“Mungkin ada alasan untuk antusiasme mereka jika kecepatan kuda atau keterampilan pengemudi yang menjadi daya tarik. Namun, warna balaplah yang menjadi favorit mereka. Begitulah pengaruh dan otoritas yang diberikan dalam satu tunik murahan.”
Baca Juga: Tiga Festival Bangsa Romawi Kuno: Ketika Budak Bisa Pakai Baju Tuannya
Baca Juga: Akhir sebuah Era: Ketika Peradaban Romawi Benar-benar Berakhir
Terlepas dari semua ketidaksukaan, orang Romawi yang berpengaruh juga tahu bahwa balap kereta dan pertandingan lainnya menjadi kekuatan Romawi. Saat mengambil jabatan aedile pada tahun 69 Sebelum Masehi, orator Cicero harus bersumpah untuk menegakkan permainan untuk orang-orang Romawi.
Meski digemari, balap kereta dan hiburan Romawi jadi alat politik. Cicero menuliskan bahwa betapa mudahnya politisi “membeli” para pemilih yang hanya berharap untuk 2 hal: roti dan sirkus.
Seiring dengan bertumbuhnya Kekaisaran Romawi, arena balap kereta pun mulai menjamur. Hipodrom dibangun di pusat kota besar di seluruh kekaisaran. Ini termasuk Antiokhia dan Konstantinopel (Turki), Caesarea (Israel), Alexandria dan Oxyrhynchus (Mesir), Thugga (Tunisia), Toledo dan Cordoba (Spanyol), Lyon (Prancis), dan Wina (Austria).
Sebagai bagian dari program Romanisasinya, klien raja Yudea, Herodes Agung, melembagakan balap kereta sebagai bagian dari permainan formal pada tahun 28 Sebelum Masehi.
Ketenaran balap kereta tidak berlangsung selamanya. Di tengah ketegangan agama dan perang saudara di Kekaisaran Bizantium, pamor balap kereta mulai menurun pada akhir abad keenam.
Digunakan sebagai persembahan untuk dewa hingga alat politik, balap kereta di Roma terakhir diadakan di Circus Maximus pada tahun 549.