darat yang dapat membantu melacak pergeseran batuan cair di bawah tanah.

"Jika apa yang terjadi dalam sistem magma tidak dapat dideteksi, kami tidak tahu apa yang mungkin terjadi selanjutnya," kata Krippner.

Bahan kimia dari letusan mungkin membantu menguraikan apa yang membuat letusan ini begitu kuat, tutur Marco Brenna, ahli vulkanologi di Universitas Otago.

Saat sistem magma mendingin, kristal mineral yang berbeda terbentuk pada waktu yang berbeda dan mengubah kimia batuan cair yang menyusut. Kristal mempertahankan perubahan saat mereka tumbuh, mirip cincin pohon.

Brenna dan rekannya menganalisis cincin kristal di bebatuan yang meletus selama dua ledakan besar 900 dan 1.800 tahun lalu. Mereka menemukan bahwa sebelum gunung berapi meletus, magma segar dengan cepat disuntikkan ke dalam ruangan. Tetapi batuan dari ledakan yang lebih moderat pada tahun 2008 dan 2015 tidak memiliki cincin ini, menunjukkan aliran magma yang konstan namun lambat, kata Brenna.

Para ilmuwan berharap untuk mempelajari kimia batuan yang baru saja. "Akan menarik untuk melihat apa yang direkam oleh kristal itu," kata Brenna.

Baca Juga: Letusan Gunung Berapi di Tonga, Peristiwa 'Sekali dalam Satu Milenium'

Sementara proses bawah tanah menjadi pemicu ledakan, air juga kemungkinan memiliki andil dalam letusan terakhir, kata Geoff Kilgour, ahli vulkanologi dari GNS Science. Air dapat meningkatkan kekuatan ledakan vulkanik. Namun masih belum jelas persis bagaimana hal itu akan memicu ledakan yang menakjubkan dari Hunga Tonga-Hunga Ha'apai.

Meski ledakan terakhir ini dasyat, material yang dikeluarkan sangat sedikit. Abu dari letusan besar gunung berapi di masa lalu bahkan sepuluh kali lebih tebal, kata Barker.

Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa ledakan energi yang sangat besar ini membangkitkan gelombang tsunami yang luar biasa besar.

Tsunami biasanya terjadi dari pergeseran bawah air yang tiba-tiba. Seperti tanah longsor bawah laut di sisi gunung berapi atau pergerakan tanah yang cepat dalam gempa bumi. Namun setelah Hunga Tonga-Hunga Ha'apai meletus, gelombang muncul di beberapa tempat, jauh lebih awal dari yang diperkirakan. Ini terjadi di Karibia.

Gelombang tsunami belakangan yang menerjang pantai-pantai yang jauh juga aneh. Semakin jauh dari pemicu perjalanan tsunami, seharusnya gelombang makin berkurang. Ombak menghantam Kerajaan Tonga tidak tinggi tetapi menciptakan gelombang besar di seberang lautan.

Kemungkinan, gelombang kejut yang merambat di udara bergabung dengan permukaan laut dan mendorong tsunami yang meluas. Sama seperti ledakan Krakatau tahun 1883, salah satu letusan gunung berapi paling kuat dan mematikan dalam sejarah.

Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Kenapa Gunung Api di Indonesia Sangat Berbahaya

Semua keanehan ini menunjukkan minimnya informasi tentang gunung berapi bawah laut, kata Jackie Caplan-Auerbach, seismolog di Universitas Western Washington.

Untuk saat ini, Hunga Tonga-Hunga Ha'apai tampak membisu. Penduduk setempat saling membantu mengatasi kerusakan dan membersihkan jalanan. Sementara sebagian besar komunikasi masih terputus, informasi tentang situasi terkini mulai mengalir keluar.

Ledakan dasyat ini mungkin bukan yang terakhir, bisa jadi ada letusan susulan lainnya. Layanan Geologi Tonga mengandalkan pengamatan visual dan satelit untuk melacak aktivitas gunung berapi di seluruh wilayah.

Ujung vulkanik Hunga Tonga-Hunga Ha'apai yang berada di bawah permukaan membuat ilmuwan kesulitan memahami aktivitas gunung berapi. Potensi aktivitas tambahan juga mencegah para ilmuwan terbang untuk melihat lebih dekat.

Bahkan ketika gunung berapi tidak meletus secara aktif, pemantauan gunung berapi bawah laut merupakan tugas yang kompleks. GPS, untuk melacak pergeseran di permukaan saat magma bergerak di bawah tanah, tidak berfungsi di dasar laut. Untuk memperoleh data terkini dari seismometer di dasar laut secara teknologi sulit dan mahal. Caplan-Auerbach sering menganalogikan bekerja di lautan dengan melakukan seismologi di planet lain.

Hidrofon digunakan untuk mendengarkan gemuruh gunung berapi bawah laut saat suara merambat melintasi wilayah lautan yang luas. Tetapi ini tidak mudah digunakan dalam situasi darurat dan memerlukan koneksi ke kabel bawah air untuk data waktu nyata.

Situasi di Tonga menyoroti perlunya upaya internasional untuk mendanai pemantauan gunung berapi di seluruh dunia, kata Krippner.

Layanan Geologi Tonga menangani tugas yang hampir mustahil dengan baik. "Mereka tidak memiliki banyak uang dan tenaga," kata Kilgour. "Tapi mereka diminta untuk melakukan pekerjaan besar."

Menjelang letusan 15 Januari, berdasarkan informasi visual dan satelit saja, mereka terus-menerus memberikan peringatan letusan dan potensi tsunami. Selain itu juga menginstruksikan penduduk setempat untuk menjauh dari pantai.

"Karena itu, saya pikir mereka mungkin menyelamatkan ribuan nyawa," kata Barker.

Baca Juga: Rekomendasi Lima Gunung di Jawa Barat Bagi Para Pendaki Pemula