Pelajaran Perjalanan: Karena Masyarakatnya, Surakarta Punya Cerita

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 20 September 2022 | 13:00 WIB
Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim (kanan) dan petualang Marshall Sastra (kiri) berjalan di pusat barang antik Pasar Triwindu, Surakarta, dalam misi Pelajaran Perjalanan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Setiap kota punya cerita menarik untuk dipelajari. Itu sebabnya, Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim dan petualang Marshall Sastra menyusuri beberapa kota di pesisir selatan Jawa. Mereka berkendara menggunakan mobil Toyota New Rush GR Sport dalam misi perjalanan bertajuk "Pelajaran Perjalanan".

Keduanya punya sudut pandang berbeda dalam menyerap pelajaran dari berbagai tempat yang disambangi. Lewat perbedaan ini, mereka bisa berdiskusi dan bertukar pandangan mengenai apa yang mereka tangkap dari perjalanan.

Surakarta adalah kota pertama mereka. Kota ini tidak akan jadi apa-apa tanpa ada masyarakat yang terlibat di dalamnya. Maka, aspek manusia yang tinggal di dalamnya menjadi sarana pembelajaran mereka berdua. Mereka bertemu dengan beberapa tokoh yang menjadi 'guru' dari perjalanan.

"Perjumpaan dengan manusianya di Solo itu untuk mengungkap kekhasannya," kata Didi. Dia sering mengunjungi Surakarta. "Setiap datang, selalu menemukan perspektif baru karena orang-orangnya yang beragam."

Tempat pertama yang Didi dan Marshall kunjungi adalah Serabi Notosuman Nyonya Handayani. Jika Anda berkunjung, mungkin terkesan seperti pusat jajanan oleh-oleh Surakarta. Namun, menariknya serabi yang jadi sajian utamanya merupakan warisan luhur yang lestari.

Serabi Nyonya Handayani berdiri sejak 1923, dan kini dikelola oleh generasi ketiganya bernama Cahyono. Di tengah perkembangan teknologi memasak modern, mereka mempertahankan pembuatan serabi di atas tungku sehingga cita rasanya juga awet. Namun, mereka juga beradaptasi dengan membuat varian baru dengan serabi cokelat.

Baca Juga: Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran

Baca Juga: Mendefinisikan Kembali Perjalanan ke Bandung Selatan di Waktu Malam

Baca Juga: Gusti Noeroel, Permata Mangkunagaran Penyatu Wangsa Mataram

Baca Juga: Wahai Anak Muda, Indonesia Menanti Langkahmu untuk Netralitas Karbon

Marshall dan Didi mencoba untuk terlibat dalam proses pembuatan serabi bersama Cahyono, penerus dan generasi ketiga Serabi Notosuman Nyonya Handayani. Proses pemasakannya yang lestari dari masa berdirinya di tahun 1923, turut menjaga ciri khasnya bagi pelancong di Surakarta. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Lantaran awetnya cita rasa dan lestarinya pengolahan cara leluhur mereka, mereka berkembang. Serabi Notosuman Nyonya Handayani kini tidak hanya di Surakarta, cabang mereka terbuka di kota lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Kediri.

Meski sajian Surakarta ini ada di mana-mana, tetap saja tidak bisa menggantikan kotanya. Masyarakat Surakarta memberikan pembelajaran menarik lainnya tentang ekonomi sirkuler—jauh sebelum konsepnya populer di era penanganan krisis iklim kini.

Mereka menjajakan barang-barang antik di Pasar Triwindu yang sudah berdiri sejak 1939. Pada awalnya, pasar ini berdiri sebagai peringatan tahun ke-24 (windu ketiga) Mangkunegara VII (berkuasa 1916–1944).

Didi dan Marshall bertemu dengan Hamid, salah satu pedagang di Pasar Triwindu. Isi kiosnya hampir semuanya dipenuhi lampu hias klasik dan peralatan kerajinan. Dia tidak hanya menjual barang antik, tetapi juga memodifikasi barang agar bisa bernilai dibeli.

Dia menjelaskan bahwa bahan-bahan modifikasinya dibeli dari sesama pedagang atau pengunjung Pasar Triwindu yang punya barang tak terpakai lagi. "Pasar itu kan tempat berjual dan beli. Semua bisa menjadi penjual sekaligus pembeli," kata Hamid. Semua yang beraktivitas di tempat ini seperti menjadi penyelamat sejarah, sekaligus 'menjungkir balik' definisi sampah bisa menjadi harta bernilai.

Bicara sejarah, Surakarta juga cocok sebagai pembelajaran tentang masa lalu. Apabila Anda hendak mengetahui awal kota ini, cobalah berkunjung ke Laweyan. Di sana, berdiri makam Ki Ageng Genis, seorang ulama yang menjadi leluhur para penguasa Mataram. Tak jauh dari makamnya, berdiri Masjid Laweyan sejak tahun 1546 di era Kesultanan Pajang.

Hamid, pengerajin dan pedagang barang antik di Pasar Triwindu, Surakarta, sedang asik memodifikasi beberapa barang bekas. Sebagian barang olahan itu menjadi bernilai jual. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Sanggar Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo di dekat gerbang timur Pura Mangkunagaran masih aktif merawat kesenian tari tradisional. Masih banyak anak-anak masyarakat Surakarta menaruh minatnya pada tarian ini. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Akan tetapi, intrik politik kerajaan di Jawa bagian selatan cukup rumit. Berangsur-angsur, pergolakan seperti Perang Jawa terjadi demi perebutan takhta, kekuasaan, dan adu domba kolonialisme. Kesultanan Pajang berubah menjadi Kesultanan Mataram, kemudian terpecah menjadi empat kerajaan baru.

Di kawasan administrasi Surakarta modern, kesultanan itu terpecah menjadi Kadipaten Mangkunagaran dan Kasunanan Surakarta. Kadipaten Mangkunagaran berdiri akibat Perjanjian Salatiga tahun 1757 yang terpisah dari Kasunanan Surakarta.

"Mereka (masyarakat kota Surakarta) punya hierarkinya sendiri," Didi berpendapat. "Walau mereka (Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran) tidak aktif secara langsung dalam pemerintahan, mereka menjadi aset perlindungan kebudayaan masyarakat Solo."

Hal itu terbukti ketika Didi dan Marshall berkunjung ke Pura Mangkunagaran. Anak-anak terlibat dalam latihan tari klasik Golek Sri Rezeki di Sanggar Soerya Soemirat G.P.H Herwasto Kusumo dekat gerbang timur Pura Mangkunagaran. 

Pelestarian warisan luhur masyarakat Surakarta juga terjaga lewat perlindungan pada bangunan cagar budaya. Bangunan Keraton Kasunan dan Pura Mangkunagaran masih seperti dahulu berdiri dan lebih inklusif untuk memperkenalkan cagar budaya dan sejarah Surakarta.

Bangunan-bangunan tua, terutama di Laweyan, masih terlihat kokohnya berdiri. Perkampungan Laweyan inilah yang menjadi pusat batik Surakarta yang terus berkembang.

Pada masa kebangkitan nasional, batik adalah komoditas mahal yang membuat penduduknya jadi kaya raya. Tidak heran jika saat itu para pengusaha berkumpul mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di perkampungan ini juga. 

Surakarta identik dengan batiknya. Di masa lalu, Laweyan adalah produsen terbesarnya yang membuat warganya sejahtera. Warisan itu masih terjaga dengan diajarkan di Laweyan dan didagangkan di Pasar Klewer. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Batik Laweyan menghadapi tantangan. Mereka mencoba mengenalkan kembali batik yang selama ini disalahpahami. Banyak yang mengira bahwa batik hanyalah kain dengan pola tertentu dengan teknik apa pun.

Padahal, "Batik adalah proses pewarnaan pada bidang dengan lilin panas. Alat utamanya canting dan cat. Apa yang dibuat harus punya makna," terang pegiat batik Laweyan Alpha Fabela Priyatmono. Makanya, ia dan para pegiat batik di Laweyan mengadakan pendidikan batik.

Melalui proses pembuatannya, batik mengajarkan kita karakter seperti ketekunan dan kesabaran. Kebiasaan membatik membuat karakter mereka bertahan menghadapi pandemi COVID-19. Beberapa warga pengerajin dan pebisnis batik bahu-membahu agar tetap bertahan.

Semangat mereka mengenalkan kembali batik membuahkan hasil. Sejak 2004, Laweyan menjadi kampung wisata budaya karena situs sejarah dan budaya membatiknya. Ketika pandemi mereda, pengunjung pun kembali berdatangan ke Laweyan, baik untuk membeli kain batik maupun belajar membatik.

Kini, Didi dan Marshall melanjutkan misi pelajaran perjalanan mereka. Kota-kota berikutnya menanti mereka berdua memberikan kisah dan pelajaran berharga yang bisa diserap oleh masing-masing sudut pandang mereka.