Nationalgeographic.co.id—Pengiriman foto-foto alat kelamin laki-laki atau penis kepada perempuan yang tidak memintanya adalah bentuk pelecehan seksual. Dalam jajak pendapat YouGov Inggris sebelumnya, ditemukan bahwa 54 persen wanita berusia antara 18 hingga 24 tahun yang disurvei mengaku telah menerima foto penis, dan 47 persen dari angka ini menerima foto penis yang tidak mereka minta.
Jajak pendapat ini juga menyoroti bahwa 46 persen wanita milenial yang menerima foto-foto ini pertama kali mengalaminya sebelum usia 18 tahun.
Saat ini, di Inggris, dikategorikan sebagai tidak senonoh dan pelanggaran seksual jika seorang pria dewasa mengirim gambar penis ke mereka yang di bawah usia 18 tahun. Bahkan, digolongkan sebagai tindakan ilegal bagi anak-anak di bawah umur yang memfoto alat kelamin mereka dan mengirimkannya ke orang lain, karena digolongkan sebagai pornografi anak.
Terlepas dari status ilegal ini, anak-anak muda masih dikirimi gambar-gambar ini dan para peneliti telah menerbitkan sebuah penelitian di jurnal Sex Roles yang menyelidiki pengalaman gadis-gadis remaja berusia antara 11 hingga 18 tahun.
Dalam studi tersebut, sebagaimana dilansir IFL Science, para peneliti mengadakan lokakarya di tujuh sekolah menengah yang beragam di Inggris. Lokakarya ini memungkinkan 144 peserta untuk menjelaskan dan secara fisik menggambarkan pengalaman mereka menerima dan berbagi gambar di berbagai aplikasi media sosial.
Ditemukan bahwa 76 persen dari gadis-gadis dalam penelitian ini telah menerima foto penis dan 70 persen dari mereka telah diminta untuk mengirim foto telanjang. Seringkali permintaan ini muncul setelah mereka dikirimi foto penis yang tidak mereka minta.
Sebagian besar foto ini sering kali dikirim dari pengirim yang tidak dikenal. Namun, beberapa foto dikirim dari rekan jaringan para gadis itu, misalnya "teman dari teman" atau rekan yang hanya dikenal secara online.
Sorotan dalam penelitian ini adalah masalah dengan Snapchat. Sering kali pertama kali gadis-gadis menerima jenis foto senonoh ini dari aplikasi ini, ketika tidak ada fungsi privasi yang diaktifkan. Aplikasi ini membantu menormalkan konten ini karena orang dapat tetap anonim dan konten hanya tersedia untuk waktu yang singkat.
Seringkali lebih mudah bagi para anak muda tersebut untuk memblokir pengirim atau mengabaikan pesan apa pun daripada melaporkannya ke pihak berwenang. Gadis-gadis yang disurvei menggambarkan normalisasi gambar saat Anda "terbiasa" dan "tertawa dan melanjutkan".
Baca Juga: Sumbat Hidung dan Setrika Payudara, Cara Ekstrem Lindungi Perempuan
Baca Juga: Perkembangan Otak Anak yang Pernah Dipukul Mirip Otak Korban Pelecehan
Baca Juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Naik di Tahun Kedua Pandemi
Baca Juga: Membedah Kondisi Psikologis dan Isi Kepala dari Penjahat Kelamin
Di sekolah, ada stigmatisme yang terkait dengan pengiriman gambar penis. Sering diasumsikan bahwa orang-orang yang menerima gambar mengambil bagian dalam skenario "pertukaran" dan mengirim foto telanjang kembali.
Menyalahkan dan mempermalukan para korban ini telah mempengaruhi gadis-gadis itu secara emosional. Lebih lanjut, hal ini mempersulit mereka untuk melaporkan pelecehan tersebut.
Secara keseluruhan, jenis penelitian ini menyoroti perlunya panduan khusus platform tentang pengaturan privasi dan pelaporan, tetapi sedemikian rupa sehingga anak perempuan yang dikirimi gambar tidak menjadi korban kembali atau dibuat bertanggung jawab untuk menangani pelecehan mereka sendiri.
Selain itu, penelitian ini menekankan perlunya lebih banyak pendidikan terhadap anak muda mengenai pelecehan ini. Sebab, pelaporan atas tindakan pelecehan ini masih sangat terbatas atau sedikit sekali dilakukan anak muda karena banyak anak muda tidak mengerti bahwa foto penis non-konsensual adalah bentuk pelecehan.