Jerit Siksa dari Sisi Gelap Museum Sejarah Jakarta di Zaman Kolonial

By Galih Pranata, Jumat, 3 Juni 2022 | 11:00 WIB
Stadhuis Batavia pada tahun 1932 yang kini dikenal sebagai Museum Fatahillah di Jakarta. Dahulu, terdapat ruang penjara bawah tanah yang terkesan tidak manusiawi. (Tropenmuseum)

Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta Sejarah 4000 Tahun (2011), mengisahkan pemandangan 4 orang dipenggal, 6 orang disiksa di atas roda, 1 orang digantung, dan 8 orang dicambuk.

     

Baca Juga: Kisah Nyai Dasima di Batavia dan Hukuman Gantung bagi Pembunuhnya

Baca Juga: Kisah Sejarah dari Balik Kanal-kanal yang Mengaliri Kota Batavia

Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia

Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni

      

Di dalam menara di atas balai kota, terdapat lonceng yang bernama Soli Deo Gloria. Setiap eksekusi hukuman gantung akan dilaksanakan, lonceng dibunyikan dengan tujuan memanggil para penduduk sekitar Batavia untuk menyaksikannya.

Sebegitu kelamnya stadhuis Batavia ini hingga akhirnya diakuisisi Jepang pada tahun 1942. Selama tiga tahun, bangunan ini beralih fungsi menjadi kantor urusan logistik Dai Nippon.

Memasuki tahun 1945, pada masa kemerdekaan Indonesia, nama museum berubah nama menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI).

Akhirnya, kala Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, namanya berubah lagi menjadi Museum Fatahillah pada 30 Maret 1974 dan bertahan hingga hari ini.