Nationalgeographic.co.id—Jika Anda menelisik beberapa artikel National Geographic Indonesia yang pernah ditulis oleh saya atau rekan saya, Fikri Muhammad, Anda akan membaca di antaranya menyertakan lirik lagu.
Alih-alih sebagai hiburan untuk didengarkan, lagu dapat digunakan sebagai acuan alternatif untuk menelusuri peristiwa sejarah.
Misalnya, yang pernah diterbitkan sebelumnya, tentang budaya Barat yang sempat dikekang oleh Sukarno, lalu dibuka oleh Soeharto yang membawa anak-anak muda berkreasi. Beberapa kreasi lewat lagu itu pun akhirnya menjadi bumerang untuk mengkritik pemerintahan seperti Surat Buat Wakil Rakyat karya Iwan Fals. Ada pula lagu yang menjadi penggambaran nasib masyarakat dalam Resesi karya Eros, Chrisye, dan Yockie.
Purnawan Basundoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan, lagu tercipta bukann dari ruang kosong. Lirik yang terkandung di dalamnya memiliki proeses yang diambil dari realitas di masa lalu.
"Lagu ini yang memungkinkan bagi kita, sejarawan, memanfaatkannya sebagai sumber sejarah yang kita gali," kata Purnawan dalam webinar Partihistori yang diadakan Sejarah Lintas Batas (SINTAS), Jumat 8 April 2022. "Walaupun kemudian lagu itu melalui proses imajinatif pencipta lagu, ini mirip dengan karya sastra."
Kerap kali dalam kajian sejarah, karya sastra menjadi gambaran tentang realitas di masa lalu. Tengoklah pada karya-karya Buya Hamka seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang menceritakan romansa berdasarkan kejadian bersejarah. Kapal van der Wijck adalah kapal yang pernah tenggelam pada 1921, kemudian kisah di dalamnya terkandung bagaimana masyarakat pada masa itu begitu kolot dalam mengurusi percintaan.
Kajian seperti itu pernah diungkap oleh Ismi Indriani dalam makalahnya di Jurnal Sejarah, Juli 2021, tentang percintaan di masa pergerakan, dan bagaimana karya sastra masa itu merekamnya.
Maka, Purnawan melanjutkan, di antara lagu-lagu populer dan genre, yang sangat kental dalam menggambarkan realitasnya adalah yang bersifat balada. Lagu balada biasanya memiliki lirik yang menceritakan kejadian sehari-hari. Contohnya Franky dan Jane dengan lagu Bis Kota yang menggambarkan suasana transportasi umum dekade 70-an di kota Surabaya yang panas.
"Lagu balada ini sebenarnya berasal dari syair yang sudah lama dari periode abad pertengahan. Nampaknya syair seperti ini baru dijadikan lagu di abad ke-19," terangnya.
Seringkali, sejarah memuat cerita-cerita penguasa dan mengabsenkan orang jelata yang jauh dari politik besar. Berbagai dokumen tentang penguasa pun memudahkan sejarawan untuk membuatnya hadir dalam narasi, sedangkan rakya jelata minim.
Maka, Purnawan mengungkapkan, lagu adalah cara untuk memperluas bahasan sejarah itu, agar lebih bisa menggali tentang sejarah cerita rakyat kecil. Dia mengambil contoh seperti tema tukang becak. Becak dikenal dalam lagu anak-anak seperti karya Ibu Sud yang menggambarkannya sebagai moda transportasi yang kini sangat jarang di Jakarta.
Namun, beberapa lagu justru menempatkan pembahasan becak pada perspektif humanis, seperti yang salah satunya dibuat oleh Benyamin Sueb.
Benyamin pernah membuat dua lagu dengan judul sama, Tukang Becak. Lagu pertama membahas tentang kehidupan tukang becak bernama Bang Samiun. Dikisahkan Bang Samiun habis kecelakaan, dan mengajak kawan-kawan sesama tukang becak untuk bersolidaritas melawan pemilik mobil yang menabrak becaknya.
Solidaritas tukang becak sebagai perlawanan rupanya relevan dengan kajian ilmiah sejarah, sebagaimana yang ditulis Erwiza Erman di Jurnal Masyarakat dan Budaya tahun 2011. Meski Erwiza lebih pada konteks politik untuk memenuhi haknya, Purnawan menganggap bahasan itu relevan dengan lagu Benyamin Sueb.
Lagu tentang tukang becak lainnya yang dibuat Benyamin Sueb mengisahkan kehidupan yang nelangsa. Lagu itu dinyanyikan dalam bahasa Jawa beraksen Jawa Tengah bagian barat (Ngapak). Purnawan berpendapat bahwa Benyamin Sueb menggambarkan realitas tukang becak di Jakarta yang asalnya kebanyakan dari daerah itu seperti Tegal, Cirebon, Brebes, dan Pekalongan.
Kehidupan nelangsanya dituliskan dalam lirik "blangsak temen urip tukang becak" yang hidupnya bagaikan kuda yang diperas untuk mencari penumpang.
Ada banyak lagu-lagu yang menggambarkan rakyat kecil yang menarik untuk dijadikan acuan alternatif sejarawan, ajak Purnawan. Contoh, ada Rhoma Irama dengan judul Gelandangan, Ebiet G. Ade pada Nasihat Pengemis dan Cinta Suminah.
Baca Juga: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?
Baca Juga: Jaap Kunst, Pria Belanda yang Jatuh Cinta pada Musik Tradisi Nusantara
Baca Juga: Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua
Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?
Selain cerita rakyat kecil, lagu bisa menceritakan kejadian kecelakaan transportasi yang pembahasannya masih luput.
"Misal, oleh Iwan Fals judulnya 1910," Purnawan melanjutkan. "Waktu saya mendengarkan lagu Iwan Fals itu waktu kecil saya melihat 'kok 1910?'. Ternyata lagu ini menceritakan kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987."
Lagu 1910 menjadi pandangan Iwan Fals terkait kasus kecelakaan ini yang penyebabnya tampak ditutup-tutupi. Iwan Fals sangsi atas proses penanganan hukumnya pada saat itu yang tidak serius.
"Saya berkesimpulan, lewat lagu-lagu ini maka narasi-narasi sejarah yang dibuat sejarawan bisa jadi lebih kaya, perspektifnya lebih luas, karena sejarawan memasukan perasaan di sana, ujar Purnawan. "Kalau sejarawan mampu menangkap itu dan menjadikannya jadi narasi jadi lebih panjang dan lebih lebar, maka narasi yang kita buat jadi lebih hebat dan lebih lengkap.
"Ini yang menurut saya pentingnya kita sejarawan memanfaatkan lagu-lagu ini sebagai sumber sejarah alternatif," pungkasnya.