Nationalgeographic.co.id—Hari ini Museum Sejarah Jakarta menjadi bagian dari pesona jejak Batavia yang dituju para pengunjungnya. Bekas kantor Balai Kota zaman VOC ini memiliki nama tak resmi sebagai Museum Fatahillah, yang masih tampak anggun. Namun, riwayat bangunannya ini menyimpan kisah pilu.
Museum ini pernah menjadi saksi kelam, sisi gelap di zaman kolonial Hindia Belanda. Dahulu, museum ini merupakan stadhuis atau balai kota di pusat pemerintahan kolonial, Batavia.
Stadhuis di Batavia ini mulai dibangun pada 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balai kota. Gedung balai kota tersebut merupakan balai kota kedua yang diresmikan pada 1626—setelah balai kota pertama yang diresmikan pada 1620 di dekat Kalibesar Timur.
Pada tahun 1648, kondisi gedung Balai Kota semakin memburuk. Kontur tanah Batavia yang sangat labil ditambah berat gedung, menyebabkan bangunan stadhuis ini turun dari permukaan tanah.
Ariani menulis dalam jurnalnya berjudul Perubahan Fungsi pada Museum Fatahillah Ditinjau dari Teori Poskolonial (2015) bahwa bangunan ini selama bertahun-tahun digunakan sebagai Dewan Pengadilan (Council of Justice) dan mahkamah Kehakiman (Bench of Magistrates) untuk Batavia.
Dari catatan kolonial, tercatat 5 buah sel yang berada di bawah gedung Balai Kota dan dibangun pada 1649. "Terdapat fasilitas penjara bawah tanah dengan ruangan bawah gedung yang terkesan tidak manusiawi," imbuh Ariani.
Menurutnya, penjara tersebut digunakan untuk menampung puluhan orang hingga melebihi kapasitas ruangan. Begitu sadisnya, hingga para tahanan ini diwajibkan menjalankan kerja paksa di luar penjara. Kaki-kaki mereka diikat dengan bola-bola besi yang menyiksa.
Ariani menambahkan, bahwa "di penjara bawah tanah ini terdapat satu kamar penyiksaan." Di dalamnya terdapat bangku dan alat semacam sekrup yang digunakan untuk menyakiti jari-jari terdakwa kejahatan.
Penyiksaan kepada tersangka kejahatan sengaja dilakukan agar mereka mengakui perbuatannya. Menurut hukum kolonial, seseorang dihukum ketika yang bersangkutan mengakui perbuatan yang dituduhkan.
Lepas dari ruang bawah tanahnya, di zaman Hindia Belanda, eksekusi di depan publik sering dilaksanakan di depan gedung. Eksekusi tersebut akan disaksikan oleh para hakim dan jaksa dari lantai dua gedung Balai Kota.
"Para tersangka penjahat yang dipasung di halaman berlantai batu di depan Balai Kota merupakan pemandangan yang biasa terlihat pada masa itu," terusnya.
Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta Sejarah 4000 Tahun (2011), mengisahkan pemandangan 4 orang dipenggal, 6 orang disiksa di atas roda, 1 orang digantung, dan 8 orang dicambuk.
Baca Juga: Kisah Nyai Dasima di Batavia dan Hukuman Gantung bagi Pembunuhnya
Baca Juga: Kisah Sejarah dari Balik Kanal-kanal yang Mengaliri Kota Batavia
Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia
Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni
Di dalam menara di atas balai kota, terdapat lonceng yang bernama Soli Deo Gloria. Setiap eksekusi hukuman gantung akan dilaksanakan, lonceng dibunyikan dengan tujuan memanggil para penduduk sekitar Batavia untuk menyaksikannya.
Sebegitu kelamnya stadhuis Batavia ini hingga akhirnya diakuisisi Jepang pada tahun 1942. Selama tiga tahun, bangunan ini beralih fungsi menjadi kantor urusan logistik Dai Nippon.
Memasuki tahun 1945, pada masa kemerdekaan Indonesia, nama museum berubah nama menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI).
Akhirnya, kala Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, namanya berubah lagi menjadi Museum Fatahillah pada 30 Maret 1974 dan bertahan hingga hari ini.