Pawai Kemenangan Romawi Jadi Ajang Pamer Kekuatan sang Pemenang Perang

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 14 Mei 2022 | 07:00 WIB
Bagi kaisar Augustus, pawai ini berpotensi jadi ancaman bagi kaisar. (Peter Paul Rubens/London National Gallery)

“Dampak barang jarahan ini sangat mengejutkan,” tambah Johns. Kekaisaran seakan mengalami revolusi budaya yang dipengaruhi oleh kesenian yang dibawa dari luar kekaisaran. Ini termasuk patung perunggu dan marmer yang spektakuler.

Marmer mengubah struktur kota di mana itu akan menjadi ‘panggung’ simbol prestise pemenang.

Bukan hanya materi yang ditampilkan dalam pawai kemenangan, tetapi juga orang-orangnya. Tawanan perang diarak di jalan-jalan ibu kota kekaisaran untuk menunjukkan superioritas Romawi yang merendahkan.

Hadiah utama Romawi adalah menyandera pemimpin musuh untuk diarak sebelum—kemungkinan besar—dieksekusi. Sang pemenang, bagaimanapun, harus memastikan bahwa pawainya dilakukan dengan semegah mungkin. Semakin bermartabat atau hebat seorang tawanan, semakin baik bagi jenderal pemenang. Eksotisitas tawanan dan keberanian yang sia-sia dalam melawan Romawi bisa membuat tawanan hampir menjadi tokoh sentral dari prosesi.

Pawai kemenangan sebagai ajang penegasan keunggulan

Pawai kemenangan Romawi adalah institusi yang secara inheren kompetitif di kekaisaran. Bagi sang Pemenang, itu adalah kesempatan berharga untuk menegaskan keunggulannya.

Berkat penyitaan sejumlah besar jarahan, ia pun berkesempatan untuk ‘menjilat’ agar mendapatkan posisi yang nyaman kelak. Ini adalah fitur berulang dari pawai di republik. Para jenderal yang sukses sering terlihat berusaha untuk mengalahkan satu sama lain dalam hal skala. “Ini dilakukan untuk mendapatkan prestise politik,” Johns menambahkan.

Uniknya, jika seseorang memiliki ‘bekas pemenang’ di antara leluhurnya, ini menjadi nilai lebih. Menurut Cicero, hal ini menyebabkan maraknya pemalsuan sejarah.

Namun itu bukan satu-satunya penyebab kerusakan moral di Romawi. Meningkatnya kemegahan kemenangan, yang dicirikan oleh karya seni dan marmer Helenistik, akhirnya merusak nilai-nilai tradisional Romawi. Paling tidak, ini menurut pendapat sejarawan Romawi seperti Dionysius dari Halicarnassus dan Livy. Apakah itu merusak moral Romawi atau tidak, jelas bahwa persaingan itu merusak stabilitas politik.

 Baca Juga: Kucing Menjaga Alat Perang Romawi yang Disegani hingga Jadi Mitologi

 Baca Juga: Menara Trajan: Sebuah Catatan Perang Menjulang di Tengah Roma

 Baca Juga: Perang Etruska: Takluknya Peradaban Kuno Etruria ke Tangan Romawi