Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos
Nationalgeographic.co.id—Kami memasuki hari ke delapan ketika Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos sampai di kota Lasem. Jarak antara Alun-alun Juwana sampai Alun-alun Lasem terbentang 35 kilometer. Kami menyusurinya berkawan kemacetan dan iringan truk besar yang mengempaskan debu jalanan. Sepanjang perjalanan itu kami melaju dengan waspada karena kerap menjumpai aspal yang sudah terkelupas dan jalan yang bergelombang.
Ketika kami tiba di Lasem, kawasan alun-alun dan ruas jalan yang menjadi salah satu akses masuk ke pecinan Lasem sedang bersolek. Tumpukan material dan galian, serta tiang-tiang lampu bergaya Eropa tampak baru terpasang.
Kami tiba di penginapan Wisma Pamilie pukul 20.00 WIB. Dahulu, penginapan ini merupakan kediaman keluarga Oei yang dibangun pada 1818. Kami bermalam di sebuah kamar dengan dua ranjang besi kuno. Tarifnya mudah, 200 ribuan. Sungguh tempat menginap yang sungguh berkesan.
Salah satu tujuan kami di kota ini adalah singgah di rumah pabrik tegel tertua di Lasem. Saya menghubungi Akrom Yuwafvi, seorang seniman visual. Sebelumnya kami hanya berjumpa di media sosial. Usai sarapan, Akrom muncul bersama seorang kawannya yang berdarah peranakan bernama Mohammad Al Mahdi. Keduanya siap mengantarkan kami.
Kompleks pabrik tegel itu menempati sebuah rumah akhir abad ke-19 yang memiliki pekarangan luas. Kompleks itu terdiri atas rumah utama dan bangunan-bangunan bengkel kerja. Beberapa rumah yang tampaknya dibangun semasa, yang mengisi pekarangan di dalamnya.
Pohon-pohon besar tumbuh begitu rindang, membuat suasana semakin asri dan segar. Seorang pekerja datang dengan mengendarai sepeda angin dan menyapa kami dengan ramah.
Deretan tegel terpajang di pintu masuk, itulah katalog produk, mereka tidak menyediakannya dalam bentuk buku. Kita bisa mengamati warna, meraba, dan memilih corak tegel yang dikehendaki.
Pabrik ini berdiri pada 1910. Pemiliknya, seorang Kapiten Cina bernama Lie Thiam Kwie. Dia bukan hanya seorang pengusaha tetapi juga pejabat senior Anggota Perkumpulan Tionghoa Rembang. Inisial “LZ” yang melekat pada produk berasal dari mesin pencetak tegel yang didatangkan dari kota Leipzig, Jerman.
Akrom pernah menggubah karya roman fiksi tentang kisah cinta berlatar pabrik tegel ini. Judulnya, Tomo & Yu Lie, Liefde Groeit in de Tegel Fabriek.
Semua tokoh dan adegan dalam kisahnya merupakan rekaan—meski menampilkan sosok Kapitan Lie Thiam Kwie. Namun, ada moral cerita yang menarik tentang kisah yang pertama kali tampil di Pameran Cerita Nyah Lasem pada November 2021.
Akrom membuka cerita roman gubahannya kepada kami. Alkisah, seorang pemuda Lasem bernama Sartotomo yang terlahir dengan darah seni. Bukan sebuah kebetulan, kakeknya seorang seniman ukir kapal kayu dan ayahnya seorang dalang. Sartotomo pun terkenal sebagai pelukis corak tegel.
Suatu hari, sang ayah meminta Sartotomo untuk mengecat pagar dengan pola desain sehingga tampak corak dekorasinya. Setelah selesai, datanglah sang kapitan pemilik perusahaan tegel itu.
Sang Kapitan, dalam kisah Akrom, terkesan dengan corak pola desain karya Sartotomo di pagar itu. Kemudian dia memberikan kesempatan untuk bekerja di pabrik tegelnya.
Itulah babak pembuka kebahagiaan Sartotomo. Akhirnya, dia bekerja di pabrik tegel LZ. Ketika awal bekerja, dia dimentori oleh seorang pekerja senior bernama Darmo. Dia memperhatikan cara-cara pengolahan bahan baku, pewarnaan, pelapisan, pengoperasian mesin press sampai hasil akhir tegel. Tampaknya, semua itu bukan perkara sulit baginya.
Suatu pagi sang Kapitan memperkenalkan keponakannya dari Semarang. Seorang gadis dengan rambut berkepang dua, berbusana Eropa ala gadis-gadis Belanda. Sebagai perkenalan, kembali Darmo mengajarkan proses pembuatan tegel secara umum. Selanjutnya Sartotomo diminta untuk mengajari perempuan itu seni melukis tegel.
Chan Yu Lie adalah nama lengkapnya. Alih-alih disapa dengan sebutan “cici”, dia meminta supaya Sartotomo memanggil dengan namanya: Yu Lie. Lelaki itu tak punya pilihan lain selain menuruti.
Akrom dalam roman fiksinya berkisah bahwa hari demi hari hubungan mereka tampak semakin dekat. Singkat cerita, kedekatan Sartotomo dan Yu Lie menjadi rumor. Suatu hari datanglah utusan dari Semarang menjemput Yu Lie pulang. Sebelum menaiki dokar, yang akan membawanya ke Stasiun Lasem, perempuan itu berkata sambil berlinang air mata kepada Sartotomo untuk tetap setia.
Rupanya, keluarga di Semarang telah mendengar rumor itu. Akibatnya, perempuan itu tidak diperkenankan lagi singgah ke Lasem dan dilarang menghubungi lelaki itu.
Tahun berganti tahun, Yu Lie mulai melupakan Sartotomo. Kemudian keluarganya mengirim dirinya ke Surabaya. Di kota itu Yu Lie menjadi pelukis tegel terkenal. Relasinya semakin banyak. Tak lama kemudian ia pun menikah.
Akrom melanjutkan ceritanya. Suatu ketika di Surabaya digelar pameran desain corak tegel se-Hindia Belanda. Setiap kota hadir dengan memamerkan hasil karya di anjungan masing-masing.
Perhatian Yu Lie tersita kepada satu anjungan yang selalu tampak ramai. Betapa terkejutnya ketika dia menyaksikan Sartotomo sedang serius memberikan penjelasan kepada para pengunjung di anjungan pabrik tegel LZ dari Lasem.
Dia segera menghindar karena tidak siap bertemu Sartotomo. Dia telah melanggar janjinya, apa yang harus dia katakan jika sungguh bertatap muka dengan lelaki itu?
Upaya menghindar yang sia-sia. Pada puncak acara, lima pelukis desain corak tegel terbaik akan tampil memaparkan hasil karyanya. Yu Lie dan Sartotomo terpilih. Pertemuan keduanya tak terelakkan.
Yu Lie tampil lebih dahulu. Kendati di hadapannya berdiri begitu banyak manusia, perhatiannya tertuju pada Sartotomo. Pemuda Lasem itu tampak bahagia melihat pujaan hatinya. Dia mengagguk pelan dan Yu Lie membahasnya. Usai pemparan karya, Sartotomo segera menghampirinya. Kebahagiaannya segera berubah menjadi kesedihan ketika ia mendapati kenyatan bahwa Yu Lie telah menikah.
Sartotomo kembali ke Lasem. Tak berselang lama, tersiar kabar bahwa ia meninggal karena sakit setelah pulang dari Surabaya. Lelaki itu sungguh memegang janjinya untuk menjaga hati hanya untuk Yu Lie hingga akhir hayat.
Baca Juga: Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, Mengungkap Sisi Lain Histori Kota
Baca Juga: Susuri Jalan Raya Pos, Singkap Selimut Fakta dan Fiksi Daendels
Baca Juga: Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem
Baca Juga: Selisik Pesan dari Kisah Pahatan dan Mural Kuno di Cu An Kiong Lasem
Usai mendengar kabar itu, Yu Lie menuju Lasem untuk berziarah di makam Sartotomo. Perempuan itu berjumpa dengan adik Sartotomo yang memberikan sepucuk surat dan sebuah bungkusan.
Dia membuka surat itu dan membaca tulisan tangan Sartotomo. Akrom menuliskan kisahnya dengan dramatis:
"Yu Lie kekasihku, di kehidupan selanjutnya aku akan sangat berani mencari dan memperjuangkanmu, tak usah sesali yang terjadi, maafkan semua kesalahanku, aku merasa sudah tiba waktuku. Tolong terima tegel ini sebagai kenangan, tak usah tangisi kepergianku, menari dan bersuka citalah karena aku menuju keabadian. Menuju masa depan yang bersemangat menemukanmu kembali di kehidupan selanjutnya. Sampai jumpa."
Sambil menangis ia membuka bungkusan lainnya. Bungkusan itu berisi tegel dengan lukisan dirinya yang bersanding dengan Sartotomo. Yu Lie memang gagal menjaga janjinya, tetapi ia tak pernah gagal menjaga surat terakhir Sartotomo, sekeping tegel dan buku hariannya.
Demikianlah kisah roman fiksi bergaya novel karya Akrom. Kendati tidak sungguh terjadi, kisah ini memiliki moral cerita tentang dua insan dalam latar sosial yang berbeda di kehidupan-kehidupan silam, juga soal makna kesetiaan. Moral cerita lainnya yang ingin disampaikan Akrom adalah seni desain corak tegel Lasem yang pupus.
Akrom pernah berkata melalui akun media sosialnya, "Alasan saya berkarya dan mengangkat tema berlatar tegel ini, tak lain karena kecintaan saya terhadap motif dan corak tegel yang sarat akan filosofi." Kemudian dia menambahkan, "Tak hanya itu tegel juga lebih bertahan lama dibandingkan keramik, dapat menyerap air, lebih mengkilat jika semakin lama digunakan serta lantai akan terasa dingin meskipun di luar terik matahari begitu menyengat."
Dia menceritakan juga bahwa kini pabrik sang Kapitan hanya memproduksi tegel polos dan bercorak sederhana—berbeda dengan zaman keemasannya. Bahkan, karena menurunnya permintaan tegel-tegel serupa, pabrik juga memproduksi paving block demi bertahan hidup.
Pada 25 Mei 2022, Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos bermula. Perjalanan dengan dua jentera ini berawal dari Anyer, menyinggahi beberapa kota dan berakhir di Panarukan. Perhelatan ini merupakan program #SayaPejalanBijak yang menggandeng Intisari dan National Geographic Indonesia, serta didukung oleh Royal Enfield. Simak jurnal hariannya di akun Instagram @SayaPejalanBijak dan @IntisariOnline.
—Kisah ini telah disunting dengan menambahkan narasi demi kejelasan maksud pada 8 Juni 2022.