Mengapa Kita Menghancurkan Warisan Budaya Berusia Ribuan Tahun?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 7 April 2022 | 15:00 WIB
Selama ribuan tahun, harga penolakan untuk menerima keberadaan peradaban lain adalah penghancuran warisan. (Hackin M et al/Wikimedia)

Di Tiongkok, Mao berusaha untuk menegaskan kembali kendalinya. Hasilnya adalah “revolusi besar yang menyentuh jiwa orang-orang.” Dipengaruhi oleh propaganda tanpa henti, Pengawal Merah mengubah idealisme yang belum matang melawan para tetua.

Dengan penuh semangat, Pengawal Merah menghancurkan semua ide, budaya, dan kebiasaan lama. Mereka menganggap diri sebagai ‘perusak dunia lama’. Dunia lama adalah budaya yang berusia lebih dari dua milenium.

Perusakan ini diiringi dengan penghancuran warisan budaya, mereka menggeledah kuburan Konfusius dan kaisar. Tentara pemuda 'mengecam' kejahatan leluhur dan membakar mayat mereka.

Perusakan cagar budaya, tempat ibadah, dan patung religi

Di Beijing hampir 5.000 'tempat budaya atau sejarah' dihancurkan, dua pertiga dari warisan kota. Situs-situs suci bagi berbagai kepercayaan Tiongkok kuno diserang. Buddha, kuil dan patung Tao, gereja dan patung Kristen, tempat ibadah Muslim dijarah, dirusak dan dibakar.

  

Baca Juga: Wayang Kulit Merayakan Gamelan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

Baca Juga: Pulau Penyengat, Pulau Kecil dengan Warisan Budaya Melayu yang Besar

Baca Juga: Arkeolog Temukan Kuil Buddha Kuno Berusia 2.000 Tahun di Pakistan

  

Rumah pribadi digeledah, foto keluarga, buku, dan barang antik dihancurkan. Kota Terlarang berhasil diselamatkan dari kemarahan yang merusak atas perintah perdana menteri.

Seorang Pengawal Merah menjelaskan, “Saya merasa saat itu pemimpin kita bukanlah orang biasa. Mao Zedong mungkin terlahir sebagai dewa matahari.”

Menghargai warisan budaya umat manusia

Selama ribuan tahun, harga penolakan untuk menerima keberadaan peradaban lain adalah penghancuran warisan.

Tapi kita tidak lagi terisolasi dari budaya lain. Dunia saling terhubung dengan 7,8 miliar manusia, dua ratus negara, dan ribuan budaya. Manusia mendapat manfaat dari penemuan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak terlihat, berpikir, dan percaya seperti kelompoknya.

“Alhasil, tak perlu sependapat dengan orang lain untuk bisa mengagumi pencapaiannya,” ungkap Deprez.

Begitulah, meski masa lalu tidak bisa diubah, kita masih bisa belajar darinya. Seseorang tidak perlu menjadi orang Italia atau Kristen untuk tergerak oleh Pietà karya Michelangelo. Atau menjadi umat Muslim untuk mengagumi Taj Mahal, menjadi Buddhis untuk meratapi kehancuran para Buddha Bamiyan.

Menurut Deprez, begitu manusia menyadari kesia-siaan mencoba mengubah orang lain menjadi berpikir atau percaya seperti dirinya, manusia terbebaskan.

Terbebas dari rasa takut pada orang lain, kita berhenti dibingungkan oleh kompleksitas umat manusia, dan akhirnya terpesona olehnya. “Tercerahkan, kita semua dapat mengagumi warisan bersama umat manusia,” harapnya.