Ganja Medis Makin Tidak Jelas, Tidak Ada Pedoman Klinis tentang Dosis

By Ricky Jenihansen, Minggu, 21 Agustus 2022 | 16:00 WIB
Hanya ada sedikit penelitian tentang perilaku pembelian ganja. (Sean Kilpatrick)

Nationalgeographic.co.id—Sejak dimulai pada tahun 2014, program ganja medis di New York telah berkembang menjadi 150.000 peserta, menjadikannya salah satu yang terbesar di Amerika. Namun penelitian baru menunjukan, penggunaanya makin tidak jelas, tidak ada panduan yang konsisten tentang penggunaan ganja.

Karena kurangnya data yang tersedia untuk umum, memahami produk apa yang digunakan pasien ganja medis untuk berbagai kondisi sebagian besar hanya berasal dari tanggapan survei.

Dalam studi baru ini, peneliti USC Schaeffer Center membuat gambaran yang lebih jelas. Mereka menganalisis data titik penjualan dari hampir 17.000 pasien yang melakukan lebih dari 80.000 pembelian sebagai bagian dari program ganja medis negara bagian New York.

Laporan studi lengkap mereka telah dipublikasikan di JAMA Network Open dengan judul "Characterization of Cannabis Products Purchased for Medical Use in New York State."

Para peneliti menemukan variasi yang cukup besar dalam produk yang dipilih untuk sebagian besar kondisi medis, dan variabilitas tinggi dalam dosis berlabel THC—zat di dalam ganja yang menyebabkan kecanduan.

"Meskipun pasar ganja medis bukanlah hal baru, masih ada sedikit penelitian tentang perilaku pembelian pasien," kata Alexandra Kritikos, peneliti pascadoktoral di USC Schaeffer Center dan USC Institute for Addiction Science, seperti dilansir Eurekalert.

"Sayangnya, analisis kami menunjukkan bahwa pasien mungkin tidak mendapatkan panduan yang konsisten dari dokter dan apoteker dan, di banyak area penyakit, tampaknya ada kekurangan data klinis yang jelas tentang dosis yang tepat."

Peneliti meneliti 80.000 pembelian sebagai bagian dari program ganja medis negara bagian New York. (Pixabay)

Hasilnya penelitian ini berdasarkan pada pembelian yang dilakukan antara tahun 2016 dan 2019. Ketika bunga ganja dan bagian yang dapat dimakan tidak dapat dijual di pasar medis.

Pemegang kartu ganja dapat membeli catridge dan vape, kapsul dan tablet, tincture, lotion, dan supositoria. Pengguna ganja medis membeli berbagai produk dengan berbagai potensi.

Dengan menggunakan data dari sistem apotek tunggal yang terintegrasi, para peneliti menemukan bahwa tiga kondisi teratas yang dicatat pasien pada kartu medis mereka adalah nyeri kronis (52%), neuropati (22%), dan kanker (13%).

Selain kondisi yang memenuhi syarat, pasien juga membutuhkan gejala yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Gejala kualifikasi teratas adalah sakit parah (82%), kejang otot parah (21%), dan mual parah (8%).

Vape adalah produk yang paling populer dibeli (40%), diikuti oleh tincture (38%), dan tablet (22%). Dari segi potensi, sebagian besar produk ganja yang paling populer adalah produk dengan THC tinggi (zat dalam ganja yang menyebabkan kecanduan), sementara kandungan CBD (zat dalam ganja yang mengurangi rasa nyeri) rendah. 

Mengingat variasi ini, ketika pasien memilih produk yang berbeda, mereka mungkin menyukai dosis yang berbeda.

Misalnya, 41% pasien dengan nyeri kronis lebih menyukai alat penguap THC tinggi, sementara 33% pasien nyeri kronis memilih tincture, dan 25% memilih tablet. Keduanya memberikan 10 mg THC per dosis. Seperempat pasien nyeri kronis lainnya memilih produk yang mengandung 5 mg THC dan CBD.

Dokter perlu mengambil peran yang lebih aktif pada pasien yang menggunakan produk ganja medis. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa catatan medis elektronik sering kali tidak melaporkan jumlah pengguna ganja medis.

 Baca Juga: Mengulik Bagaimana Masyarakat di Dunia Kuno Memanfaatkan Ganja

 Baca Juga: Benarkah Ganja Bantu Sembuhkan Penyakit Alzheimer? Ini Kata Ahli

 Baca Juga: Riset Terbaru Ungkap Efek Senyawa Ganja dalam Redakan Rasa Sakit

Dikombinasikan dengan temuan dalam studi Schaeffer Center yang baru, para peneliti menyarankan untuk meningkatkan panduan medis dan pengawasan dosis.

"Kami menduga kurangnya pedoman klinis tentang dosis cannabinoids untuk kondisi medis tertentu telah membuat penyedia medis tidak nyaman berbicara dengan pasien mereka tentang penggunaan ganja medis mereka," kata Rosalie Liccardo Pacula, penulis senior di kedua studi.

"Sangat penting bahwa perubahan ini, karena interaksi obat dengan obat yang diresepkan lainnya mungkin, tetapi tidak mungkin untuk mengidentifikasi apakah penggunaan ganja medis tidak dipertimbangkan atau dicatat dalam catatan medis."

Pacula adalah rekan senior di Schaeffer Center dan Elizabeth Garrett Chair dalam Kebijakan Kesehatan, Ekonomi & Hukum di USC Price School of Public Policy.

Pacula dan Kritikos berharap penelitian mereka memberikan dasar untuk percakapan antara penyedia dan pasien tentang penggunaan ganja, termasuk tingkat dosis.

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo