Nationalgeographic.co.id - Di banyak tempat, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan masih sering terjadi. Beragam tindakan pencegahan dilakukan untuk melindungi perempuan. Mulai dari penerapan seperangkat aturan sampai solusi-solusi ekstrem untuk melindungi kaum perempuan.
Misalnya sumbat hidung di negara bagian di India Timur, Arunachal Pradesh, dan setrika payudara di Afrika Barat dan Tengah. Bagaimana membuat salah satu bagian tubuh menjadi cacat ini dapat melindungi perempuan?
Setrika payudara umum terjadi di Afrika Barat dan Tengah. Termasuk Guini-Bissau, Cad, Togo, Benin, Guini-Conakry, Pantai Gading, Kenya, dan Zimbabwe. Di Kamerun, praktik ini lazim dilakukan. Satu dari tiga anak perempuan, sekitar 1.3 juta, menjadi sasaran penyetrikaan payudara.
Laporan tentang mutilasi alat kelamin perempuan, pernikahan paksa, dan bunuh diri untuk kehormatan keluarga sering kita dengar. Namun praktik di mana gadis-gadis muda yang memasuki masa pubertas menyetrika payudara sampai rata kurang terdengar.
Saat masa pubertas, ketika payudara seorang gadis tumbuh, masyarakat menganggap seksualitasnya pun berkembang. Jika dibiarkan, ini dapat menimbulkan masalah serta kehancuran bagi keluarga dan masyarakat status quo (patriarki).
Baca Juga: Tradisi Modifikasi Tubuh Manusia: Tato hingga Pemanjangan Tengkorak
Tetapi penelitian lain menemukan alasan lain mengapa para ibu melakukan praktik ini. Ini menjadi cara untuk mencegah pernikahan dini dan membuat anak perempuan dapat mengenyam pendidikan lebih lama.
Dengan kata lain, jika payudara seorang gadis dapat ditahan agar tidak berkembang, mereka tidak akan dianggap siap untuk menikah dan melahirkan. Dengan demikian, akan bebas untuk melanjutkan pendidikan mereka lebih lama.
Setrika payudara telah menjadi bagian penting dari komunitas tertentu di Afrika. Meski ini tampak normal bagi mereka, praktik ini menimbulkan konsekuensi medis yang parah. Untuk meratakan payudara, mereka menggunakan batu gerinda, spatula, sapu, dan ikat pinggang untuk mengikat atau menekan payudara hingga rata. Daun yang diyakini memiliki kualitas obat atau penyembuhan juga dapat digunakan. Di beberapa tempat, kulit pisang raja, batu panas, dan setrika listrik dijadikan alat dalam pelaksaan praktik ini.
Para ibu, bidan, dan dukun yang melakukan proses meratakan payudara ini. Bagi mereka, ini menjadi sumber pendapatan, dengan cara yang mirip dengan mutilasi alat kelamin perempuan.
Sedikit pilihannya membuat para ibu terpaksa melakukan jalan ini agar anak perempuan mereka dapat sekolah lebih lama. Mereka menganggap, ketika anak perempuan mendapatkan pendidikan, ia akan memiliki peluang untuk masa depan yang lebih baik.
Dampak jangka pendek yang dialami antara lain payudara menjadi bengkak, terbakar, iritasi, bisul, abses, demam, dan nyeri hebat.
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR