Karena Sangat Terdampak, Generasi Muda Harus Paham Krisis Iklim

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 23 April 2022 | 16:00 WIB
Generasi muda sangat terdampak oleh krisis iklim. Tetapi di sisi lain, mereka punya semangat untuk mengembalikan Bumi, jika mendapatkan pemahaman tentang krisis iklim. (Yayasan Save the Children)

Nationalgeographic.co.id - "Kalian tahu tidak apa itu pengertian krisis iklim?" tanya Ranti kepada anak-anak petani di Jawa Barat. Dia berusia 17 tahun dan menjadi Child Campaigner di Aksi Generasi Iklim yang diadakan Yayasan Save the Children untuk mengajarkan tentang perubahan iklim ke generasi muda.

Anak-anak itu menggelengkan kepala. Mereka hanya mengatakan bahwa perubahan iklim memang diajarkan di sekolah, tetapi masih sulit untuk dipahami untuk mereka.

"Karena bahasa yang belum dimengerti anak-anak, dan ketika di sekolah membahas itu waktunya masih terlalu singkat--satu minggu setelah itu tidak dibahas lagi," ungkap Ranti di peluncuran Kampanye Iklim, Jumat (22/04/2022). Dia mengatakan, anak-anak sebenarnya menaruh minat untuk pengetahuan tentang krisis iklim, tetapi sedikit sekali pendidikan yang bisa dipahami mereka.

Padahal, anak-anak itu tinggal di pedesaan yang sangat bergantung pada iklim untuk masa panennya. Perubahan iklim bisa berdampak pada curah hujan yang sulit diprediksi. Akibatnya, curah hujan yang tidak dapat diduga oleh petani di sekitar mereka bisa mengalami gagal panen. Gagal panen inilah yang kemudian akan berpengaruh terhadap pendapatan suatu keluarga.

Oktober 2021, Save the Children membuat laporan bahwa di Indonesia ada jutaan anak dan keluarga jatuh ke dalam kemiskinan akibat perubahan iklim.

"Harusnya, semua anak bisa mulai berpartisipasi (untuk membangun dampak krisis iklim). Tapi sayangnya masih banyak anak-anak belum tahu tentang krisis iklim dan bagaimana mereka bisa berperan untuk membuat perubahan. Sebagai Child Campaigner, saya ingin mengajak semua anak bergerak dan tidak takut untuk bersuara,” lanjutnya.

"Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak menanggung beban berat karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi," kata Selina Patta Sumbung, Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia di dalam rilis.

Baca Juga: Hari Ini Hari Bumi! Berikut Cara untuk Merayakannya untuk Anda

Baca Juga: Perubahan Iklim Berperan untuk Manusia Purba Menentukan Tempat Tinggal

Baca Juga: Aspire Vero National Geographic Edition, Laptop Ramah Lingkungan dari Acer untuk Kelestarian Bumi

Berdasarkan survei World Economic Forum tahun 2017, perubahan iklim atau kehancuran lingkungan adalah masalah serius yang menjadi perhatian kalangan muda, terutama generasi milenial.

Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo di dalam dialog publik Planet yang Sehat untuk Kemakmuran Bersama – Tanggung Jawab Kita, Peluang Kita, mengatakan tren itu muncul ketika kita sudah memasuki era informasi berjejaring. Dialog itu diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyambut konferensi internasional Stockholm+50 di Swedia awal Juni mendatang.

"Anak-anak muda di era jejaring berdasarkan survei memiliki kesadaran yang sangat tinggi bagaimana kita menyelematkan alam ini, itu concern yang paling utama," ujarnya dalam dialog yang diadakan Jumat (22/04/2022).

Dia menyebut masa yang lebih baru ini mengarah untuk mendobrak apa yang dilakukan manusia pada generasi-generasi sebelumnya. Isu lingkungan juga berarti memberikan peluang untuk Bumi yang bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya, bukan sekadar hasrat untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

Awalnya, manusia memandang dirinya adalah bagian dari alam dan menyatu dengan alam. Pandangan seperti ini disebut sebagai periode mitis (mythical), ketika manusia memaknai alam sebagai kekuatan yang bisa menggilas manusia jika tidak merawatnya.

Namun revolusi manusia di generasi berikutnya mengantarkan mereka berjarak dengan alam pada periode ontologis atau perkembangan industri. "Manusia bisa berjarak dengan alam dan kemudian menjadikan alam sebagai objek. Di sinilah terus kemudian manusia menjaga jarak dan menjadikan alam itu tidak lagi menjadi bagian yang menyatu, tetapi jadi objek," terang Imam.

"Pada saat yang sama manusia memiliki dorongan dari dalam untuk kemasyhuran diri, status sosial, segala macam, yang akhirnya menggerak manusia semakin menjadi menguasai alam sebagai objek untuk meningkatkan kesejahteraan. Teknologi yang dikembangkan, ternyata , berfungsi menjadi alat yang efisien dan efektif, untuk mengeksploitasi bumi."

Polusi udara meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke dan kanker paru-paru, menyebabkan jutaan kematian anak-anak setiap tahun. (FRED DUFOUR)

Ditambah lagi, semenjak kemunculan industri kebutuhan akan manusia bertambah. Bukan hanya karena jumlah populasi manusia saja yang bertambah, Imam menambahkan, tetapi juga karena industri punya cara yang disebut treadmill of production theory.

Teori itu menjelaskan bahwa produksi harus diputar terus agar tidak berhenti. Sehingga kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan tetap ada, salah satunya seperti bagaimana iklan menawarkan suatu barang kepada calon konsumen yang sebenarnya tidak membutuhkan.

"Oleh karena itu, pembangunan ke depan itu bukan hanya paradigma yang mengembangkan kemakmuran pada manusia, tetapi juga bagaimana ekosistem well-being (kesejahteraan) itu dijaga dan harapannya akan muncul human eco-hapiness," tutur Imam.

Untuk mewujudkan masa depan yang baik menghadapi krisis iklim, ia megatakan, kesadaran generasi milenial hingga "post-generation of Z" akan jadi tulang punggung untuk mengembalikan bumi.

"Kita ingin ada champion-champion dari anak muda itu, dan mendorong mereka menjadi aktivis lingkungan, dan entrepreneur lingkungan," kata Imam. "Tidak ada waktu lagi. Kalau kita bisa mengorganisasikan diri, berjejaring, terutama anak-anak muda, mudah-mudahan gerakan mengembalikan Bumi menjadi bagian dari manusia bisa terjadi."