Catatan Tionghoa, Ketika Putra Mahkota Tsar Rusia Melancongi Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 28 Februari 2022 | 07:00 WIB
Tsar Nikolai II dari Russia, lukisan karya George Alexander (1832-1913). Tan Teng Kie asal Batavia mencatat, saat sebagai putra mahkota, Nikolai pernah melancongi Batavia pada 1890. Nikolai turun dari kapal dengan busana jas putih berikut rompi, dan bertopi dengan emblem bintang. (Fine Art America)

Nationalgeographic.co.id—Tan Teng Kie mengisahkan perjalanan Putra Mahkota Kaisar Rusia selama kunjungannya di Batavia. Kedatangan rombongan sang pangeran itu mendapat sambutan meriah oleh warga kota, dengan iringan musik dan dentuman meriam. Rombongan Kekaisaran Rusia itu menikmati wisata berburu di Bogor, bahkan sampai pesisir Bekasi.

Siapakah Tan Teng Kie? Sayangnya, sosoknya masih misterius hingga hari ini. Jangankan soal kapan dia lahir atau wafat, namanya saja sudah pupus dari ingatan Jakarta, kota tempat dia bernaung dan hidup. Sedikit sekali catatan jati dirinya yang sampai pada kita: seorang sastrawan Melayu Tionghoa, sekaligus pengusaha dan pemilik toko di Batavia pada akhir abad ke-19.

Dia merilis karya sastranya yang bersejarah bertajuk Sair dari hal datengnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes di Betawi, dan Pegihnja tersamboeng dengan Sair Sekalian Binatang di Hoetan aken mengingetin anak-anak soepaja mendengar kata, dan sajang kepada harta banda. Buku ini diterbitkan perdana oleh Albrecht & Co. di Batavia pada 1891, dan edisi keduanya pada 1897.

Syair dalam buku itu terdiri atas 107 bait. Sejumlah 54 bait pertamanya berkisah tentang laporan pandangan mata Tan Teng Kie perihal kedatangan Putra Mahkota Rusia di Batavia. Kendati dia tidak menyebutkan secara tersurat nama putra mahkota itu, tamu yang dimaksud adalah Pangeran Nikolai Alexandrovich. Dia datang bersama rombongannya dengan kapal penjelajah Pamiat Azova pada 23 Februari hingga 1 Maret 1890.

Kelak putra mahkota itu bertakhta sebagai Tsar Rusia Nikolai II pada 1 November 1894 hingga digulingkan pada 15 Maret 1917. Dia merupakan Tsar terakhir Rusia. Bersama keluarganya, dia dieksekusi para Bolsevik pada 17 Juli 1918—salah satu rangkaian peristiwa yang kelak menandai lahirnya negara sosialis pertama di dunia, Uni Republik Sosialis Soviet. Saat tiba di Batavia, Nikolai berusia 23 tahun.

Kabar dari Tan Keng Kie merupakan salah satu laporan detail, yang sampai pada kita, tentang kedatangan pangeran Rusia di Batavia.

'Sair dari hal datengnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes di Betawi, dan Pegihnja tersamboeng dengan Sair Sekalian Binatang di Hoetan aken mengingetin anak-anak soepaja mendengar kata, dan sajang kepada harta banda'. Buku karya Tan Teng Kie ini diterbitkan perdana oleh Albrecht & Co. di Batavia pada 1891, dan edisi keduanya pada 1897. (KITLV)

Syairnya menghadirkan warna-warni adegan yang memikat minat insani—kadang membawa gelak. Kelihaiannya dalam bersyair mampu mendekatkan pembaca dengan suasana yang dilukiskannya. Bermula dari larik-larik pembuka, lalu larik-larik pokok cerita, dan diakhiri dengan larik-larik penutup.

Tan Teng Kie membuka cerita dengan "surat kawat" atau telegram yang sampai di kantor pelabuhan di Batavia. Kabar itu berisi posisi kapal rombongan Nikolai Alexandrovich dari Rusia yang singgah di Tanjungkuala, Sumatra Utara. Semenjak kabar itu diterima, pejabat pelabuhan memantau perjalanan kapal sang pangeran Rusia yang melintasi Selat Malaka menuju Batavia.

Kapal 'Pamyat Azova' yang berdinas pada periode 1886-1923. Kapal ini membawa Putra Mahkota Rusia Nicolai Alexandrovich (kelak Tsar Nicolai II) pada kunjungannya ke Batavia 23 Februari - 1 Maret 1890. (Wikimedia Commons)

Tibalah hari yang dinanti. Kabar kedatangan sang pangeran Rusia sudah tersebar dari berbagai surat kabar. Para pejabat pemerintah turut menyambut di pelabuhan, mungkin Tanjungpriok. Teng Kie menyebutkan para ambtenar, mayor dan kapitan cina, demang, jaksa, lurah, mandor turut serta.

Di pelabuhan, warga Batavia pun menyambut kedatangan sang pangeran. Lelaki dan perempuan, tua dan muda, berjubel ingin melihat langsung kapal agung dan menebak-nebak sosok sang pangeran.

Kapal sang pangeran berhias bendera. Ketika kapal merapat di pelabuhan, korps musik menyambut kedatangan mereka, juga dentuman-dentuman meriam yang mengejutkan warga. Sampai-sampai para haji menyebut nama Tuhan, bahkan ada sorban yang terlepas dari kepala. Teng Kie mengabadikan suasana jenaka ini dalam syairnya:

Sampe di darat meriam samboet,

Soewara kadengeren kalang kaboet,

Hadji semoea pada menjeboet,

Sorban djatoh sangkan ketjaboet.

.

Putra Mahkota Rusia Nikolai Alexandrovich turun dari kapal dengan busana jas putih berikut rompi, dan bertopi dengan emblem bintang. Kedatangannya disambut Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis Pijnacker Hordijk. Dari pelabuhan, mereka berkereta api menuju Gambir. Agenda berikutnya pesta penyambutan di jantung Batavia, Tan Kie menyebutnya "rumah residen" dan "tuan besar".

Catatan semasa dari Rusia juga menyebutkan bahwa di Weltevreden rombongan Putra Mahkota Kaisar Rusia menyaksikan opera Sleeping Beauty di Schouwburg, kini Gedung Kesenian Jakarta. Sebelumnya, mereka bersantap siang bersama Gubernur Jenderal di kediamannya.

Baca Juga: Setelah 61 Tahun, Pemakaman Sadis Tsar Nicholas II Akhirnya Terungkap

Baca Juga: Pembunuhan Keji Tsar Nicholas II 'Napas Terakhir Kekaisaran Rusia'

Baca Juga: Benarkah Putri Tsar Nicholas II Ini Berhasil Kabur dari Eksekusi?

Esoknya rombongan Putra Mahkota Kaisar Rusia itu melancong ke Bogor. Mereka berkesempatan berburu satwa liar. Seorang jenderal Rusia berhasil menembak empat harimau jawa, dua mati dan lainnya masih hidup. Pangeran Nikolai tampak tersenyum puas akan hasil buruan ini. Selain harimau, mereka juga berburu babi hutan dan menjangan. Teng Kie menyebut hasil buruan babi hutan mereka mencapai 29 ekor.

Menurut kabar Teng Kie, tempat melancong mereka berikutnya adalah Garut. Rombongan itu juga mencicipi berkuda sandel. Kuda sandel, atau sandalwood, merupakan kuda asli Indonesia yang dikembangkan di Sumba.

Dia menyisipkan perkara menarik, mereka berbekal roti ararut, penganan yang terbuat dari tepung garut. Penganan ini masih bisa kita jumpai di toko-toko kue dan kudapan. Terbuat dari umbi garut (Maranta arundinacae), kerap sebagai racikan pengental menu santapan.

Pegi Bogor troes ka Garoet,

Naik goenoeng koeda Sanderhoet,

Padoeka Kandjeng djoega menoeroet,

Bikin ramsoem roti araroet.

Surat kabar Bintang Barat pada edisi 10 Maret 1891 mewartakan seorang "anak raja Rusia" berburu babi hutan di lembah Cikurai, Garut. Selama dua hari di Garut, dia dan rombongannya bermalam di kediaman bupati yang memiliki enam kamar.

Kunjungan putra mahkota Kaisar Rusia ini merupakan awal kebangkitan wisata di Garut. Sejak saat itu sederet pelancong dari luar Hindia Belanda menjadikan Garut sebagai salah satu tujuan melancongnya. Jejak putra mahkota Kaisar Rusia ini diikuti oleh putra mahkota Raja Austria-Hongaria, Frans Ferdinand Yoseph pada April 1893. Pada awal abad berikutnya Garut kian sohor untuk tetirah para pelancong barat—dari bangsawan sampai seniman.

Namun, tampaknya, Teng Kie tidak turut rombongan ke Garut. Entah mengapa, kita tidak tahu. Pasalnya, dia tidak melaporkan perjalanan mereka ke Garut dalam syairnya. Pada saat itu rute kereta api Bogor-Sukabumi-Garut telah rampung dibangun oleh Staatsspoorwegen.

Gedung Harmonie diresmikan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 18 Januari 1815 yang bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Ratu Charlotte dari Inggris. Ironisnya, pada 1985, kita membongkarnya. (Woodbury and Pages/Tropenmuseum)

Ruangan dalam Societeit de Harmonie, sekitar 1890. (KITLV)

Dia kembali melaporkan ketika rombongan itu kembali ke Bogor. Sebuah pesta digelar meriah, mungkin di sekitar Istana Bogor. Karena warga ingin sekali menyaksikan kemeriahan penyambutan sang pangeran, jalanan menjadi padat dan susah dilalui. Dia mengisahkan gelaran ragam hiburan untuk menyambut tetamu Rusia yang bisa disaksikan warga Bogor.

Catatan semasa dari Rusia juga menyebutkan suasana senada. Saat kunjungan Putra Mahkota Kaisar Rusia, ada hiburan wayang orang yang dipentaskan oleh para penari dan pemusik gamelan Jawa. Malahan, para pemain gamelan mementaskan orkestra yang menyuguhkan lagu kebangsaan Rusia.

Di Batavia, Putra Mahkota Kaisar Rusia Nikolai Alexandrovich dijamu di klub sosialita ternama se-Hindia Belanda, Societeit Harmoni. Pentas musik bersambut dengan segala menu bercita rasa pilihan, yang berpadu dengan minuman anggur dan sampanye. Sayang bangunan klub sosialita yang diresmikan Raffles ini musnah pada awal 1980-an demi perluasan jalan raya semata. Lenyap sudah gedung yang menjadi penanda cikal bakal Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional kita.

Bikin pesta di roema bola,

"Harmonie" itoe bitjara Olanda,

Makanan semoea tiada ketjela,

Soewatoe apa antero ada.

.

Pesta makan roema "Harmonie,"

Tandanja hormat sama Koempeni,

Moeziekan bermaen lagoe memoedji,

Boeka minoeman anggoer sampani.

Kendati Harmoni terbatas hanya untuk kalangan Eropa, saat itu warga kampung turut meramaikan di sekitar gedung. Mereka menjual makanan, buah-buahan, dan barang dagangan lainnya. Teng Kie melaporkan bahwa semua orang ingin menonton keramaian kunjungan sang pangeran ini.

Hari berikutnya, rombongan Putra Mahkota Rusia itu kembali berburu di sekitar Batavia. Kali ini mereka berburu di pesisir, tepatnya di Moeara Petjah—kini Muarapecah, Bekasi utara. Di sinilah mereka berhasil memburu buaya muara.

Perburuan buaya ini menjadi kisah terakhir perjalanan melancong sang pangeran yang dilaporkan Teng Kie kepada kita

Baca Juga: Tampak Kembar, Apakah Tsar Nicholas II Rusia dan George V Bersaudara?

Baca Juga: Di Balik Kekacauan Rusia, Tsar Nicholas II Adalah Pribadi yang Baik

Baca Juga: Mengurai Benang Kusut di Balik Perselisihan Rusia dan Ukraina

Esoknya rombongan Putra Mahkota Rusia itu ke pelabuhan dengan berkereta. Kembali warga Batavia berduyun turun ke jalan untuk melepas kepulangannya.

Berikut ini Sair dari hal datengnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes di Betawi, dan Pegihnja karya Tan Teng Kie.

1.

Disinilah hambalah mewartaken,

Sobat sekalian boleh membatjaken,

Soerat tjitak gampang pahamken,

Datengnja Poetra kami karangken.

2.

Sair ini permuoelaan kata,

Tersalin boekoe Poetra Makota.

Melantjong di Betawi kapalnja srenta,

Koempeni endah menaroh mata.

3.

Tersamboeng binatang poenjat jerita,

Mengingetin anak mendenger kata,

Sajang banda koe dengan harta,

Soerat tertoelis aernja tinta.

4.

Sobat batjalah boekoe ini,

Soepaija anak mendjadi tani,

Djangan nakal kasana sini,

Pada orang toea djangan brani.

5.

Sama tengahnja karangan binatang,

Bermoela karangan Poetra dateng,

Anaknja Roes tandanja bintang,

Doedoek menoelis sampeken petang.

6.

Sebelomnja dateng membri kabar,

Bekent di Courant soerat tesebar,

Belaijar poetra laoetan lebar,

Tertioep angin mendera berkibar.

7.

Kantor Keker satiap hari,

Melihat Makota kapalnja kemari,

Koempeni satiaga di atoeri,

Post Kawat djoega mengabari.

8.

Boelan Maart moelain madjoe,

Kapal belajar Betawi menoedjoe,

Betoel sampe di tangga toedjoe,

Ramsoennja roti srenta kedjoe

9.

Betoel sampe djam doewa,

Banjak tantara jang terbawa,

Kabarnja masi ada orang toewa,

Poetranja tjakap tiada ketjiwa.

10.

Kabar kawat dateng bermoela,

Kapalnja sampe Tandjoeng koeala,

Koemendir Keker atas djendela,

Soepaija djangan mendjadi sala.

Pelabuhan Tanjungpriok dekat Batavia, tampak latar muka yang menampilkan kapal pemerintah. Foto oleh Woodbury & Page (Batavia) sekitar 1890. (KITLV)

11.

Sobat batja karangan ini,

Poetra Roes sobatnja koempeni,

Pandang Makota sabarnja tani,

Hamba sangka blom berbini.

12.

Hamba trangken boekoe Tjerita,

Soepaija sobatlah dengar njata,

Djikaloe sala hamba berkata,

Minta sobat djangan berbanta.

13.

Padoeka samboetlah dengan hormat,

Dateng di negri denganlah slamat,

Teriring Poetra seperti kramat,

Segala soerat kabarnja tamat.

14.

Ambtenar semoea membri kehormatan,

Sekalian jang ada berpangkatan,

Major Tjina dan Kapitan,

Demang, Djaksa toeroet pamitan.

15.

Dateng semoea jang berpangkat,

Kasi hormat topi di angkat,

Preiman djaoehan tidalah dekat,

Opas melarang pegang toengkat.

16.

Orang menonton rame sekali,

Toea moeda, ada jang toeli,

Prampoean laki, Djawa, Bali,

Ampir kaartjis ta'dapat beli.

17.

Kapalnja terhias dari mendera,

Banjak orang tiada terkira,

Saking ramenja orang bersoeara,

Wijk, Mandoer srenta Loera.

18.

Sampe di darat meriam samboet,

Soewara kadengeren kalang kaboet,

Hadji semoea pada menjeboet,

Sorban djatoh sangkan ketjaboet.

19.

Meriam moenji srenta moeziekan,

Bilangnja dia dan boekan,

Sebab Poetra njaroe pakean,

Srenta berpamit langka setindakan.

20.

Makota Poetra pakeannja poeti,

Padoeka kenal troes dekati,

Kapinteran Poetra dengan seperti,

Tiada boleh taroh perganti.

Schouwburg. Gedung ini bergaya neo-renaisance yang dibangun pada 1821 di Weltevreden. (Tropenmuseum)

21.

Poetra naik kareta api,

Pake bintang di atas topi,

Srenta pakean terlaloe rapi,

Djasnja poeti koe dengan roempi.

22.

Sampe di Gambir dia brenti,

Pakean djasnja sereba poeti,

Roema Resident Poetra mendeketi,

Tandanja hormat tjinta di hati.

23.

Dari Gambir naik kareta,

Dengan moeziekan meriam srenta,

Djendral Kornel menoeroet rata,

Sekalian soldadoe mendengar prenta.

24.

Pasiar lagi roemah komedi,

Moeziekan maen lagoenja sedi,

Pestaäu besar tida mendjadi,

Tanda Gouvernement baik boedi.

25.

Melantjong ka roemah Toean Besar,

Moeziek bermaen barisannja hoesar,

Stabelan terstoer seperti pasar,

Berdjedjer bagoes tiadaken mentjar.

26.

Troes pegi roemah Residensi,

Membri hormat tarima kasi,

Srenta berpamit doedoek di koersi,

Sekalian kandjeng toean polisi.

27.

Pada esoknja pegi ka Bogor,

Moeziekan moenji seperti orgor,

Membri hormat srenta menegor,

Djendralnja Roes kabar kesohor.

28.

Djendralnja pinter tembak binatang,

Apa niatnja tiada melintang,

Matjan tertembak djatoh tjelentang,

Ibarat takeran tjoekoep segantang.

29.

Matjannja dapetlah ampat bidji,

Djendral disitoe banjak jang poedji,

Seperti orang soedah terdjandji,

Ibarat mas di batoe oedji.

30.

Matjannja doea ekoer jang mati,

Sebab tertembaklah soenggoeh hati,

Jang laen laloe takoet dekati,

Kerna apa koerang mengarti.

Potret Tsar Nicholas II bersama dengan keluarganya pada 16 Agustus 1901. (Peterhof)
 

31.

Jang hidoep kabarnja doewa,

Makota liat mesem tertawa,

Djendralnja moedalah tiada toewa,

Matjan terikat prentah terbawa.

32.

Babi oetannja doeapoeloeh sembilan,

Tandanja plesir boeat bekelan,

Oeroesin semoea dia poenja taulan,

Djendralnja sadja bikin andelan.

33.

Mendjangan djoega di tembakin,

Kawannja semoea toeroet bantoein,

Poetra berdjaoean dia liatin,

Membri idzin Padoeka serahin.

34.

Pegi Bogor troes ka Garoet,

Naik goenoeng koeda Sanderhoet,

Padoeka Kandjeng djoega menoeroet,

Bikin ramsoem roti araroet.

35.

Balik ka Bogor bikin pesta,

Roemahnja Kandjeng Toean Makota,

Tontonan maen sekaliau rata,

Tandanja Padoeka ampoenja tjinta.

36.

Pesta di Bogor rame sekali,

Soesah djalan tida perdoeli,

Jang nonton orangnja toeli,

Keloear sekalian anak koeli.

37.

Tontonan bermaen segala roepa,

Atoer makanan tiadaken Ioepa,

Pesan orangnja djanganlah alpa,

Srenta minoeman sawaktoe apa.

38.

Dari Bogor dateng kombali,

Kreta apinja rame sekali,

Prempoean laki tiadalah pili,

Djawa, Tjina, dan orang BaIi.

39.

Soedah sore sampenja Makota,

Troes roemah bola berkreta,

Disitoe dia toeroet di pesta,

Jang berpangkat toeroet srenta.

40.

Bikin pesta di roema bola,

"Harmonie" itoe bitjara Olanda,

Makanan semoea tiada ketjela,

Soewatoe apa antero ada.

Lukisan Nikolai Alexandrovich Romanov, atau lebih dikenal Nikolai II, Tsar terakhir Rusia. Lukisan karya Earnest Lipgart (1847-1932). (Earnest Lipgart/Wikimedia Commons)

41.

Pesta makan roema "Harmonie,"

Tandanja hormat sama Koempeni,

Moeziekan bermaen lagoe memoedji,

Boeka minoeman anggoer sampani.

42.

Slam, Tjina, orang kampoengan,

Pada menenton semoea sekalian,

Ketjil besar tiada pilihan,

Njonja, Toean dengan srentaän.

43.

Kahar Iiwat sampe di larang,

Saking rame banjaknja orang,

Dagang makanan tiada koerang,

Soewatoe boewahan dan barang.

44.

Hari Kemis dari Bogornja,

Hari Djoemahat pegi nembaknja,

Moewara Petjah nama kampoengnja,

Tembak Boewaja aken Djendralnja.

45.

Makota plesir pegi menembak,

Ramenja orang soesa ketebak,

Preksa djalannja semoea lebak,

Boeaija itoe bekasnja terdiebak.

46.

Plesiran nembak boeat tandaän,

Poetra poelang bikin tjoentoan,

Dapet Betawi poenja perolehan,

Soepaja soedaranja di seraän.

47.

Binatang matjan bekas tangkepan,

Soepaja senang Poetra pengarepan,

Ketemoe lagi koetika kapan,

Tandanja plesir koedengan snapan,

48.

Binatang semoea kirim ka kapalnja,

Soepaja bawa poelang ka negrinja,

Keloear negri aken pertandaännja,

Pegi memboeroe tanda goenanja.

49.

Poelangnja Poetra di hari Saptoe,

Naik kreta jang nomor satoe,

Tetap pikirannja dengan tentoe,

Banjak ambtenar anter berbantoe.

50.

Betoei djam poekoel lima,

Soeda sore brangkat di roema,

Negri Eropa pesennja poma,

Melantjong tiada 'ken lama.

Stasiun Bogor dahulu Stasiun Buitenzorg. Putra Mahkota Kaisar Rusia pernah singgah dan bermalam di Bogor pada akhir Februari 1890. Bersama rombongannya, dia berburu harimau, babi, dan menjangan. (Tropenmuseum)

51.

Betoel datengnja lapan hari,

Makota Poetra Roes Bastari,

Djalan plesir keloear negri,

Soedah tjoekoep jang di atoeri.

52.

Banjak toean blakang toeroetin,

Naik kreta api pada deketin,

Sampe ka Tandjoeng semoea ikoetin,

Sekalian Njonja nonton meliatin.

53.

Toeroennja Poetra Tandjoeng Koeala,

Semoea jang berpangkat bersoela,

Sebab tjape dengan lela,

Tida menoeroet serba sala.

54.

Hamba moehoen srenta berpamitan,

Sekalian Ratoe Toean Sultan,

Karang Sair binatang oetan,

Sebab sobat djarang keliatan.

  

Karya Tan Teng Kie berjudul Sair dari hal datengnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes di Betawi, dan Pegihnja dirilis setelah karyanya berjudul Sair Jalanan Kreta Api terbit pada 1890. Sementara itu karya Sair Kembang terbit pada 1898, menjadi karya terakhirnya yang sampai pada kita.

Bagaimana pandangan Teng Kie sebagai warga Hindia Belanda?

"Dalam Sair Kembang dan Sair Poetra Makoeta, terdiri atas madah-madah terhadap bangsa Belanda," tulis Saifur Rohman, seorang sastrawan, untuk Kompas Minggu. "Tetapi juga bisa dibaca sebagai sebuah saksi atas keterlibatan orang Inlander dalam pergulatannya untuk mewujudkan sebuah identitas kebangsaan yang kental."

Rohman menambahkan, Teng Kie berhasil menyisipkan sindiran atau satir dalam Sair Djalanan Kereta Api seperti gambaran pekerja pembangun rel kereta yang mendapat kecelakaan saat bekerja. "Satire itu mesti diterjemahkan sebagai serpihan perlawanan yang tak kunjung dipadukan menjadi sebuah mozaik yang melukiskan sebuah bangsa. Belum."

Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru, mengungkapkan bahwa catatan syair Teng Kie melukiskan kejadian bersejarah yang dituturkan dengan gaya Betawi nan lugas. "Kita berterima kasih pada Tan Teng Kie yang meyuguhkan reportase yang sangat 'basah' dan runut tentang peristiwa itu."