Nationalgeographic.co.id—Pada musim gugur tahun 88 SM, lebih dari 80.000 warga sipil Romawi dibunuh. Dalang di balik serangan mengerikan ini adalah Mithradates VI dari Pontus (120-63 SM). Ia dikenal dengan raja peminum racun.
Mithradates VI ‘raja peminum racun’ adalah seorang ahli toksikologi yang brilian. Ia terobsesi dengan racun dan meminum dosis kecil racun yang disiapkan khusus. Ini bertujuan untuk membantunya mengembangkan resistensi jika ada yang mencoba meracuninya. Kelak kebiasaan ini menjadi bumerang baginya.
Dia terkenal dengan kebiasaannya meminum racun, membunuh ibunya sendiri untuk menjadi raja dan dia adalah musuh terburuk Roma. Membenci Kekaisaran Romawi, ia mengirim pasukan ke barat untuk menghancurkan Romawi, musuh seluruh umat manusia.
Mengapa raja ini sangat terobsesi dengan racun? Raja Mithradates punya alasan bagus. Penguasa dan raja sebelumnya, Mithradates V, dibunuh dengan racun di sebuah perjamuan pada tahun 120 SM di kota Sinope. Di tempat yang sama inilah Mithradates VI lahir.
Rutin meminum racun untuk mengembangkan resistensi
Raja Mithradates VI yang memiliki banyak musuh takut jika suatu hari akan mengalami nasib yang sama.
Untuk mempelajari rahasia racun, Raja Mithradates VI mulai mencampur ramuan yang berbeda menjadi satu. Ia mengembangkan racun yang mematikan dan kemudian mengambil dosis kecil dan tidak mematikan.
“Ini memastikan bahwa sistem kekebalannya akan mampu bertahan,” ungkap Ellen Llyods dilansir dari laman Ancient Pages.
Sang Raja mempelajari semua yang dia bisa dapatkan dan berkonsultasi dengan beberapa penasihatnya yang paling tepercaya. Mati karena racun, hal ini menjadi ketakutan terbesarnya. Karena itu, ia memastikan bahwa ia kebal terhadap setiap jenis dan konsistensi racun.
Mithradates, yang telah membunuh ibunya sendiri untuk menjadi raja, membenci Kekaisaran Romawi. Dia menganggap "Romawi, musuh seluruh umat manusia".
Lloyds mengungkapkan bahwa ia memerintah kerajaan kecil tapi kaya di Laut Hitam. Sang Raja tidak puas, ia ingin menyaingi kekuasaan Romawi yang sedang berkembang saat itu.
Mithradates merekrut tentara yang beragam etnis dari negeri yang jauh, dengan hati-hati mencari kelemahan di Republik Romawi. Ia menyadari ketidakpuasan rakyat dengan perluasan Kekaisaran Romawi dan beban pajak.
“Raja Mithradates menggunakan kesempatan itu untuk menyerang balik,” tutur Llyods.
Pada 146 SM, bagian barat wilayah Mediterania dan Yunani sudah berada di bawah kendali Kekaisaran Romawi. Pada 133 SM, Kekaisaran Romawi berkembang dan merebut Pergamon di bagian barat Asia Kecil.
Ketidakadilan pajak menghancurkan rakyat
Tidak butuh waktu lama sampai penjajah Romawi, pedagang dan pemungut pajak pindah ke provinsi tersebut.
Para pemungut pajak adalah orang pribadi yang menuntut uang dalam jumlah besar dari penduduk setempat.
Dengan dukungan dari Kekaisaran Romawi, para pemungut cukai ini menghancurkan kehidupan banyak orang miskin. Beberapa keluarga bahkan harus menjual anak-anak mereka supaya bisa membayar pajak.
Ini di luar kendali, bahkan orang Romawi sendiri mengakui bahwa mereka telah kehilangan kendali atas pemungutan pajak di provinsi baru itu. Karena pajak, masyarakat memiliki banyak alasan untuk membenci pemerintahan Romawi.
Pembantaian 80.000 warga sipil
Pada 88 SM, pembantaian lebih dari 80.000 warga sipil terjadi di Anatolia (Turki barat). Para korbannya adalah para pedagang Romawi dan Italia, pedagang budak dan pemungut cukai.
“Semua ini adalah para pemukim yang sangat dibenci di provinsi baru Roma di Asia,” imbuh Llyods.
Pembantaian, yang dilakukan oleh warga Anatolia, Yunani, Yahudi, dan warga lainnya di lebih dari selusin kota, menyapu bersih kehadiran Romawi di wilayah tersebut.
Penyelenggara pembantaian itu adalah Raja Mithradates. Pembantaian ini menjadi awal dari perang panjang antara Kekaisaran Romawi dan Raja Mithradates.
Perang Mithradates melawan Romawi berlangsung selama empat dekade, melanda tiga benua.
Baca Juga: Eksekusi Sadis dan Kematian Mengerikan Tahanan Romawi di Koloseum
Baca Juga: Prajurit Celtic yang Tak Takut Mati, Berperang dengan Telanjang
Baca Juga: Amanirenas: Ratu Nubia yang Berani Melawan Serangan Pasukan Romawi
Pada akhirnya, Roma menang dan Raja Mithradates VI kehilangan kerajaan dan hidupnya. Meski dikalahkan, ia mendorong Republik Romawi, yang sudah terhuyung-huyung dari pemberontakan budak dan kekerasan dalam rumah tangga, ke jurang kehancuran.
Machiavelli memuji kejeniusan militernya. Bangsawan Eropa mencari ramuan rahasianya melawan racun. Hidupnya mengilhami opera pertama Mozart. Selama berabad-abad penyair dan pemain drama membacakan kisah berdarah dan romantis tentang kemenangan, kekalahan, intrik, selir, dan kematian misteriusnya.
Ketika Raja Mithradates VI melihat semua yang dia perjuangkan telah hilang, dia mundur karena malu ke benteng di Panticapaeum. Di tempat itu, ia dikelilingi oleh musuh-musuhnya yang berusaha menggulingkannya.
Tanpa jalan keluar, musuh paling dicari oleh Romawi itu merasa hidupnya sudah berakhir. Ia memutuskan untuk menempuh jalan keluar paling mulia: bunuh diri.
Namun, bertahun-tahun memperkuat sistem kekebalannya terhadap racun menjadi musuh terbesarnya di saat-saat terakhirnya. Raja yang kalah itu menenggak racun untuk mengakhiri hidupnya. Sayangnya tidak berhasil.
Ia kemudian memerintahkan seorang tentara bayaran untuk menghabisinya dengan pedang. Dengan ini, Mithridates melakukan bunuh diri dan mengakhiri Kerajaan Pontus yang agung.