Nationalgeographic.co.id—Setiap budaya memiliki takhayul masing-masing. Di beberapa masyarakat Asia, orang percaya bahwa menyapu lantai setelah matahari terbenam membawa nasib buruk. Atau menancapkan sumpit di semangkuk nasi dapat membawa petaka.
Di Amerika Serikat, sebagian orang panik jika tidak sengaja berjalan di bawah tangga. Bila seekor kucing hitam melintas, itu pun dipercaya bisa membawa kesialan. Angka 13 pun selalu dikaitkan dengan nasib buruk.
Meski sebagian besar asal-usul takhayul tidak diketahui, ada beberapa yang tercatat dalam sejarah. Salah satunya adalah kepercayaan memecahkan cermin membawa kesialan selama tujuh tahun. Hal ini sudah ada sejak 2000-2700 tahun yang lalu, sejak zaman Yunani dan Romawi kuno.
Di kebudayaan Romawi, citra yang dipantulkan dianggap memiliki kekuatan misterius. “Kemungkinan dari sinilah takhayul tentang cermin pecah mulai populer,” ungkap Barry Markovsky dilansir dari laman The Conversation.
Markovsky berpendapat bahwa takhayul tentang cermin pecah mungkin berakar pada kepercayaan kuno ini.
Asal-usul takhayul cermin pecah dan kesialan
Orang Yunani percaya bahwa bayangan seseorang di permukaan genangan air mengungkapkan jiwanya. Para perajin Romawi membuat cermin dari permukaan logam yang dipoles. Mereka percaya bahwa dewa mengamati jiwa melalui cermin tersebut.
Merusak cermin dianggap sebagai perbuatan tidak sopan, baik sengaja atau tidak. “Jika terjadi, maka dewa akan mengirimkan kutukan ke orang yang ceroboh itu,” tambah Markovsky.
Sekitar abad ketiga cermin dibuat dari kaca dan lebih mudah pecah. Tetapi orang Romawi tidak percaya bahwa nasib buruk akibat memecahkan cermin akan berlangsung selamanya. Mereka percaya bahwa tubuh memperbaharui dirinya sendiri setiap tujuh tahun.
Keyakinan bahwa keberuntungan pada akhirnya akan kembali tentu saja menghibur, dan orang-orang selalu cenderung mempercayai hal-hal yang membuat mereka merasa baik, bahkan ketika itu tidak benar.
Mengapa takhayul bisa dipercaya?
Pikiran manusia terus menerus dan tanpa sadar mencari pola yang berguna. Misalnya, kita bertahan hidup dengan mengenali pola makan. Jadi kita berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat untuk makan.
Kami juga menghindari cedera atau kematian saat melintasi jalan yang sibuk dengan mengenali pola lalu lintas. Makan dan menghindari kecelakaan sama-sama melibatkan pembelajaran pola sebab-akibat yang nyata.
Namun, terkadang otak kita menyimpulkan pola sebab-akibat yang tidak nyata. Anda tidak percaya ketika diberi jimat keberuntungan oleh seorang teman. Beberapa hari berlalu dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
Meskipun ini hanya kebetulan, otak menyimpulkan suatu pola. Ini mungkin membuat Anda percaya bahwa jimat tersebut membawa keberuntungan. Maka takhayul pun terbentuk.
Baca Juga: Liontin Perak Romawi Kuno Berbentuk Penis Ditemukan di Inggris
Baca Juga: Batu Bergambar Penis Romawi Kuno Ditemukan di Dekat Tembok Hadrian
Baca Juga: Bangsa Romawi Ternyata Tidak Sebersih yang Dibayangkan, Ini Buktinya
Baca Juga: Vila Kaisar Romawi Hadrian, Cerminan Penguasa yang Berbudaya
Kepercayaan takhayul juga diperoleh dari orang tua atau selama pergaulan sosial. Kemudian, takhayul yang kita percaya pun beredar tanpa batas di antara keluarga dan teman. Didukung oleh gosip, media sosial, dan media massa. Makin banyak orang yang mendukung takhayul itu, maka makin dipercaya dan bertahan lama.
Takhayul: bermanfaat atau berbahaya?
Jika takhayul terjadi untuk membuat kita lebih berhati-hati di sekitar cermin, tidak ada salahnya. Menurut Markovsky, takhayul dapat menurunkan stres dan meningkatkan kinerja ketika berada dalam situasi sulit. Sisi positifnya, hal ini bisa menyenangkan dan menarik untuk dibicarakan.
Di sisi lain, seseorang perlu berhati-hati dan jangan mempercayai takhayul dengan gelap mata. Takhayul adalah kepercayaan palsu yang sering kali dapat menimbulkan kecemasan dan rasa bersalah. Ini dapat membuat kita merasa bertanggung jawab atas kejadian buruk.
“Jadi dalam hal ini, akal sehat sangat penting untuk membedakan takhayul dan fakta,” kata Markovsky.